Wisata Kesehatan #1: Berwisata dengan Aman untuk Semua Usia

Perhimpunan Kedokteran Wisata (PERKEDWI) bekerja sama dengan PP Kagama, Kagama Health, KAGAMADOK, Unit Alumni FK-KMN UGM, AHS UGM, dan IDAI cabang DIY menggelar webinar serial Wisata Kesehatan untuk pertama kalinya melalui Zoom Meeting, Minggu (10/7/2022). Webinar mengangkat topik “Berwisata dengan Aman untuk Semua Usia”, menghadirkan tiga narasumber, yaitu dr. Yanri Wijayanti Subronto, PhD, SpPD-KPTI, Dr. dr. Ida Safitri Laksanawati, SpA(K), dan Dr. dr. I Dewa Putu Pramantara S, SpPD-K.GER. Jalannya acara dimoderatori oleh dr. Agung Widianto, SpB-KBD, serta dipandu 2 host yaitu dr. Devie Kristiani, MSc, SpA(K) dan dr, Theresia Handayani, M.Biomed(AAM). Dr. Awalia Febriana tampil di awal acara memberikan kata sambutan mewakili panitia.

dr. Yanri Wijayanti Subronto, PhD, SpPD-KPTI

Narasumber pertama, dr. Yanri Wijayanti Subronto mengatakan penyakit yang sering berhubungan dengan wisata terbagi menjadi dua, yaitu infeksi dan non-infeksi. Beberapa penyakit infeksi yang perlu kita waspadai dalam traveling kita, yaitu diare (masalah pencernaan), hepatitis A, malaria, dengue fever, infeksi parasit, tuberkulosis, typhoid fever, yellow fever, meningitis, dll. Untuk penyakit non-infeksi yaitu kardiovaskular yang bisa bersumber penyakit bawaan atau mendadak, altitude & decompression sickness, keracunan makanan, dan kecelakaan.

Altitude sickness kadang disebut sebagai “mountain sickness”, yaitu merupakan kumpulan gejala yang terjadi ketika mendaki atau berjalan ke daerah lebih tinggi dan peningkatan ketinggian terlalu cepat. Bisa terjadi karena badan belum punya cukup waktu untuk adaptasi terhadap tekan udara dan kadar oksigen yang lebih rendah pada udara di tempat yang lebih tinggi.

Dr. Yanri menyatakan cara terbaik pencegahannya adalah aklimatisasi, yaitu proses yang membuat badan beradaptasi terhadap perubahan konsentrasi / kadar oksigen pada ketinggian yang lebih. Akan lebih baik apabila kita naik ke tempat yang lebih tinggi dengan kecepatan rendah.

Sedangkan decompression sickness atau Caisson disease merupakan gangguan yang biasanya dialami oleh para penyelam skuba. Muncul ketika tubuh mengalami perubahan tekanan aiar atau udara yang terlalu cepat, sehingga nitrogen dalam darah membentuk gelembung yang menyumbat pembuluh darah dan jaringan organ. Gelalanya bervariasi, mulai dari nyeri sendi, pusing, tubuh terasa lemas hingga lumpuh, sesak napas, ruam, kesemutan pada bagian tubuh tertentu, sampai pecah gendang telinga.

Menurut dr. Yanri, cara pencegahannya adalah taati aturan dan perintah instruktur selam, konsultasikan dengan instruktur mengenai batasan kedalaman & durasi menyelam, bila perlu gunakan dive computer atau alat khusus yang dapat membantu penyelam mengukur kedalaman hingga durasi penyelaman yang tersisa, serta terapkan safety stop atau berhenti beberpa menit di kedalaman tertentu (umumnya 4-5 meter), sebelum kembali ke permukaan.

“Sebelum melakukan perjalanan, tetapkan terlebih dulu ada atau tidaknya dan beratnya resiko. Yaitu bisa dilihat dari tujuan perjalanan, moda transportasi, riwayat penyakit, dan resiko intervensi,” ucap dr. Yanri.

Resiko tujuan wisata bisa berupa negara tujuan dan di bagian mana dari negara tersebut yang akan dikunjungi. Lalu berapa lama, kapan akan berangkat (kaitannya dengan musim), kegiatan yang akan dilakukan, bagaimana keadaan tempat tinggal, bahaya apa yang dikhawatirkan, dan apakah ada sesuatu yang khusus, misal budaya atau kaitan dengan hukum. Kemudian pikirkan pula apakah mau jalan sendiri atau kelompok, fasilitas layanan kesehatan yang dapat dijangkau, paham P3K atau tidak, serta apakah memiliki asuransi perjalanan atau tidak.

Dr. Yanri melanjutkan, moda transportasi dapat mengakibatkan beberapa kondisi medis dengan berbagai keparahan, misal mabuk darat & laut, fobia, nyeri telinga (sinuitis), DVT, dll. Beberapa orang mungkin tidak memenuhi syarat untuk melakukan perjalanan, misal adanya penyakit, kehamilan, belum lama operasi, dan ketidakmampuan fisik & mental. Perhitungkan pula risiko kecelakaan & luka, kemacetan lalu lintas, serta penggunaan moda yang tidak umum semisal moge, sepeda, roller blade, ski, jetski, dll.

