Chandra Prijosusilo Merintis Eksplorasi Budaya dan Biodiversitas untuk Mewujudkan Ekonomi Hijau

Kisah perjalanan hidup Chandra Kirana Prijosusilo (Psikologi UGM 1981) sungguh sangat menarik. Meski dasar ilmunya psikologi, namun dedikasinya pada kelestarian biodiversitas atau keanekaragaman hayati benar-benar luar biasa. Selama 30 tahun lebih ia tetap konsisten dengan pilihan hidupnya tersebut.

Ketika ditemui kagama.id di rumahnya di Yogyakarta, Chandra bercerita begitu detil akan pekerjaannya sejak ia diwisuda pada tahun 1987. Seusai wisuda, ia sempat berkecimpung mengurusi kaum difabel lewat Yayasan Indonesia Sejahtera di Solo. Namun, hal itu hanya bertahan 2 tahun saja.

Tahun 1989 adalah titik awal Chandra bersentuhan dengan pelestarian keanekaragaman hayati. Bersama sejumlah teman ia mendirikan LSM “Gita Pertiwi” yang peduli pada pelestarian biodiversitas yang penting bagi budaya pangan dalam pertanian tradisional Jawa di seputaran Solo dan Wonogiri.

Foto: Pinto NH

Selanjutnya selama 20 tahun kemudian, mulai dari tahun 1993 sampai dengan 2013 Chandra bekerja di beberapa lembaga berbeda, yang kesemuanya berhubungan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Namun, ada 2 yang sangat berpengaruh pada apa yang dikerjakannya saat ini. Yaitu yang pertama adalah ketika pada periode 1993-1997 ia bergabung dengan Greenpeace Internasional sebagai campaigner untuk mendorongkan ratifikasi Konvensi Basel oleh pemerintah-pemerintah di Kawasan Asia Tenggara. Sebuah konvensi PBB yang mengatur pergerakan bahan beracun dan berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Bekerja di Greanpeace Internasional ini mendidiknya tentang pentingnya mengambil keputusan-keputusan berbasis data yang akurat.

Yang kedua adalah ketika pada tahun 2011-2013 Chandra bekerja untuk Satgas REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation & Forest Degradation), dibawah pimpinan Kuntoro Mangkusubroto. Lembaga ini kala itu ditugasi oleh Presiden SBY untuk membentuk kelembagaan REDD+, penyusunan Strategi Nasional REDD+, serta menyusun instrument dan mekanisme pendanaan REDD+. Di sini Chandra justru melihat bahwa upaya penurunan deforestasi justru sia-sia ketika terlalu banyak biaya, waktu dan energi dihabiskan pada tataran membahas kebijakan, sementara sudut pandang masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan tidak mendapat perhatian sentral. Justru yang sangat dibutuhkan adalah turun ke lapangan dan memahami perspektif masyarakat-masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, untuk kemudian membantu mereka untuk membangun kemakmuran berbasis budaya dan biodiversitas yang mereka miliki.

Foto: Pinto NH

Ketika pada tahun 2014 Chandra memutuskan menjadi majikan atas dirinya sendiri, kombinasi pengalaman bekerja di kedua lembaga tersebutlah yang mendasari langkahnya berkarya bersama berbagai desa di Indonesia untuk membangun ekonomi hijau dengan memanfaatkan kekayaan budaya dan biodiversitas lokal sebagai pondasi utamanya. Awalnya ia belum punya lembaga resmi, baru ketika tahun 2015 ada tawaran dana dari MCAI yang mensyaratkan harus ada legalitas usaha, maka terbentuklah yayasan bernama Sekar Kawung, yang artinya bunga kehidupan. Dengan alamat yang tertera pada akta pendirian di Jl. Bantar Kemang 173 Baranangsiang, Bogor.

Konsep dalam pikiran Chandra terbentuk oleh rasa kagum ketika mengamati bagaimana budaya-budaya bertani tradisional di Nusantara umumnya tidak merusak dan bahkan merawat alam di dalam setiap kegiatannya. Istilah kerennya, metodologi pertanian mereka bersifat ‘regeneratif’ yang mampu memberi ruang kepada alam untuk selalu melakukan regenerasi dan memperbarui daya dukung hidupnya. Lewat Sekar Kawung, ia terus mengeksplorasi ikatan antara biodiversitas dengan budaya, sebagai potensi ekonomi yang secara holistic bisa dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk membangun ekonomi hijau secara berkelanjutan.

