Setiap orang mempunyai kisah perjalanan hidup masing-masing. Begitu pula yang dialami oleh Yoga Sadana (Faperta ’82), seorang mantan bankir yang resign dari tempat kerjanya lalu mendirikan perusahaan pengolahan rajungan di Desa Serdang, Kec. Tanjung Bintang, Kab. Lampung Selatan. Dua pekerjaan yang jauh berbeda, meski dari segi pembiayaan ilmunya sudah dikuasai.
Yoga mengawali pekerjaannya di bank swasta nasional selepas meraih gelar sarjananya pada tahun 1988. Ia ditempatkan di Semarang sampai hampir sekitar 20 tahun. Tahun 2008 ia mendapat promosi menjadi Kepala Kanwil di Bandung membawahi teritorial Jawa Barat dan Sumatera. Namun setahun kemudian ia ditarik di Jakarta untuk dilibatkan dalam proses merger antara banknya dengan bank swasta lainnya. Proses merger berjalan cukup lama yaitu sekitar 3 tahun.
Tahun 2011 Yoga ditarik kembali ke Bandung untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai Kakanwil. Tahun 2011 pula yang mengubah arah hidupnya menjadi pebisnis rajungan. Suatu hal yang sebenarnya tidak direncanakan sebelumnya. Ceritanya, tahun 2011 itu ada saudaranya berkirim kabar kepada Yoga kalau pabrik pengolahan rajungan tempatnya bekerja tutup. Yoga segera mengambil keputusan menyewa pabrik tersebut dan kemudian membuat perusahaan bernama PT Siger Jaya Abadi (SJA) pada tanggal 26 Agustus 2011. Bisnis utamanya mengolah rajungan dan produknya dilabeli merk “Seaprime”
Pada tahun 2012 PT SJA sukses melakukan ekspor perdana daging rajungan (portunus sp.) dalam kaleng yang dipasteurisasi ke Amerika Serikat. Saat itu kapasitas produksi pabrik rata-rata mencapai 300 kg / hari. Pada bulan Juli 2013 saat pemilik pabrik memutuskan harus menjualnya, PT SJA langsung membelinya dan membangun pabrik baru seluas 1,2 hektar sebagai fasilitas pengolahan produksi lebih mandiri.
Ketika dirasa mengelola pabriknya tidak bisa setengah-setengah lagi, maka pada bulan Maret 2015 Yoga mengundurkan diri dari lembaga perbankan tempatnya bekerja. Meski begitu baru pada akhir tahun 2016 ia baru benar-benar bisa konsentrasi secara penuh mengurus perusahaannya.
Yoga menyatakan pasar rajungan internasional masih terbuka luas. Untuk hasil laut ekspor kita nomer 3 terbesar setelah tuna dan udang. Ekspor rajungan Indonesia menembus 25,9 ribu ton senilai Rp 5,35 trilyun pada tahun 2019. Pasar utama kita adalah Amerika. Dari data terakhir ekspor rajungan ke Amerika mayoritas dikuasai Indonesia yaitu sebanyak 65%.
Sejak awal PT SJA memang berorientasi ekspor, karena memang hanya 5% produknya yang mampu diserap oleh pasar dalam negeri. Menurut Yoga, masyarakat kita lebih mengenal kepiting darat dan kepiting bakau. Juga kebanyakan tidak tahu cara memasaknya, padahal sebenarnya mudah kalau mau belajar. Selain diekspor ke pasar utama Amerika Serikat, “Seaprime” juga dieskpor ke negara Inggris, Prancis, China, Lebanon, Belanda, Singapura, Malaysia dan Cina.
Kinerja PT SJA dari tahun ke tahun semakin menunjukkan kemajuan yang signifikan. Saat ini PT SJA telah mencapai standar internasional dalam industri makanan, khususnya pengolahan rajungan, yaitu HACCP (Hazard Analysis and Critical Control points) dan BRC (British Retail Consortium) Standar Global untuk Keamanan Pangan, dengan grade A untuk masing-masing sertifikat.
Kini PT SJA memiliki 25 tenaga administrasi dan buruh atau pekerja sekitar 100-300 orang. Jumlah pekerja memang fluktuatif karena menyesuaikan dengan volume rajungan yang diolah yang tergantung sisi suply dan demand. Sisi suply tergantung musim, apabila musim penghujan jumlahnya melimpah namun akan menurun pada musim kemarau. Sedangkan sisi demand tergantung market, seperti misalnya di Amerika puncak permintaan terjadi menjelang musim panas, dimulai dari akhir tahun (musim dingin) sampai akhir summer (Agustus). Meskipun demikian tetap ada permintaan sepanjang tahun sampai natal dan tahun baru.
Hampir semua produknya diekspor dalam kemasan kaleng. Untuk pasaran lokal biasanya dijual dalam kemasan plastic cup dan plastic bag. Ada 6 pilihan yang tersedia yaitu colossal, jumbo lump, super lump, backfin, spesial dan claw meat (capit).
Bagi Yoga pribadi, ia tidak mau terjebak dalam stagnasi. Maka kemudian ia mengembangkan value added rajungan bersinergi dengan usaha home industry. Yaitu berupa produk varian daging rajungan yang diolah menjadi rajungan isi (semacam perkedel dimasukkan cangkang), bitterballen, lumpia, dll.
Sebagai pribadi, di luar jabatannya sebagai CEO di PT SJA, Yoga mengembangkan jejaring (network) dan menjalin kerja sama dengan anak-anak muda yang terjun di bidang entrepreneurship. Ceritanya bermula ketika ia menjadi ketua panitia halalbihalal Fakultas Pertanian yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 2015. Saat itu Yoga melakukan terobosan dengan mengadakan agri expo, dan tidak disangka menarik atensi lebih dari para alumni. Para alumni Faperta yang menjadi pegiat entrepreneur atau berbakat bisnis jadi terkoneksi. Berikutnya setiap acara halalbihalal pasti rutin diadakan agri expo, dan semakin lama semakin besar. Dalam hal ini Yoga banyak mendapatkan bantuan Komunitas ABC (Agrigama Business Club) dan teman-teman yang bergelut di dunia event organizer.
Sejak saat itu Yoga mulai mengenal banyak anak muda hebat-hebat yang berbakat di bidang bisnis, baik yang warga Kagama maupun non Kagama. Mereka umumnya sedang mengawali digital startup. Yoga dengan suka rela berbagi pengalaman dengan mereka dalam hal financial, soft skill, cash flow, neraca rugi laba, ekspor impor, pembiayaan, dsb.
Selain itu Yoga juga sedang membangun kolaborasi dengan beberapa entrepreneur muda, khususnya yang memiliki kompetensi di bidang teknologi digital. Serta mengembangkan pula bisnis model perdagangan, baik domestic trade maupun international trade (ekspor).
Yoga selalu memberi nasehat kepada anak-anak muda tersebut hal paling utama dalam berbisnis adalah menjaga integritas. “Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat. Hal itu sangat penting dalam dunia bisnis. Sekali integritas kita hancur, maka jangan harap orang-orang akan mempercayai kita lagi.” demikian pungkas Yoga.