Capung Indrawan, Pejuang Kemanusiaan yang Konsisten dan Penuh Dedikasi

Dalam rangka Nitilaku tahun ini untuk pertama kalinya diperkenalkan sebuah acara penghargaan bernama “Alumni Mengabdi Award”, yang penyerahannya dilakukan pada acara Malam Alumni di Gedung Grha Sabha Pramana, Sabtu (17/12/2022). Ada lima alumni yang pengabdiannya kepada masyarakat sangat menginspirasi yang terpilih memperoleh penghargaan. Salah satu di antaranya adalah Capung Indrawan, alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM, angkatan 1984.

Kegemarannya naik gunung mendekatkannya dengan warga desa di lereng Gunung Merapi. Erupsi pada tahun 1994 yang menelan banyak korban di desa Turgo membuat ia sadar akan pentingnya mitigasi bencana bagi desa-desa di daerah lereng Gunung Merapi.

Dari aktivitas keluar masuk desa-desa di lereng Gunung Merapi itulah terbentuk jaringan Komunitas Lereng Merapi (KLM). KLM sendiri berkomitmen untuk melakukan mitigasi bencana secara bersama-sama atas pemberdayaan masyarakat setempat.

Pada 2006, jaringan ini melibatkan 720 relawan yang menyediakan waktu dan tenaga untuk memantau perkembangan Gunung Merapi. Aktivitas ini didukung dengan radio komunikasi VHF, prndirian gardu2 pemantauan, pembuatan dan penempatan sensor-sensor banjir, pengadaan kentungan dan speaker alarm peringatan dini, pengaktifan pos-pos ronda serta pemetaan /simulasi resiko per wilayah yang diupayakan oleh Capung. Awalnya repeater menggunakan bambu kemudian diganti pipa, saat ini sudah menggunakan tower.

Walaupun sampai saat ini masih jauh dari sempurna tetapi sudah dapat berfungsi efektif. Komunikasi antar wilayah di lingkar Merapi ini menjadi sangat penting karena mengamati gunung tdk dapat dilakukan dati satu sisi saja, sangat dibutuhkan dukungan pantauan visual oleh masyarakat lainnya yang ada di kanan kiri dan balik gunungnya.

Komunikasi ini penting, karena pada dasarnya masyarakat lereng Merapi sebenarnya adalah satu keluarga yang mempunyai kerentanan, sosial budaya dan ekonomi yang relatif sama. Karena terpisah oleh tanggul tanggul alam, geografis dan wilayah administratif menjadikan kesan yang berbeda dan terpisahkan.

Untuk pengadaan peralatan dan membentuk serta merawat komunitas ini Capung rela menjual aset dan perusahaannya.  Dia sangat berharap dalam mimpinya, komunitas yg sudah terbentuk sejauh ini bisa menjadi  binaan  sebagai wujud “social responsibility” bagi UGM.

Naif kiranya, gunung Merapi dengang keaktifan dan tingkat hunian yang tinggi dan relatif tersiklus aktifitasnya, kita tidak dapat belajar mengenalnya. Gunung indah yang menjadi latar belakang alam kampus kita tercinta ini, di mana setiap hari kita tatap setiap berangkat dan pulang kuliah kita tidak pernah memahami sosial masyarakatnya.

Kepedulian Capung terhadap bencana tak hanya berlaku bagi warga di lereng Gunung Merapi. Keterlibatannya dalam setiap search and rescue di berbagai operasi tak terhitung lagi, seperti saat tsunami Aceh, hingga tsunami Pangandaran yang mana ia menjadi orang pertama yang masuk menyisir Nusakambangan dan sekitarnya.

Ketika gempa menimpa Yogya dan pantai selatan, ia nyaris tidak pulang. Ia biasa bekerja dalam senyap dan mampu menggerakan potensi di sekitarnya, termasuk kawan-kawannya, untuk meringankan beban korban bencana.

Capung juga menggagas gerakan “Djogja Gotong Royong (DGR)” untuk membuat pengadaan 700 peti mati dalam situasi krisis kelangkaan pertengahan tahun 2021 bagi korban Covid-19 varian Delta. Dan memproduksi 130 ribu pakaian hazmat dengan melibatkan donasi dari Kagama melalui tempat produksi usaha yang dimilikinya.

Seusai menerima penghargaan  “Alumni Mengabdi Award” pada acara Malam Alumni di GSP, Capung mengatakan penghargaan yang diterimanya didedikasikan kepada para relawan yang gugur saat membantunya dalam misi kemanusiaan di Merapi.

“Kita tidak bisa putus asa dengan kemanusiaan, karena kita sendiri adalah manusia. Masing-masing kita harus bekerja untuk perbaikannya sendiri, dan pada saat yang sama berbagi tanggung jawab untuk semua umat manusia,” ucap Capung.