“Ada ikatan sangat kuat antara biodiversitas dengan kebudayaan semua suku bangsa di Nusantara. Adalah keragaman hayati dimana mereka hidup yang membentuk kekhasan dan kekuatan budaya lokal. Ini bisa dilihat di dalam semua aspek kehidupan, seperti arsitektur papan, teknologi dan desain tekstil atau sandang, jenis tetumbuhan yang digunakan untuk obat obatan, ramuan perawatan tubuh, sastra lisan seperti legenda dan bahkan spiritualitas di semua tempat sangat dipengaruhi oleh biodiversitas dimana masyarakat tertentu itu hidup,” ujar Chandra menjelaskan.

Tiap wilayah pasti berbeda kondisinya baik secara geografis maupun kekayaan alamnya. Maka dalam upaya untuk mengeksplorasi ikatan antara biodiversitas dan kebudayaan ia menggunakan metode appreciative inquiry, yaitu sebuah pendekatan yang fokus pada pencarian kekuatan dan potensi positif dari keberadaan komunitas untuk membangun visi yang bisa diraih secara kolektif. Metode yang diterapkan sama namun selalu membuahkan penanganan berbeda sesuai kondisi lokal.

Contoh motiv tenun tradisional Sumba Timur (Foto: Pinto NH)

Pendampingan pertama kali yang dilakukan oleh Sekar Kawung dengan konsep biodiversity vs culture adalah di wilayah Kab. Sumba Timur, NTT. Budaya sandang atau tekstil di Sumba sudah sangat tua. Di sana terdapat banyak sekali perajin tenun tradisional dengan corak yang cantik dan unik. Yang menarik teknik tenun dan motivnya bisa berbeda-beda antar daerah.

Melalui proses appreciative inquiry, dipelajari bahwa tenun-tenun tradisional di Sumba Timur secara sangat jenius memanfaatkan lebih dari 20 jenis tanaman untuk membuat warna, membuat desain dan menyediakan seratnya. Kain-kain tenun tradisional ini dibuat tanpa memanfaatkan input apapun dari luar wilayah desa. Di sini bisa dilihat dengan sangat jelas ikatan antara biodiversitas dan budaya yang saling menguatkan.

Chandra mengamati bahwa desa-desa tenun yang masih teguh mempertahankan penggunaan pewarnaan alami cenderung hijau dan rimbun, menjadi seperti oase-oase kecil di antara padang-padang sabana. Artinya bila budaya tenun dikuatkan, maka tentu juga lingkungan hidup dan tutupan lahan di Sumba Timur akan menjadi lebih baik juga.

“Pemerintah daerah perlu memberikan perhatian kepada penguatan budaya tenun, setara dengan perhatian yang diberikan kepada upaya mendorong ternak sebagai primadona penggerak perekonomian. Padahal budaya tenun sangat bisa menjadi penggerak ekonomi juga. Bahkan mungkin lebih lestari,” ucap Chandra.

Salah satu ahli pewarna di Sumba Timur (Foto: Pinto NH)

Apresiasi mendalam terhadap budaya tenun dan hubungannya dengan biodiversitas menemukan fakta bahwa setiap wilayah di Sumba Timur memliki tenun yang khas. Wilayah Kaliuda misalnya warna merahnya paling kuat. Warna merah ini diperoleh dari bahan dasar akar mengkudu. Sementara tenun di wilayah Kanatang warna birunya paling bagus. Warna ini diperoleh dari tanaman indigo.

Appreciative inquiry kemudian diterapkan untuk memahami seluruh rantai nilai pembuatan tenun ikat di Sumba Timur, dan dari sini diketahui bahwa ternyata di desa-desa tenun ada ahli pembuat benang, ahli pewarnaan merah, ahli pewarnaan biru, ahli mendesain, ahli mengikat benang, dan ahli penenun. Semuanya membentuk ekosistem usaha tenun yang holistik dan saling menguatkan. Ekosistem ini sangat menarik untuk dikembangkan menjadi wisata budaya. Dan juga menjadi entry point untuk mendorong penanaman pohon-pohonan dengan lebih tepat sasaran.

“Karena para ahli pewarna merah membutuhkan banyak bahan berupa akar mengkudu dan memanfaatkan ramuan yang bersumber pada puluhan tanaman lain, mereka sangat berkepentingan untuk menanam pohon-pohon yang menjadi bahan mereka. Pun untuk warna coklat tua, digunakan kulit kayu mangrove, tentu para penenun membutuhkan kelestarian mangrove; sementara para pengikat membutuhkan daun gewang, sehingga merekapun akan peduli untuk menjaga kelestarian sumber bahan yang mereka butuhkan untuk bekerja,” ungkap Chandra.

