KaRMaPIT Jelajah Kotagede, Belajar Sejarah dan Budayanya

Oleh: Agus Hartono

KaRMaPIT (Kagama Ramai-ramai Mancal Pit) bukanlah sekedar komunitas gowes biasa, namun juga peduli dengan lingkungan dan heritage. Sehubungan dengan kepedulian pada heritage, KaRMaPIT menyelenggarakan gowes bareng (gobar) bertajuk “KaRMaPIT Jelajah Kotagede, Belajar Sejarah & Budayanya”, Minggu (17/7/2022).

Alasan pemilihan Kotagede adalah lokasi heritage kuno tersebut selalu menarik untuk dipelajari karena sejarahnya yang merupakan cikal bakal berdirinya Yogyakarta dan Solo. Kotagede pada awalnya merupakan alas atau hutan Mentaok yang dihadiahkan Sultan Hadiwijaya kepada Ki Gede Pemanahan atas jasanya dalam peperangan dengan Arya Penangsang. Di alas Mentaok inilah kemudian Ki Gede Pemanahan membangun pemukiman beserta keluarganya. Setelah Ki Gede Pemanahan meninggal, pembangunan pemukiman dilanjutkan oleh putranya, Danang Sutawijaya yang di kemudian hari berhasil mengalahkan Kasultanan Pajang dan bergelar Panembahan Senopati.

Sebagai bekas ibukota Mataram Islam, sisa-sisa kemegahannya sampai saat ini masih bisa kita saksikan.  Mulai dari masjid dan makam, bangunan / arsitektur tradisional, kerajinan perak, kuliner, dll.

Gobar KaRMaPIT diikuti oleh 53 peserta, mengambil start dari bunderan UGM pukul 06.30 WIB menempuh rute Bunderan – Jl. Cik di Tiro – Jl. Suroto – Jl. Atmosukarto – Jl. Argolobang – Jl. Melati Wetan – Perempatan Jl. Timoho. Setelah dari perempatan Jl. Timoho ini peserta gobar menempuh rute blusukan pinggir kali Gajahwong dimulai dari Ledok Timoho ke arah Balerejo. Di rute ini sebagian besar peserta merasakan nuansa yang berbeda karena ternyata masih ada “hutan”,  yang ngeri-ngeri sedap ketika dilalui rombongan KaRMaPIT.

Rombongan masih lanjut dengan rute pinggir kali Gajahwong dengan pemandangan sungai beserta grojogannya dan rumah-rumah penduduk yang cukup asri dengan di beberapa spot ada taman-taman yang indah. Rute blusukan pinggir kali ini berakhir di Jl. Tegalgendu. Kemudian rombongan menuju ke Intro Living Museum Kotagede, sebuah tempat awal atau pintu masuk untuk memahami warisan budaya masyarakat Kotagede secara menyeluruh.

Dari Intro Living Museum inilah jelajah Kotagede dimulai dengan dipandu oleh Priyo Salim yang merupakan alumnus Fak. Geografi ’80, sekaligus pemilik “Salim Silver”. Dalam penjelasannya Priyo mengatakan bahwa untuk memahami Kotagede bisa bermula dari tempat ini. Pada intinya Kotagede dibangun dengan konsep dasar Catur Gatra Tunggal di mana sebuah kota / pemerintahan tidak bisa dipisahkan dari aspek ekonomi, religius, dan sosial.

Ada empat elemen yang merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dilepaskan yaitu: kraton, alun-alun, masjid, dan pasar. Namun di Kotagede dari keempat elemen tersebut tinggal masjid dan pasar yang masih bisa kita saksikan, sementara kraton dan alun-alun tinggal toponim yang masih bisa kita lacak. Dan penjelajahan KaRMaPIT diarahkan menelusuri jejak-jejak konsep Catur Gatra Tunggal tersebut dengan melewati kampung-kampung yang sangat sempit jalannya, melintasi rumah-rumah joglo, limasan tradisional maupun indish.

Dari Intro Living Museum perjalanan dilanjutkan dengan menempuh rute ke kampung Jurang, melewati turunan yang lumayan tajam di sebelah Omah Dhuwur, dan sampailah di sebuah tanjakan yang semuanya harus nuntun sepeda. Dari sinilah gang-gang sempit dimulai, sehingga harus berjalan berderet satu-satu.

