Infodemic dan Bangkitnya Pakar Ala-Ala

Oleh: Donnie Ahmad

Infodemics oleh WHO didefinisikan sebagai “an overabundance of information – some accurate and some not – that makes it hard for people to find trustworthy sources and reliable guidance when they need it.”

Infodemic bertumbuh karena semakin berkembangnya teknologi informasi dan media sosial. Keduanya menyebabkan semakin cepatnya proses produksi informasi, semakin mudahnya membuat konten informasi, dan semakin pendeknya waktu yang diperlukan untuk melakukan fact checking. Disamping itu era media sosial mendemokrasikan berbagai proses sosial termasuk proses menentukan kebenaran pengetahuan. Ini adalah era dimana terjadi kematian para ahli (the death of expertise), dan bermunculannya pakar ala-ala.

Infodemic disatu sisi ditunjang dengan produksi pengetahuan yang luar biasa cepat dari berbagai ilmuwan di seluruh penjuru dunia. Mereka seakan berlomba untuk bisa memecahkan misteri pengendalian Covid-19. Tetapi disisi lain infodemic diperparah dengan hingar bingarnya pendapat para pakar ala-ala yang sangat masif di media sosial.

Jadi, agar kita bisa memahami infodemic dari sisi sumber informasi, marilah kita menggibah seperti apa saja sih profil para pakar ala-ala ini. Secara umum, saya mau membagi profil pakar ala-ala menjad empat kategori. Kategori ala-ala saya saja sih, minimal hanya untuk melabel dan membedakan:

1. The quack doctor
Para quack doctor adalah mereka yang memberikan PHP bahwa ada obat yang telah ditemukan. Dan yang dimaksud dengan obat bisa sangat bervariasi. Dan yang saya juluki quack doctor tidak berarti mereka adalah dokter palsu, atau berniat menipu. Bisa jadi klaim obat tersebut dibuat dengan niatan yang tulus untuk menyelesaikan masalah Covid19, akan tetapi karena ketidaktahuan akan proses pengembangan dan metodologi pembuktian efek sebuah obat sebelum bisa dipasarkan. Hasilnya tentu saja adalah produk yang bombastis, seperti kalung jimat anti covid, maupun antibodi herbal. Disisi lain ada juga yang memang kompeten terhadap bidang obat, tetapi karena tidak paham terhadap pembuktian efek obat, maka hanya dengan membuat uji invitro di lab sudah dicap sebagai obat yang mujarab.

2. The enlightened commoners
Ini sering diperankan oleh selebritis dan media influencer. Mereka mencoba membuat profil sebagai seorang awam yang tercerahkan dengan isu tersebut. Mungkin mereka merasa menjadi the guardian of the consciousness atau of the poor. Mereka merasa bahwa saat ini sedang terjadi konspirasi tingkat tinggi untuk mengeksploitasi kemanusiaan dengan menggunakan isu Covid-19 dan mereka punya kewajiban moral untuk bersuara.

Dari kalangan ini bisa mempunyai dua mode dalam beroperasi:
– Mode “Eksistensialisme” dengan semboyan “If it is not [happened to] me it does not exist”. Ini terjadi pada beberapa selebriti yang vokal di sosial media dengan membuat tantangan terbuka untuk melakukan kontak erat dengan pasien Covid-19, atau melakukan kampanye anti masker atau social distancing. Vaksin menurut mereka hanyalah konspirasi kapitalisme untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

– Mode “call to the authority”, dengan menampilkan narasumber yang mempunyai gelar tertentu sebagai representasi otoritas seorang pakar. Kalau mode pertama tadi tidak cukup nendang, bisa dipilih mode yang kedua. Wawancarailah seorang “Pakar”. Apalagi jika ada pakar yang lagi kebelet butuh media untuk bersuara. Seperti Prof Mikrobiolog misterius yang mengklaim bahwa virus Sars-CoV2 tidak bisa mati oleh sinar matahari karena jarak matahari yang terlalu jauh dari bumi. Atau wawancara dengan seorang mantan pejabat yang semasa tugasnya merasa berhasil membongkar konspirasi global. Sebuah wawancara yang berhasil menimbulkan gerakan ‘saya percaya mantan’.