Melalui pendampingan yang diberikan kepada para artisan kain di berbagai wilayah di Sumba Timur, Chandra merintis pengembangan budaya tenun dan kedekatannya dengan alam melalui pemanfaatan biodiversitas sebagai sektor wisata yang khusus. Pada tahun 2015 bersama KBRI di Oslo, ia mengangkat topik wisata alam dan edukasi budaya Nusantara di Reiselivsmessen, yaitu pameran yang mempromosikan destinasi wisata dunia yang terbesar di negara-negara Skandinavia. Dalam pameran tersebut ia mengajak Petronela Pihu, wakil penenun dari Sumba Timur, dan Raymundus Remang, kepala desa Sungai Utik untuk ikut serta menjadi duta wisata alam dan budaya pada pameran tersebut. Sungai Utik adalah sebuah desa yang memiliki kawasan hutan adat lebih dari 9000 ha di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Chandra ketika itu juga memfasilitasi proses revitalisasi budaya tenun, sebagai bagian yang utuh dari pengembangan sektor wisata eko-budaya.

Genre wisata budaya dan alam berbasis desa yang dikembangkan oleh Chandra bertumpu kepada kejeniusan masyarakat setempat di dalam mengolah alam dan memanfaatkan biodiversitas yang ada di dalamnya untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Di dalam jenis wisata alam ini, masyarakat lokal adalah ahli yang menjadi “interpreter” bagi wisatawan untuk memahami dan menikmati gaya hidup setempat. Proses pelibatan masyarakat lokal seperti ini membangkitkan kebanggaan dan kepercayaan diri bahwa budaya asli mereka, dan cara mereka merawat alam, dihargai dan dikagumi oleh pihak luar. Cinta tanah air, cinta kepada budaya dan alam yang dimiliki pun terbangun dengan lebih kuat. Dan ini berbuah pada pelestarian alam dan pengembangan budaya secara sangat kreatif. Bila hal ini sudah bisa ditumbuhkan, maka komunitas desa akan mampu untuk terus membangun ekonominya sendiri dengan baik.

Bersama ibu-ibu di Sungai Utik yang sedang mengolah buah mawang (Foto: Pinto NH)

Chandra melanjutkan ceritanya, konsep wisata tidaklah lengkap bila tidak disertai dengan makanan khas untuk dinikmati. Oleh karenanya di setiap lokasi di mana ia berkarya, Chandra juga akan mencari apa saja potensi biodiversitas pangan yang khas. Di Sumba Timur misalnya ia mengembangkan sirup dan selai asam dengan gula lontar, sementara di Sungai Utik ia merintis pengembangan sirup dan selai buah mawang, semacam mangga liar yang endemik di Kalimantan. Kedua buah ini dimanfaatkan secara terbatas di dalam budaya setempat. Asam dipakai untuk obat dan bumbu masak di Sumba Timur, sedangkan kulit buah mawang dipakai sebagai bumbu pada waktu mengolah ikan di Sungai Utik. Sayang jika banyak sekali yang terbuang setiap kali pohon-pohon berbuah. padahal potensi kedua jenis buah itu sangat besar.

“Kami lalu mencontohkan membuat sirup, dan mengemasnya dengan branding yang khas untuk dicicipi oleh warga desa. Selain itu kami juga membuat selai dan mengadakan pelatihan membuat kue-kue kering dari selai tersebut. Ini memungkinkan warga desa untuk mengolah sebanyak mungkin potensi yang mereka memiliki, sehingga sepanjang tahun bisa menyuguhkan makanan yang khas dari desa mereka sendiri. Olahannya bisa saja modern, tapi bahannya benar-benar unik dan dari desa sendiri,” jelas Chandra.

Pengalaman Chandra di Sungai Utik dan Sumba Timur, semakin menguatkan keyakinannya bahwa sebenarnya dengan warisan biodiversitas dan budaya yang dimilikinya, Indonesia semestinya bisa mewujudkan semua Sustainable Development Goals dari desa. Desa-desa bisa menjadi pusat pusat pembangunan yang lestari, yang terhubung ke kota dan dunia secara berdaya.