Obyek pertama yang dikunjungi adalah Rumah UGM di kampung Jagalan. Diskusi panjang terjadi ketika pemandu memberikan penjelasan terkait dengan arsitektural rumah joglo berikut dengan roman sejarah Kotagede yang mengiringinya. Sampai-sampai ada peserta yang nyeletuk ceritanya mirip cerita stensilan.

Selesai dari rumah UGM, perjalanan dilanjutkan ke obyek kunjungan kedua yaitu Joglo Jati Kumara, lalu ke rumah R. Pesik atau yang lebih dikenal dengan Rumah Ijo, sebuah rumah khas orang Kalang yang sangat besar dan megah. Karena gang-gangnya sempit dan banyak gang yang saling terhubung, perjalanan dari rumah UGM membuat beberapa peserta sampai kehilangan jejak / kelangan enggok, dan tidak sampai ke Joglo Jati Kumara.  Mereka yang kehilangan jejak langsung menuju rumah R. Pesik, dan menikmati keindahan serta kemegahan Rumah Ijo.

Dari Rumah Ijo, peserta menyusuri gang-gang yang lebih kecil menuju ke kompleks masjid dan makam raja-raja Mataram. Di gang-gang inilah keasyikan dan kelucuan dimulai. Gang-gang dengan lebar rata-rata 80-90 cm dilalui dengan bersepeda. Goyang kanan goyang kiri kebentur tembok-tembok besar dan tinggi dengan kelokan tajam, 90 derajat. Disinilah sempat ada beberapa peserta yang kesulitan ketika akan berbelok sehingga menutup jalan / gang bagi peserta yang lain.

Dan pola gang dengan kelokan tajam ini lumayan panjang, dari Rumah Ijo sampai Sumber Kemuning, di belakang kompleks masjid dan makam Kotagede. Di kompleks masjid dan makam raja-raja Mataram yang sekaligus dipakai sebagai water station, peserta beristirahat sebentar sambil berfoto dan mendengarkan penjelasan dari pemandu. Tidak lupa kompleks makam dan Sendang Selirang juga dikunjungi dengan penjelasan dari pemandu yang cukup menarik.

Foto-foto tentu saja hal yang tidak terlewatkan dari obyek ini dengan latar belakang pintu gerbang maupun tembok / pagar masjid dan makam raja-raja Mataram yang menunjukkan adanya akulturasi budaya dengan budaya Hindu. Selesai dari kompleks masjid dan makam raja-raja Mataram, peserta menyusuri kampung Alun-alun melalui jalan yang selama ini dikenal dengan istilah between two gate. Keindahan rumah-rumah tradisional dengan kayu jati mendominasi di area ini dan tentu saja nampak indah dan unik. Kampung Alun-alun inilah yang diperkirakan dulu merupakan alun-alun sebagai salah satu elemen dalam catur gatra tunggal.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan melalui Hastorenggo yang dulu diperkirakan sebagai pusat kraton Kotagede, sekarang menjadi kompleks makam sentana ndalem dan kerabat Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta. Di sini peserta hanya lewat dan tidak berhenti sehingga perjalanan dilanjutkan dengan melewati situs Watu Gilang dan Watu Gatheng menuju benteng Cepuri Bokong Semar.

Terjadi diskusi menarik di Bokong Semar ini ketika pemandu menjelaskan tentang makam Nyi Melati dengan berbagai intrik dan mistiknya. Memang tidak ada puasnya diskusi tentang Kotagede namun perjalanan belum usai sehingga harus dilanjut ke rute berikutnya yaitu Rumah KH. Kahar Mudzakir dan Langgar Dhuwur di kampung Boharen.

Rute kelak-kelok, gang sempit lagi-lagi harus dilewati, namun akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Tapi karena keburu siang, rombongan KaRMaPIT hanya mendapatkan penjelasan singkat mengenai sosok KH. Kahar Mudzakir yang merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional. Rombongan segera menuju tempat finish yaitu Kopi Lumbung Mataram. Di tempat inilah peserta melepas penat dan segera menikmati hidangan / makanan khas jawa dengan cara prasmanan sambil bersenda-gurau.

Sungguh menjadi sebuah perjalanan gowes yang tidak terlupakan dan menarik untuk diulang, petualangan melewati gang-gang sempit menghimpit namun asyik. Sehat, gembira, dan semakin mengenal sejarah warisan budaya masa lalu Kotagede.