Mengenai riwayat penyakit, dr. Yanri mengatakan harus menjadi perhatian kita juga. Kita harus melihat rekam medis sebelumnya termasuk operasi, obat yang diminum saat ini, kehamilan, alergi terhadap makanan atau obat, perjalanan bersama anak-anak atau orang tua, serta seberapa fit / sehat untuk melakukan kegiatan yang “terpaksa”.

Risiko yang terakhir adalah risiko dari intervensi. Permasalahan yang umum terjadi adalah apakah kita dapat mentoleransi intervensi, misal adanya kontraindikasi vaksinasi. Jangan lupa pertimbangkan besaran risiko paparan dan risiko intervensi. Lalu apakah intervensi terjangkau, dan yang terakhir apa yang perlu dilakukan bila tidak tersedia proteksi memadai.

Sebagai penutup, dr. Yanri menyimpulkan traveling saat ini sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup. Di balik kegiatan traveling yang menyenangkan ada bahaya mengintip yaitu berbagai macam penyakit yang dapat berhubungan dengan suatu kegiatan perjalanan wisata. Penyakit dapat berupa penyakit infeksi, non-infeksi / tidak menular, kecelakaan, dll. Terdapat 4 penilaian risiko yaitu risiko destinasi, moda transportasi, riwayat penyakit, dan risiko dari intervensi.

“Yang paling penting adalah lakukan perencanaan traveling yang matang sebelum melakukan perjalanan, agar wisata kita berjalan aman dan menyenangkan,” pungkas dr. Yanri.

Dr. dr. Ida Safitri Laksanawati, SpA(K)

Narasumber kedua, dr. Ida Safitri Laksanawati membawakan materi berjudul “Berwisata Aman Bersama Anak di Yogyakarta”. Ia mengatakan destinasi wisata di Yogya terbagi menjadi beberapa kategori yaitu wisata alam, wisata edukasi, wisata kuliner, dan mall atau pusat perbelanjaan. Yang menjadi favorit bagi anak-anak di antaranya adalah Gembira Loka, Alun-alun Kidul, Jogja Bay, Taman Pintar, Sindu Kusuma Edupark, dan Agrowisata Bhumi Merapi.

Dr. Ida menyatakan yang harus diperhatikan adalah melakukan persiapan perjalanan sebaik mungkin untuk mengurangi risiko yang tidak kita inginkan, seperti risiko sakit di perjalanan. Mendapatkan nasihat sebelum bepergian / pre-travel consultation penting dilakukan, untuk memperoleh informasi risiko penyakit di tempat tujuan. Lalu kita harus benar-benar perhatian saat dalam perjalanan, karena anak-anak berbeda dengan orang dewasa, yang mana mereka harus mendapatkan perhatian lebih. Apalagi saat menempuh perjalanan panjang, anak-anak bisa menimbulkan kerewelan yang dapat mengganggu aktivitas traveling.

Selanjutnya dr. Ida menjabarkan informasi yang diperlukan untuk penilaian risiko pada anak sebelum perjalanan. Yang pertama, harus diketahui riwayat penyakit terdahulu, riwayat alergi obat & makanan, dan riwayat obat-obatan. Lalu, kondisi khusus anak seperti faktor disabilitas, kondisi psikis, riwayat kejang, dab riwayat operasi. Riwayat vaksinasi anak juga penting baik vaksin rutin atau tidak rutin semacam vaksin Covid-19. Yang terakhir, pengalaman perjalanan sebelumnya juga harus menjadi rujukan, seperti penyakit yang pernah muncul selama perjalanan, pengalaman yang terkait dengan ketinggian, dan riwayat konsumsi obat-obatan profilaksis, semisal malaria.

Permasalahan yang sering ditemui pada anak-anak saat perjalanan adalah paparan sinar matahari, gigitan nyamuk & hewan lain, diare & higienitas makanan, dehidrasi & rehidrasi oral, dan masalah ketinggian. Untuk paparan sinar matahari, anak usia kurang dari 6 bulan harus menggunakan pakaian tertutup, dan 6 bulan ke atas diperbolehkan menggunakan sunscreen (cancer council) SPF 30.

Untuk mencegah gigitan nyamuk, anak harus diberikan pakaian panjang, longgar dan nyaman. Kondisikan anak di zona bebas nyamuk sesering mungkin. Bisa juga menggunakan lotion / spray anti nyamuk. Penggunaan kelambu terbukti efektif untuk daerah malaria.

Sedangkan untuk masalah penyakit yang disebabkan oleh hewan lainnya, dr. Ida menyatakan DIY merupakan provinsi dengan kasus leptospirosis (penyakit yang menyebar melalui urine hewan yang terinfeksi) terbanyak di Indonesia tahun 2011. Manusia dapat tertular leptospirosis melalui kontak langsung dengan urine hewan yang terinfeksi, biasanya tikus.