Chandra berpendapat bahwa selama ini pembangunan ekonomi desa terlalu fokus kepada upaya untuk mengenalkan komoditas-komoditas pasar yang dianggap lebih menjanjikan seperti kelapa sawit, karet, kopi, dsb. Padahal cara suku-suku Indonesia membangun pertanian tradisionalnya di masa lalu itu jauh lebih lestari. Memang sifat pertanian tradisional ini sangat berbeda dari pertanian modern.

“Di dalam budaya tani tradisional, petani tidak hanya menanam, mereka juga merawat berbagai spesies yang tumbuh liar. Tumbuhan dan tanaman bagi mereka artinya berbeda, namun sama-sama berharga. Di Sumba pun demikian, asam biasanya adalah tumbuhan, tidak ditanam, tapi karena bermanfaat kemudian dirawat. Mawang di Sungai Utik, tidak ditanam tapi selalu dibiarkan hidup dan dirawat karena manfaat yang dimilikinya sebagai tanaman bumbu,” jelas Chandra.

“Di dalam sistem pertanian tradisional di seluruh Nusantara terdapat banyak sekali spesies yang dikategorikan sebagai tumbuhan atau di dalam bahasa Jawa disebut “thukulan” yang sangat produktif tapi tidak diperlakukan sebagai potensi ekonomi. Di sinilah saya memfokuskan energi, yaitu untuk mencari cara bagaimana bisa mengolah dan mengenalkan produk-produk yang sangat beragam ini untuk dikenalkan ke pasar secara berdaya. Bila tumbuhan-tumbuhan ini bisa diberi nilai ekonomi, maka hutan-hutan adat, dan kawasan-kawasan pertanian tradisional yang mirip hutan akan bisa diselamatkan. Warga tidak akan menebangi kawasan hutan majemuk mereka dan menggantikannya dengan komoditas pasar seperti kelapa sawit dan kopi misalnya,” imbuhnya.

Di Dukuh bersama ibu-ibu yang sedang membuat kerajinan dari sisal (Foto: Pinto NH)

Ikatan antara biodiversitas dan budaya menjadi magnet bagi Chandra untuk dieksplorasi nilai ekonominya ke manapun dia pergi. Contohnya tumbuhan yang dalam bahasa latinnya bernama agave sisalana yang banyak tumbuh di lereng Gunung Agung, Desa Dukuh, Kab. Karangasem, Bali yang gersang. Tumbuhan tersebut menghasilkan sejenis serat kaku yang dinamakan agel.

“Di Dukuh, selama ini sisal dikumpulkan untuk diambil seratnya dan dijual dengan harga antara 80 hingga 100 ribu per kilo oleh warga. Dalam tradisi serat ini dipakai untuk membuat penjor penghias jalan, atau juga dipakai untuk rambut putihnya topeng leak. Karena terus diambil dalam jumlah besar dan tidak dilakukan penanaman, maka kini tumbuhan ini hampir punah. Oleh karenanya bersama ibu-ibu di desa Dukuh saya mencari cara agar mereka tetap bisa mendapatkan uang dari sisal, namun menurunkan intensitas eksploitasi, dengan cara mengajari merajut dan membuat pernak pernik mungil dari serat sisal yang diwarnai secara alami dengan bahan-bahan alam yang ada di desa mereka. Kami mewujudkan produk yang sangat low volume, tapi high value dari segi ekonomi; dan tumbuhan sisal tidak perlu dieksploitasi secara berlebihan lagi,” ucap Chandra.

Untuk pelestarian alam dan biodiversitas, Chandra menyelami kearifan tradisional dan riset-riset antropolog dan arkeolog dari dalam dan luar negeri, bukan semata untuk tetap melestarikan tradisi. Menurutnya budaya perlu dinamis dan mengikuti perkembangan jalan, bila tak ingin mati. Di dalam kearifan tradisional terkandung ilmu tentang pemanfaatan biodiversitas yang sangat luas, ini bisa digunakan untuk mengilhami model-model pembangunan ekonomi masa depan. Namun untuk bisa maju, maka kearifan ini mesti bisa dikaitkan dengan pemanfaatan teknologi-teknologi terbaru demi kemaslahatan para pemilik tradisi itu sendiri.

