Sonia Prabowo, Alumnus Ekonomi yang Menemukan Jati Dirinya di Dunia Kreatif

Bagi Sonia Prabowo, alumnus FE UGM angkatan 1990, hidup dijalani dengan easy going, mengalir mengikuti suara hati dan panggilan jiwa. Selepas wisuda sarjana bulan Agustus 1995, Sonia bekerja sebagai staf dan asisten peneliti bidang ekonomi di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yaitu lembaga think thank yang fokus pada perekonomian, politik dan perubahan sosial, serta hubungan internasional.

Namun pekerjaan itu dijalaninya hanya selama 4 tahun. Tahun 1999 Sonia mengajukan pengunduran dirinya dan hijrah dari Jakarta ke Bali untuk mencari suasana baru. Di Bali ia bekerja di Austindo Marketing Services, perusahaan yang bergerak di bidang event organizer. Dua tahun kemudian ia berpindah pekerjaan, bekerja di bagian marketing pada sebuah perusahaan IT bernama Bali.net.

Sejak kedatangannya di Bali, Sonia coba-coba belajar menyelam untuk mengisi waktu luangnya. Rupanya hobynya itu berlanjut, bertahun-tahun kemudian tepatnya tahun 2005 ia secara resmi berhasil mendapatkan lisensi divemaster dari Professional Association of Diving Instructors (PADI).

Tahun 2002 adalah titik balik Sonia menekuni dunia seni. Ia mulai menekuni desain kebaya, serta perhiasan yang terbuat dari perak dan semi precious stones atau batu akik.

Tiga tahun kemudian, Sonia mengibarkan usahanya yang diberi nama Karya Kita. Usahanya menerima jasa macam-macam desain, termasuk juga mendesain website.

Pada saat yang bersamaan, Sonia mulai aktif menulis blog dan rajin menjalin komunikasi dengan penulis-penulis lainnya di seluruh Indonesia. Pada penghujung tahun 2003 Sonia menemukan ide brilian yang out of the box, yaitu ia mengajak 3 penulis lain yang bernama Eti Rihana, Albaransyah Yusuf, dan Miko Soeganda untuk menulis sebuah novel berjudul “7 Hari”. Ada 4 cerita dan 4 tokoh, di mana cerita besarnya tentang 4 tokoh tersebut dengan kehidupannya masing-masing selama 7 hari, namun ada ikatan benang merahnya di antara para tokoh cerita.

Karena terpencarnya para penulis, 2 orang ada di Bali, 1 orang di Jakarta, dan 1 orang lagi di Ambon membuat proyek tersebut mengalami kendala yang serius dan menjadi berlarut-larut penyelesaiannya. Sonia mengalami kesulitan dalam melakukan koordinasi, terutama pengaturan jadwal ketemuan secara fisik. Ditambah editornya terlibat kesibukan pekerjaan lainnya, akhirnya pada tahun 2005 proyek dinyatakan berhenti dulu tidak dilanjutkan lagi.

Buku “7 Hari” karya keroyokan 4 penulis

Buku “7 Hari” akhirnya berhasil diterbitkan Juni 2021, setelah selama sekitar 15 tahun mati suri. Hanya gara-gara di masa pandemi yang membuat Sonia mencari kesibukan baru, dan memutuskan meneruskan proyek ini.

Kembali ke tahun 2005, Sonia diminta tolong temannya yang berjualan asesoris di Belanda, umtuk membuatkan sebuah konsep poster. Sonia sendiri yang harus memotret modelnya, dan temannya itu dijadikannya sebagai model.

Waktu itu ia hanya mempergunakan kamera pocket seadanya. Hasilnya bagi Sonia dirasa kurang memuaskan, namun ia menemukan keasyikan yang luar biasa. Dari situlah Sonia mulai tertarik dengan dunia fotografi.

“Pada dasarnya saya suka seni dari kecil. Pindah ke Bali membuat keinginan yang lama terpendam muncul. Di Bali bakat saya semakin terasah. Memotret adalah mewakili dunia visual saya. Hal itulah yang membuat saya mencintai fotografi,” ucapnya.

Foto-foto surealis karya Sonia

Saking seriusnya, ia sampai terbang ke Jakarta guna mencari guru fotografi dan belajar secara privat. Kembali ke Bali, ia bergabung dengan sebuah komunitas foto, yang membuatnya semakin lebih mengenal seluk beluk fotografi.

Pada tahun 2006, dengan modal nekad Sonia memutuskan untuk terjun dunia fotografi secara profesional. Karena merasa ilmunya belum cukup mumpuni, setahun kemudian ia belajar lighting studio, dan memotret produk kepada Ferry Ardianto.

