Menelusuri Jejak Kebaya

Oleh: Sitawati Ken Utami

Awal mula saya intensif bergelut di dunia kebaya pada tahun 2016 di Bogor, saya banyak memakai kebaya lungsuran dari ibu saya, Sri Wahyuni. Pada dasarnya dari dulu saya memang suka memakai kebaya dan kain di acara-acara khusus, baik ketiika masih bersekolah di Yogyakarta maupun bekerja di Jakarta.

Model semua kebaya lungsuran saya, kutubaru dengan bef (kain kotak) di tengah dada. Bef-nya hanya setinggi kurang lebih 20 cm, sehingga di bawahnya sekitar perut harus memakai stagen yang ditutup dengan angkin jumputan berbahan katun. Agar supaya lebih praktis dipakai, bef-nya saya panjangkan hingga menutup perut dan saya tidak perlu lagi memakai stagen atau angkin.

Bahan kebaya warisan ibu saya itu sebagian besar berbahan cifon atau paris bermotif bunga-bunga dan ada beberapa yang polos berwarna. Selain itu juga beberapa kebaya berbahan brokat berkualitas prima yang terlihat jelas tekstur motif di sekujur bahannya yang berwarna polos. Pada umumnya warna kebaya brokat tidak terlalu menyala. Cenderung warna muda dan pastel.

Ibu membuat sendiri kebaya-kebaya miliknya karena ibu memang berprofesi sebagai penjahit. Banyak kawan-kawan yang menjahitkan baju ke ibu, bahkan ibu dikenal sebagai penjahit yang piawai membuat kebaya dengan salah satu langganannya seorang penyiar TV di Yogya.  Dahulu semua penyiar TV diwajibkan memakai kebaya lengkap dengan kain, selendang dan sanggul ketika membacakan berita.

Tidak hanya ibu yang memakai kebaya bermodel kutubaru. Semua teman-teman ibu juga memakai model yang sama. Terlihat seperti seragam atau kalau jaman sekarang disebut dress code. Dari berbagai foto lama ibu, diperkirakan ibu mulai sering memakai kebaya setelah menikah dan punya anak pertama awal tahun 1960 sampai dengan pertengahan tahun 90-an. Ibu sendiri lahir tahun 1938 di Bangsri Jepara, lalu bersekolah di Solo. Setelah menikah tinggal di Yogyakarta.

Ibu tidak setiap hari memakai kebaya. Hanya di acara khusus seperti khitanan anak, pernikahan atau wisuda anak-anaknya. Pemakaian kebaya selalu dipadu jarik (kain) batik tulis lawasan berwiron yang diikat tali di perut dan ditutup dengan stagen serta angkin. Rambut ditata membentuk sanggul gelung tekuk dari rambut sendiri. Jarik ibu semua gagrak Solo berwarna coklat sogan. Pemakaian kebaya selalu dilengkapi dengan selendang berwara polos yang terlipat rapi memanjang ke bawah dan memakai selop atau sandal jinjit (berhak pendek).

Sementara eyang saya, Sapar Uminah yang awalnya tinggal di Jepara, sekitar tahun 70-an mulai hijrah ke Yogyakarta. Saya melihat eyang setiap hari memakai kebaya, berstagen dan jarik batik tulis lawasan. Bahkan walau hanya berkegiatan di rumah sehari-hari. Kebaya yang dipakai eyang sebagian besar bermodel kebaya kutubaru dan berbahan cifon atau paris, bermotif bunga-bunga atau abstrak. Ada juga yang berwarna polos.  Sama seperti yang dipakai ibu. Rambut digelung sederhana semacam gelung cepol.

Pengamatan kebaya yang dikenakan leluhur, saya lanjutkan dengan menelusuri foto-foto lawas. Saya perhatikan ketika awal usia dewasa dan sudah menikah di jepara, eyang memakai kebaya berwarna polos dan bermodel kebaya Kartini. Diperkirakan eyang berusia 20-30 tahunan. Eyang sendiri dilahirkan sekitar tahun 1910-1920an. Artinya foto yang saya lihat diperkirakan dibuat sekitar tahun 1930-1950an. Setidaknya ada 2 foto eyang yang memakai kebaya model Kartini berwarna polos dipadu dengan jarik batik tulis sogan.  