Perajin tenun gedog di Tuban (Foto: Pinto NH)

Untuk hal ini, ia banyak menjalin kerjasama dengan berbagai pusat penelitian, universitas dan perusahaan IT. Di tahun 2021 ini misalnya, Chandra berkolaborasi dengan Balai Penelitian Tanaman Pemanis & Serat (BALITTAS) Malang. Tenun gedog Tuban adalah warisan budaya wastra atau sandang yang telah hidup ditangan masyarakat yang memiliki kekhasan penggunaan kapas berwarna coklat yang berasal dari kapas lokal Lowo. Menurut penanggung jawab Program Tanaman Serat BALITTAS, Prof. Nurindah, Ph.D., kapas lokal tersebut telah bercampur dan tidak murni lagi. Untungnya masih dapat dilakukan pemurnian kembali untuk selanjutnya dilepas sebagai varietas kapas lokal. Berdasarkan hal tersebut, Sekar Kawung  melakukan kerja sama dengan BALITTAS untuk penyediaan benih sumber dan pendampingan penanaman kapas coklat varietas Bronesia.

“Jaman dahulu kala kapas Lowo banyak ditanam di wilayah yang merupakan sentra peribadatan agama Hindu, untuk keperluan spiritual. Sekarang hanya ada di wilayah Tuban. Hasil tenun seperti selendang dari kapas Lowo yang telah bercampur berkurang nilai ekonomisnya. Maka pemurnian kapas menjadi sangat penting untuk mengangkat kembali valuenya,” demikian penjelasan Chandra.

Penenun Tuban, menurut Chandra memiliki potensi untuk menjadi yang terdepan di dalam pengembangan kain untuk eco-fashion di Indonesia, karena mereka masih menanam kapas sendiri, memintalnya menjadi benang, menenun dan membatiknya di desa yang sama. Jejak karbonnya bisa dikatakan hampir nol.

Inovasi teknologi lain yang dikembangkan Chandra dalam upaya untuk melestarikan biodiversitas dan menguatkan budaya adalah pengembangan aplikasi berbasis smartphone bersama dengan Geek Garden, sebuah perusahaan IT yang berbasis di Yogyakarta. Aplikasi ini didesain agar warga desa bisa mendata kekayaan biodiversitas dan budaya mereka secara mandiri. Dengan demikian mereka bisa mendasarkan proses perencanaan pembangunan ekonomi desa di atas basis-data yang sahih dan terus diperbarui.

Bersama ibu-ibu di Desa Beringin Tinggi yang sedang mengolah minyak kemiri (Foto: Pinto NH)

Laboratorium yang digunakannya untuk mengembangkan aplikasi ini berada di Desa Beringin Tinggi, Kabupaten Merangin, Jambi. Sebelum mendesain aplikasinya, ia melakukan penelitian etnobotani secara mendalam untuk memahami budaya pangan, budaya anyam, dan kini mulai merambah kepada budaya sastra lisan dan budaya pengobatan alami di desa tersebut. Penelitian yang dimulai pada tahun 2019 dan terus berlanjut hingga kini itu, didukung oleh biaya dari Direktorat Kepercayaan dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dukungan lain diperoleh dari Universitas Jambi yang menyediakan ahli-ahli biologi dan ahli ekonomi untuk bersama-sama mendampingi warga desa.

“Saat ini kami masih terus menyempurnakan aplikasi dan juga basis data budaya dan biodiversitas yang dihasilkannya, baru sekitar 1/3 dari lahan pertanian warga yang terdata, tetapi dari sini sudah kelihatan potensi mana yang masih tersia-sia dan bisa secara cepat menghasilkan income yang lestari jika dikelola. Dengan basis-data yang dihasilkan oleh aplikasi ini diharapkan perencanaan pengembangan ekonomi desa bisa jauh lebih efektif dari segi ekonomi, adil secara ekonomi, dan lestari dari segi ekologi,” ujar Chandra.

Merangkum dari apa yang telah ia terangkan di muka, Chandra mengatakan demi kepentingan ekonomi teramat banyak jenis tanaman yang dibabat yang kemudian diseragamkan untuk memenuhi komoditi tertentu. Akibatnya banyak biodiversitas yang lenyap. Lenyapnya biodiversitas tidak saja menyebabkan keseimbangan alam terganggu, namun juga menyebabkan banyak daerah mengalami pemiskinan budaya dan kehilangan identitas diri.

Sekar Kawung dalam hal ini di beberapa daerah mencoba mempertahankan biodiversitas yang masih ada, serta merestorasi yang sudah langka atau punah. Semua itu ditempuh lewat jalur kreatif, yang tidak lepas dari kebudayaan.

“Sekar Kawung hadir untuk Indonesia, agar supaya budaya dan pelestarian biodiversitas betul-betul mendapat perhatian sehingga bisa menjadi landasan pembangunan berkelanjutan yang kokoh dan berkeadilan sosial,” demikian ucap Chandra mengakhiri wawancaranya dengan kagama.id.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*