Dedi Purwadi Kembangkan Batik Ramah Lingkungan sebagai Wujud Kepedulian pada Kelestarian Alam

Bagi Dedi Purwadi, kehidupan manusia yang selaras dan harmoni dengan alam seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama. Menurutnya, sekecil apapun, tindakan untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan akan sangat bermakna buat mengurangi dampak kerusakan yang terjadi di bumi ini.

Dalam kaitannya dengan prinsip yang dipegangnya itu, alumnus Antropologi UGM angkatan 1981 tersebut mengembangkan sebuah produk batik dengan pewarna alami yang tentu saja ramah lingkungan. Dengan dibantu istrinya, Wineng Endah Winarni, mereka berdua selama 13 tahun terakhir ini tetap konsisten memproduksi batik tulis di rumah sekaligus tempat workshop mereka di Dusun Kalangan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul.

“Inspirasinya justru dari istri saya yang saat itu sedang belajar membatik. Sambil menjadi trainer jurnalis, saya ikut belajar menekuni batik darinya,” ujar Dedi kepada Kagama.id yang mewawancarai di rumahnya, Senin (21/8/2023).

Awalnya pada tahun 2009 mereka berdua mulai membikin batik dengan pewarna sintetis. Tapi, tidak sampai setahun kemudian memutuskan berganti dengan pewarna alami. Karena mereka melihat, merasakan, dan mempelajari dari berbagai sumber informasi, bahwa penggunaan pewarna sintetis dalam produksi batik bisa menimbulkan masalah kesehatan bagi pekerja dan lingkungan. Mereka ingin memproduksi batik yang lebih aman bagi mereka dan lingkungan.

Akhirnya pada tahun 2010 Dedi dan istri beralih mengembangkan batik yang ramah lingkungan, dengan menggunakan pewarna alami. Dedi menamai usahanya dengan brand “Batikjolawe”. Nama jolawe dipilih, karena Dedi terinspirasi dengan tanaman yang nama latinnya Terminalia bellirica itu.

“Nama jolawe saya kenal pertama di Solo dari sesama pembatik. Sejatinya jolawe bisa dimanfaatkan kulit buahnya sebagai bahan obat herbal. Ternyata bisa juga digunakan sebagai salah satu bahan pewarna alami batik. Nama tanaman, kegunaan, serta khasiatnya menarik bagi saya untuk dijadikan nama usaha kami, Batikjolawe,” terang Dedi.

Dedi menjelaskan, prinsip pengerjaan Batikjolawe sekitar 80% persen prosesnya sama dengan batik sintesis. Perbedaannya terletak pada saat treatment awal dan pada bahan warna maupun kekuatan pewarnaan. Batik dengan pewarna alami membutuhkan pencelupan tidak hanya sekali, namun beberapa kali.

Menurut Dedi, harus diakui tidak mudah untuk membatik dengan pewarna alami. Ada penyiapan kain khusus yang sudah direbus dengan tawas agar daya ikat kain dengan pigmen warna bisa mengikat warna alami. Kemudian proses pewarnaan jauh lebih lama karena butuh proses pencelupan berulang-ulang. Jika hal itu tidak dilakukan, maka saat dilorot bisa lepas atau pun berkurang kepadatan warnanya.

Hal itulah yang mendasari mengapa Dedi membatasi kapasitas produknya. Batik dengan pewarna alami memang komoditas boros air. Jadi ia harus mengontrol sumber daya air agar seimbang antara untuk kebutuhan sehari-hari, dan untuk kepentingan membatik.

“Selain itu karena memang keterbatasan waktu dan tenaga saya beserta istri,” ucap Dedi seraya tersenyum.

Dedi lalu menerangkan mengapa harga produk Batikjolawe relatif lebih tinggi dibanding batik sintetis. Tentu saja karena faktor waktu dan tenaga yang dibutuhkan jauh lebih besar. Selain itu tergantung juga dengan kerumitan proses pengerjaannya sesuai dengan permintaan konsumen.

Dedi menegaskan, batik dengan pewarna alami adalah pilihan yang aman, baik untuk kesehatan maupun lingkungan. Menurutnya, tidak sulit menemukan bahan pewarna alami di sekitar kita. Kalau kita amati, banyak yang sudah tersedia di halaman atau kebun kita, bahkan kadang ada yang melimpah ruah.

Dedi biasanya menggunakan kopi, teh, kulit buah jolawe, kulit kayu mahoni, daun ketapang, kulit rambutan, daun mangga, biji kesumba, dll, sebagai bahan pewarna. Ada bahan-bahan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sampah, namun di tangan kreatif Dedi justru diolah menjadi pewarna batik berkualitas tinggi yang limbahnya relatif aman.

Untuk perajin yang tetap menggunakan bahan sintetis, Dedi hanya bisa berpesan untuk mengikuti SOP yang benar. Sebab, ada kemungkinan berdampak buruk bagi kesehatan pelakunya dan sekelilingnya. Hal ini juga dapat menimbulkan konflik dengan lingkungan sekitar.

“Namun, saya paham jika ingin mengubah ke pewarna alami maka produsen harus siap, karena pangsa pasarnya belum seluas yang memakai pewarna sintetis,” ungkap Dedi.

Ia hanya bisa berharap pemerintah dan masyarakat bisa lebih banyak mendukung pembuatan batik dengan pewarna alami. Jika tidak, maka permasalahan dalam industri batik akan menuai masalah lingkungan dan kesehatan yang jauh lebih besar, dan dampak-dampak yang muncul semakin tak terkendali.

Sehubungan dengan hal itu, pelan-pelan Dedi berbagi informasi seputar batik pewarna alami guna mengedukasi masyarakat. Ia dengan senang hati menjadi narasumber sebuah diskusi atau workshop yang membahas batik dalam kaitannya dengan lingkungan. Juga tak segan-segan ia memberikan pelatihan membatik dengan pewarna alami sampai ke luar kota.

Cara sosialisasi lainnya yaitu dengan membuka kelas kursus. Pesertanya bebas buat siapa saja yang tertarik. Cara tersebut rupanya cukup efektif, sehingga lambat laun kelasnya semakin berkembang, sampai ada request khusus meminta private course.

“Puji Tuhan, di bulan Agustus ini jadwal kelasnya bisa dibilang penuh. Masa jedanya, bisa saya pergunakan bersama istri untuk memproduksi batik,” ucap Dedi penuh syukur.

Ia menambahkan, beberapa tahun lalu setiap bulan Februari pernah ada kelas khusus untuk mahasiswa dari Washington. Lalu, banyak juga orang-orang dari manca negara yang pernah belajar membuat batik di Batikjolawe, antara lain rombongan dari Republik Ceko dan Philipina, perorangan atau grup kecil dari Australia, Perancis, Spanyol, dll.

Mereka para orang asing umumnya tahu Batikjolawe menyelenggarakan kelas membatik dengan pewarna alami dari pencarian di Google. Begitu memasukkan kata kunci ‘natural dye batik course’, yang muncul salah satunya alamat blog https://batikjolaweyogya.blogspot.com.

“Mari buat teman-teman yang tertarik dengan Batikjolawe dan ingin belajar membatik dengan pewarna alami, silakan datang ke rumah saya. Kita bisa berdiskusi, atau kalau pingin ikut kelas boleh juga lho,” ujar Dedi mengakhiri wawancaranya dengan Kagama.id.