Jarik batik tulis yang dipakai eyang, karya eyang sendiri. Mungkin memang bakat yang dimiliki eyang dan menurun kepada ibu di seputaran kreasi  busana. Eyang pandai membatik, menjahit dan merajut. Kebaya yang dibuat eyang dijahit dengan tangan, bukan mesin.

Penelusuran saya lanjutkan dengan foto lawas yang lain. Beruntung saya mendapatkan 2 foto lawas mbah buyut saya yang memakai kain dan kebaya. Namanya mbah Lanjarsih dengan nama muda Soe Kie Lan. Memang mbah saya keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Jepara. Diperkirakan mbah lahir sekitar akhir tahun 1890-an dan ketika berfoto sekitar tahun 1940-an.

Pada foto tersebut mbah memakai model kebaya Kartini bermotif lembut dan putih polos berbahan katun dan memakai kain batik sogan. Terlihat sederhana dan bersahaja. Ada sedikit kerah atau kelopak di leher belakang yang terlihat di kebaya mbah. Sisi kiri dan kanan ditangkupkan tanpa bros, kemungkinan ditautkan dengan peniti. Dalam foto yang saya lihat, mbah buyut tidak memakai selendang. Rambut juga ditata sederhana dengan sanggul cepol.

Saya tidak melihat mbah saya memakai kebaya model encim atau kalau di Indonesia sekarang disebut kebaya krancang walaupun mbah memiliki darah Tionghoa. Dari berbagai foto dan film, saya melihat kebaya dan kain enciman banyak dipakai oleh kaum perempuan peranakan Tionghoa sejak tahun 1930-an. Ada kemungkinan karena mbah menikah dengan orang Jawa sehingga mengikuti kebiasaan orang Jawa pada umumnya.

Tanpa bermaksud menyambung-nyambungkan saya membuka catatan sejarah Ibu Kartini, pahlawan nasional yang lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Di kota kecil Jepara, selisih mbah buyut sama ibu Kartini sekitar 15 tahun. Yang saya amati dalam hal ini kebaya yang dipakai oleh beliau berdua.

Kebaya Kartini! Model kebaya yang sangat melegenda dan memakai nama Ibu Kartini yang tentu memiliki nilai kesejarahan. Kebaya yang dipakai Ibu Kartini bermodel sama, berbukaan depan dengan sisi kiri dan kanan bertemu di tengah. Kebaya tersebut bervariasi dalam hal detail dan bahan. Ada yang berbahan katun, ada pula berbahan bludru. Detail hiasannya ada renda di sepanjang bukaan dari kerah sampai dengan pinggiran sepanjang depan sampai belakang, serta ujung lengan. Ada yang panjang kebaya hingga ke pinggul, ada pula sampai di atas lutut. Dari semua foto Ibu Kartini, di dada atas dihiasi dengan bros.

Sangat wajar bila Kebaya Ibu Kartini terlihat lebih mewah dari masyarakat kebanyakan, karena beliau merupakan anak dari seorang bangsawan. Ketika Kartini dilahirkan, ayahnya menjabat sebagai Asisten Wedana distrik Mayong, Kabupaten Jepara yang kemudian naik pangkat menjadi bupati. Sedangkan ibunya Kartini bernama Ngasirah yang berasal dari rakyat biasa. Ada 1 foto yang menggambarkan beliau dengan terlihat sedikit kebaya yang dipakai. Bahannya bermotif polkadot atau bulat bulat kecil. Foto yang lain memakai busana berwarna hitam polos tapi tidak terlalu jelas modelnya. Pertanyaannya, sejak kapan muncul penamaan model Kebaya Kartini?

Sampai di sini penulis berhenti sejenak, karena menelusuri kebaya dari foto-foto otentik di tahun 1800-an tentu tidak mudah karena teknologi fotografi jaman dahulu masih terbatas. Itupun masih berwarna hitam putih. Setidaknya penelusuran bisa memberi gambaran bahwa dokumentasi keluarga menjadi pembawa arah dalam menelusuri jejak kebaya di masa lalu.