Tahun 2009 adalah pertama kalinya Sonia mulai berani memamerkan karyanya di depan publik. Ia ikut pameran foto bersama di Galerry Biasa Yogyakarta.

Tahun 2011 di Jakarta Sonia sempat membantu pemotretan untuk iklan yang dikomandani oleh Agustinus Sidharta, yang membuatnya semakin paham dunia pemotretan komersil. Pada tahun yang sama, ia berkenalan dengan kurator dan kritikus seni rupa terkenal, Jim Supangkat. Jim yang menginspirasi Sonia memandang sesuatu secara out of the box. Hal itu yang menyebabkan Sonia menjadi tahu aliran surealis dan langsung menyukainya. Sejak saat itulah foto-fotonya selalu berciri surealis, sampai saat ini.

Mantan Menteri Perekonomian RI, J.B. Soemarlin salah satu sahabat ayahanda Sonia

Dalam rangka memperingati nyewu atau 1000 hari meninggalnya Prof. Dibyo Prabowo (mantan rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta) yang merupakan ayahanda Sonia, pada bulan Februari 2013 Sonia menggelar pameran tunggal fotografi di Bentara Budaya Yogyakarta. Judulnya “25 Sahabat Bapak”, menampilkan 25 foto sahabat-sahabat Prof. Dibyo saat Sonia kecil dan remaja.

Untuk mendapatkan foto semua tokoh, Sonia harus mendatangi dan memotret mereka satu persatu. Mulai dari Wakil Presiden RI periode 2009-2014, Prof. Dr. Boediono, M.Ec., mantan Menteri Perekonomian RI alm. J.B. Soemarlin, seniman besar alm. Djaduk Ferianto, sampai tukang cukur langganan Prof. Dibyo bernama Pak Darman.

“Pameran selain untuk memperingati nyewunya bapak, juga untuk mengenang ajaran-ajaran bapak,” ujar Sonia.

Pada tahun 2017 Sonia terlibat pembuatan buku berjudul “Jejak Manusia dan Negara Singha”, sebuah buku foto berlatar belakang sejarah. Dialah yang memotret semua fotonya.

Setahun kemudian buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Sacred Trails of Singhawangsa”. Ada sedikit tambahan pada edisi terjemahan tersebut, untuk membuat materinya lebih komplit.

Tahun 2020 Sonia terlibat proyek pengerjaan buku berjudul “Bungong Jeumpa” bersama Perkumpulan Perempuan Bersanggul & Berbusana Nusantara (PPBBN) Kamala Nusantara. Ia yang bertugas mengkurasi foton dan mendesain bukunya.

Sonia memamerkan buku “Moods: 50 untuk 50” karyanya

Karya terakhir Sonia adalah buku kumpulan puisinya yang berjudul “Moods: 50 untuk 50”. Buku tersebut berisi 50 puisi karya Sonia yang ditulisnya sejak tahun 2005. Ilustrasinya berupa foto-foto karya Sonia sendiri. Sengaja diluncurkan pada bulan September 2021, untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-50.

“Moods artinya suasana hati, sedangkan 50 untuk 50 maksudnya adalah 50 puisi untuk 50 tahun. Iya buku tersebut sengaja kubikin untuk memberikan hadiah ultah yang ke-50 untuk diriku sendiri yang jatuh pada bulan September 2021,” jelas Sonia.

Penampilan baca puisi Sonia pada acara Sastra Bulan Purnama ke-124

Pada tanggal 29 Januari 2022, buku karya Sonia tersebut dijadikan tema acara Sastra Bulan Purnama ke-124 yang diadakan di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul. Ada 3 rangkaian acara sekaligus, yaitu bincang buku, pembacaan puisi di mana Sonia ikut membaca puisi karyanya sendiri, dan pembukaan pameran foto. Ada sekitar 100 foto karya Sonia berbagai ukuran yang dipamerkan, yang kesemuanya bertema moods atau suasana hati.

Saat ini Sonia sedang menggarap sequel buku “7 Hari” yang akan terbit segera. Karena sudah didaftarkan pada event Sastra Bulan Purnama bulan Agustus 2022

“Akhir tahun ini, atau awal tahun depan rencananya aku akan bikin pameran foto bertema moods, seperti pameran di Tembi, tapi lebih besar lagi,” ucap Sonia.

Sonia adalah jenis pribadi yang tidak bisa berhenti pada satu karya saja. Ia tak kenal lelah dalam pengembaraan mencari inspirasi dan diwujudkannya dalam karya.

“Sonia itu selalu mencari, mencari dan terus mencari, dan jika ditekuni tak mustahil akan menemukan ‘mazhab Sonia’. Itulah Sonia,” ucap Dr. Laretna ‘Sita’ Adishakti tentang Sonia pada acara bincang buku “Moods” di Tembi Rumah Budaya.