Bagi Aditya Wahyudi, ketika ia melanjutkan studi di Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM seusai lulus dari SMA pada tahun 2004, tidak pernah berpikir sedikitpun di benaknya bahwa ia kelak akan menjadi seorang petani. Namun, apapun pekerjaannya saat ini ia tetap mensyukurinya dan merasa bahwa Tuhan telah memberikan jalan terbaik untuknya. Lewat pertanian jahenya, ia bangga bisa ikut memberdayakan masyarakat lewat Kelompok Wanita Tani di berbagai wilayah
Kepada kagama.id yang mewawancarainya, Adit bercerita panjang lebar tentang kisah hidupnya sejak wisuda sampai sekarang. Ceritanya bermula dari saat ia berhasil merengkuh gelar sarjananya pada bulan Februari 2009, yang kemudian mulai meniti karir pada pada perusahaan multinasional Nestle. Dari awal ia ditempatkan di bagian sales dan tugasnya keliling di wilayah Indonesia bagian timur, yang dijalaninya selama sekitar 8 tahun.
Pada tahun 2017, Adit resign dari Nestle. Ia diajak oleh Achmad Zaky, founder Bukalapak yang kebetulan adalah sahabatnya saat duduk di bangku SMA dulu, untuk ikut mengembangkan divisi kemitraan market place tersebut. Pekerjaan Adit di Bukalapak berakhir tahun 2019, bersamaan dengan berakhirnya jabatan Zaky sebagai CEO di Bukalapak.
Adit mengatakan untungnya saat keluar dari Bukalapak, ia sudah mulai merintis usaha pertanian cabai dan jahenya, jadi periuk dapurnya tetap aman. Mengenai kenapa ia sampai terjun di bidang agripreneur, hal itu ada kisahnya tersendiri yang lumayan menarik.
Ceritanya Adit punya hobi mancing dari jaman sekolah dulu. Ketika masih bekerja di Nestle, ia sering menghabiskan akhir minggunya dengan mancing ke berbagai lokasi mancing yang menantang, termasuk di wilayah Sukabumi.
Tahun 2016 saat sedang makan di sebuah warung di Sukabumi, seusai acara mancing, tanpa sengaja Adit mendapatkan info ada sebidang lahan seluas 2 hektar yang dijual dengan harga murah. Tanpa pikir panjang langsung dibelinya dan ditanami cabai.
Dua tahun berbisnis cabai, Adit merasakan seperti menaiki roller coaster. Harga jualnya bisa sangat tinggi, namun suatu saat bisa anjlok dengan harga serendah-rendahnya. Ia kemudian memutar otak dan mencari info produk pertanian apa yang bisa berfungsi sebagai pengaman apabila panenan cabai gagal atau harganya hancur.
Dari beberapa alternatif dipilihlah jahe gajah, dengan mempertimbangkan beberapa alasan yaitu relatif mudah ditanam, gampang perawatannya dan harga jualnya stabil. Lalu dari data yang ada ternyata kebutuhan jahe gajah dalam negeri untuk bumbu dapur rumah tangga sangat tinggi.
Maka pada tahun 2018, Adit mulai mencoba menanam jahe gajah di lahan pertanian cabainya, dengan konsep tumpang sari. Karena hasilnya sangat memuaskan, ia kemudian memperluas lahannya. Dan titik tolak kesuksesannya terjadi ketika pada tahun 2019, saat hasil panenannya mencapai 64 ton dengan nilai nominal yang sangat besar.
Dari situlah Adit terus semakin menambah luasan tanah pertanian jahe gajahnya. Saat ini ia mengelola lahan 25 hektar di Sukabumi dan 8 hektar di Cianjur. Lalu ada juga di Solo dan Pati, namun tidak seluas lahannya di Jawa Barat.
Adit telah membuktikan bahwa menanam jahe gajah lebih banyak berhasilnya daripada gagalnya. Yang menjadi persoalan adalah seperti tanaman pertanian lainnya, jahe gajah juga tergantung musim. Jadi menanamnya harus di awal musim hujan. Artinya musim panen raya bagi seluruh sentra jahe gajah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Aceh, Sumatra Utara, dan Sulsel, waktunya hampir bersamaan yaitu dalam rentang waktu bulan April – Agustus. Di luar bulan-bulan itu kita kekurangan stok jahe gajah, dan pemerintah harus mengimpor dari Thailand, Vietnam dan India rata-rata 25.000 ton per tahunnya.
Adit mulai berpikir bagaimana caranya agar panen bisa berlangsung sepanjang tahun. Dari pengalamannya selama berkeliling di banyak tempat, ia mulai mendapatkan gagasan. Dalam pengamatannya banyak sekali lahan kosong penduduk baik pekarangan atau kebun yang tidak tergarap.
Hal itu memberikan Adit ide untuk melakukan program kemitraan dengan ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT). Intinya adalah mendorong pemanfaatan lahan yang selama ini menganggur dan pemberdayaan masyarakat. Wujud aksinya berupa pembagian bibit jahe gajah kepada ibu-ibu KWT yang kemudian ditanam dalam polybag atau media tanam lain di lahan masing-masing. Ibu-ibu hanya bertugas merawatnya, seperti menyiram dan memberi pupuk. Kelak, hasil panennya dibeli oleh pihak Adit dengan harga yang telah disepakati sebelumnya.
Proyek percontohan pertama pada tahun 2020 dilakukan di wilayah Bojonegoro dan terbukti berhasil dengan baik. Berikutnya menyusul pada tahun 2021 di Yogyakarta, Klaten, Purbalingga, Bogor, dan Purwokerto.
Program sociopreneur yang digagas Adit bersifat simbiosis mutualisma yang benar-benar menguntungkan kedua belah pihak. Adit jadi lebih aman karena di luar musim panen raya masih bisa memperoleh komoditi jahe gajah meski tidak terlalu besar. Sementara warga yang cuma melakukan pekerjaan sampingan bisa mendapatkan penghasilan tambahan yang lumayan nominalnya.
“Program sociopreneur yang saya lakukan untuk pemberdayaan masyarakat di bidang agripreneur, spiritnya adalah mengajak masyarakat memanfaatkan lahan sekecil apapun. Di tahun 2022 ini saya mempunyai rencana untuk lebih menggiatkan program kemitraan dan memperluas wilayahnya, sehingga diharapkan lebih banyak lahan menganggur yang menjadi produktif,” demikian pungkas Adit mengakhiri wawancaranya.