3. The enlightened middle class
Kelas menengah adalah mereka yang mempunyai kesadaran akses ke sumber ilmu dan kemampuan untuk mengkritisi informasi. Oleh karena itu kadang (baca: sering) mereka punya kredo “I read therefore I am the expert”. Kaum ini, memiliki kemampuan untuk membacs berbagai sumber rujukan dan membuat sintesis dari rujukan yang dibacanya. Misalnya ada seseorang yang melakukan sintesis dari beberapa referensi. Referensi 1 menyatakan bahwa batuk kering tidak memproduksi mukus dan referensi 2 yang mengatakan bahwa droplet mengandung mukus, dan patogen, sementara referensi 3 mengatakan bahwa gejala Covid-19 adalah batuk kering. Maka sintesis yang dibuat adalah, karena gejala Covid 19 adalah batuk kering, dan batuk kering tidak menghasilkan mukus, maka batuk kering tidak menularkan Sars-Cov, karena tidak menghasilkan droplets. Padahal batuk rejan a.k.a pertusis a.k.a whooping cough dengan gejala utama batuk kering, ditularkan melalui droplets.

4. The grand expert (expert of the experts)
Pakar yang masuk dalam kategori ini menurut saya merupakan creme de la cream, core of the core, ahlinya ahli, dengan semboyan “I am the expert therefore I am the truth [for everything related to the Covid 19]”. Secara kepakaran, sebenarnya tidak tepat saya memanggil dengan label pakar ala-ala. Karena memang mereka punya keahlian di bidang kesehatan tertentu.Yang membedakan adalah, karena keahliannya tersebut mereka merasa paling ahli diantara semua ahli. Contohnya adalah dr. Stella Emanuel, seorang dokter anak di Texas yang mengklaim berhasil menyembuhkan 350 pasien dengan obat hidroksiklorokuin ketika penelitian skala besar dengan menggunakan desain RCT tidak menemukan bukti tersebut. Dia bahkan mengklaim orang tidak perlu memakai masker. Di Indonesia, beberapa saat yang lalu saya pernah berdebat dengan seorang klinisi yang mengatakan bahwa definisi standard ‘klaster penyakit’ yang digunakan oleh epidemiolog keliru, karena tidak sesuai dengan definisi yang dia buat. Ada lagi kisah seorang yang dekat dengan virolog, yang meminta seorang praktisi manajemen risiko untuk belajar lagi, ketika mendiskusikan tentang risiko pembukaan sekolah bagi anak-anak. Mereka inilah yang merasa punya beban sebagai penjaga kebenaran ilmiah.

Apakah demikian pakar lain diluar kategori tersebut menjadi pakar yang paling benar?

Tidak juga. Kebenaran dalam science adalah kebenaran yang relatif dan tentative. Kebenaran tersebut berlaku dengan catatan tertentu. Karena kebenaran selalu mempunyai basis asumsi. Oleh karena itu menjadi penting di dalam science untuk juga menilai bagaimana cara dia mencapai kesimpulan kebenaran. Apakah kebenaran yang diklaimnya relatif objektif ataukah sangat bias nilai. Dan seberapa solid metodologi yang digunakan untuk sampai pada kesimpulan bukti jauh lebih penting dibandingkan dengan siapa yang menemukan bukti tersebut.

Bahkan menurut  Nino Aditomo, seorang ahli adalah mereka yang tahu baik apa yang diketahui maupun apa yang tidak diketahui.

Seorang ahli modeling punya motto tidak ada model yang benar, yang ada hanyalah model yang bermanfaat untuk membantu membuat keputusan.

Ahli virologi akan bilang bahwa saya tahu a, b, c, d tentang virus tersebut, tetapi ada hal lain yang masih belum diketahui dari virus Sars-Cov2 ini.

Seorang epidemiolog akan paham bahwa faktor risiko maupun intervensi yang sama bisa mempunyai dampak yang berbeda pada situasi yang berbeda, tergantung pada konteks yang mendasarinya. Dan konteks yang mendasarinya bisa saja belum diketahuinya.

Hal ini karena di dalam bidang kesehatan/kedokteran, pendapat ahli adalah selemah-lemahnya bukti/kebenaran. Asumsi yang mendasari paradigma tersebut adalah klaim kebenaran yang dilakukan oleh seorang ahli bisa jadi dipenuhi oleh bias seleksi, bias preferensi, bias survival atau bias-bias lainnya. Ini sejatinya seperti cerita tentang beberapa orang buta yang mencoba mendeskripsikan seekor gajah menurut apa yang dia sentuh dan rasakan: pipih, tipis, lebar apabila dia memegang telinga; panjang, lentur dan mempunyai lubang apabila dia memegang belalai; dan tinggi, gilig dan keras apabila memegang kakinya. Dan mungkin mereka tidak bisa menangkap bahwa deskripsi tersebut bukanlah sebuah deskripsi sebenarnya seekor gajah.

Oleh karena karena itu, berhati-hatilah apabila menemukan pakar dengan klaim kebenaran yang superlative. Karena mereka mungkin baru saja selesai memegang gajah. If it is too good to be true, then it is too good to be true.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*