“Perlu diingat, anak-anak dapat lebih mudah terkena racun oleh gigitan tikus, ular, laba-laba, dll. Anak-anak cenderung penasaran dengan hewan, termasuk hewan berisiko penyebar rabies seperti anjing. Anak-anak sebaiknya dilarang mengelus hewan liar bahkan jika hewan tampak sehat. Anak mungkin tidak akan memberitahu, jika mereka telah digigit,” ucap dr. Ida.

Masalah higienitas makanan juga harus menjadi perhatian kita. Risiko saat berwisata terkena diare atau Traveller Diarrhea (TD) sering terjadi. Risiko TD secara umum sama pada anak dan dewasa, kecuali pada bayi. Balita biasanya memiliki gejala diare yang lebih berat dan lebih lama dibandingkan orang dewasa. Makanya kita harus perhatikan pada kebersihan benda yang dimasukkan balita ke mulut mereka, jangan sampai terkontaminasi zat-zat yang berbahaya.

Rehidrasi oral menjadi pertolongan utama dalam tatalaksana TD dan dehidrasi pada anak. Anak bisa menjadi dehidrasi dalam waktu singkat. Untuk itu penting untuk mencegah jangan sampai dehidrasi, misalnya dengan menjaga asupan cairan, dan juga anak tidak boleh ditinggal sendirian di dalam mobil.

Pada akhir presentasinya, dr. Ida memberikan tips agar berwisata dengan anak tetap aman dan menyenangkan, yaitu keberhasilan perjalanan bersama anak tergantung pada perencanaan perjalanan dan perspektif anak. Anak mudah bosan dalam perjalanan, sehingga perlu dipersiapkan banyak kegiatan sepanjang jalan.

“Membagi perjalanan panjang menjadi perjalanan-perjalanan kecil akan memudahkan dan mencegah anak bosan. Pemilihan moda transportasi dan menyediakan tempat duduk yang sesuai bagi anak anak sangat penting,” ucap dr. Ida mengakhiri paparannya.

Dr. dr. I Dewa Putu Pramantara S, SpPD-K.GER

Narasumber terakhir, dr. I Dewa Putu Pramantara S. memaparkan materi berjudul “Berwisata Aman dengan Lansia”. Ia menyatakan angka harapan hidup di Yogyakarta sangat tinggi, melebihi angka rata-rata di Indonesia. Sehingga mereka yang disebut lansia jumlahnya banyak di Yogya.

Para lansia umumnya mempunyai waktu luang yang lebih, dan berkecukupan uang. Untuk mereka yang mempunyai fisik relatif sehat, keinginan berwisata sama dengan usia muda.

Semua orang akan mengalami proses menua dan proses penyakit. Proses menua akan menciptakan perubahan fisiologis dan implikasi klinis, yang artinya meski tidak punya penyakit serius tetapi daya adaptasi fisik lingkungannya akan menurun. Karena daya adaptasinya menurun tentu saja akan berpengaruh terhadap kondisi lansia ketika berwisata.

Untuk lansia tanpa penyakit, berwisata tentunya tidak ada masalah. Keluhan yang dirasakan ketika berwisata hanyalah merupakan maladaptasi kegiatan. Misalnya terasa nyeri di tubuh itu hanyalah efek dari aktifitas yang dilakukan. Keluhan bisa diatasi dengan upaya tanpa obat.

Untuk lansia berpenyakit harus lebih hati-hati dalam berwisata. Apabila tidak bisa lepas dari obat, sebaiknya dibawa saat berwisata. Baiknya kontrol dulu ke dokter dulu sebelum memutuskan traveling. Lalu perlu dipikirkan butuh pendamping atau tidak.

“Banyak manfaat yang bisa didapatkan oleh para lansia dari berwisata. Di antaranya risiko kematian menjadi menurun, dikarenakan tingkat kesehatan fisik, fungsi sistem tubuh dan kesehatan psikologisnya membaik,” ujar dr. Prama.

Dr. Prama selanjutnya memberikan tips wisata aman pada lansia. Yang pertama, periksa kesehatan sebelum berwisata. Sebaiknya tidak berwisata sendiri tapi bersama keluarga atau teman. Lalu pilih transportasi dan lokasi wisata yang aman dan ramah bagi lansia. Jangan lupa siapkan kebutuhan penting lansia di tas yang selalu dibawa, seperti obat-obatan. Ketika di lokasi wisata minum air putih yang cukup dan berhati-hati dalam memilih makanan dan minuman. Yang terakhir, jangan terlalu membawa banyak barang, gunakan pakaian & alas kaki yang nyaman, serta bawa alat bantu bila perlu.

Dr. Prama mengingatkan para lansia untuk berhati-hati saat berkendara dalam perjalanan wisata. Penyebab kecelakaan yang sering terjadi adalah daya penglihatan menurun, fungsi kognitif dan gangguan fisik lain. Umumnya para lansia respon emergencynya lambat, mudah terdistraksi, dan penguasaan atas kendaraan semakin melemah.

“Perhatikan gangguan sendi & otot, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, reaksi & refleks yang lambat, serta konsumsi obat yang mempengaruhi berkendara. Dalam hal ini konsultasi ke dokter menjadi sangat penting,” pungkas dr. Prama.

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: