Urban Farming di Padukuhan Mrican, Catur Tunggal

Ketahanan pangan mendadak menjadi pembicaraan hangat di tengah pandemi Covid-19. Tiba-tiba kita baru tersadarkan akan pentingnya swasembada pangan di tengah krisis yang jangka waktunya belum bisa ditentukan ini. Jika krisis berlarut-larut maka yang paling merasakan dampaknya tentu saja adalah masyarakat perkotaan, yang biasa bahan pangannya disupply dari pedesaan.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh masyarakat perkotaan? Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengatasi ketersediaan pangan adalah apa yang kita kenal selama ini dengan istilah urban farming. Urban farming pada prinsipnya adalah pertanian perkotaan. Pertanian bertingkat, hidroponik, dan akuaponik adalah contoh inovasi yang bisa dikembangkan dalam pertanian perkotaan. Media tanamnya bisa di hamparan tanah pada pekarangan atau lahan kosong yang biasanya tidak begitu luas, atau pada medium tanam lainnya semacam pot atau polybag.

Salah satu wilayah yang sudah terbilang sukses mengembangkan urban farming adalah di Padukuhan Mrican, Catur Tunggal. Lewat Kelompok Wanita Tani “Srikandi” yang dibentuk sejak 26 Mei 2014 kegiatan urban farming mereka begitu solid. Dikelola oleh 30 orang dengan melibatkan RW seluruh padukuhan jadwal giliran yang bertugas dibuat dengan sangat rapi. Mereka menanam sayuran & buah-buahan di lahan yang tidak begitu luas & media tanam semacam pot. Sayurannya berupa jagung, terong, tomat, lombok, loncang, sawi, kacang panjang, kucai & kobis ungu. Selain itu mereka juga memelihara lele & ayam.

Untuk masalah bibit KWT “Srikandi” sebisanya mereka mengusahakan pembibitan sendiri, namun tetap sebagian besar mereka mendapatkan bibit dari Dinas Pertanian. Lalu hasil panennya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Jika ada kelebihan produksi barulah dijual keluar. Namun bagi warga sekitar yang bukan anggota juga diperbolehkan membeli.

Selain pusat kegiatan urban farming yang dikelola oleh padukuhan, masing-masing RW juga tidak mau ketinggalan ikut berperan serta secara mandiri. Di RW 5 dimana Ika Andreyo (Sosiologi ’96) tinggal tingkat partisipasinya juga sangat tinggi. Ada sekitar 20 orang yang terlibat dalam pengelolaan beberapa jenis sayuran pada sebuah lahan yang tak begitu luas, dimana mereka bergiliran tugas menanam, merawat & memanen. Di bawah komando Ibu RW Hermi Kumaiyah, semuanya mematuhi aturan yang sudah dibuat kelompok jadi nyaris tidak ada perselisihan.

Dana mereka peroleh dari dana kas RW & uang jimpitan. Untuk bibit mereka masih membeli dari toko bibit. Pembibitan awal, kata Ika Andreyo, ditanam di polybag kecil dengan komposisi tanah, pupuk kandang, sekam bakar dengan perbandingan 1:1:1. Fungsi sekam adalah untuk membuat rongga di tanah sehingga sirkulasi udara menjadi lancar & menyimpan air.

Lalu setelah agak besar, bibit kemudian dipindah ke media tanam lain seperti langsung di hamparan tanah atau polybag yang lebih besar. Sebagian bibit dikasihkan kepada warga yang mau menanamnya, yang kemudian ditanam pada media tanam seperti kaleng bekas, jerigen, botol, pot dll. Tanaman bisa ditaruh di teras atau sekitar rumah. Bisa juga ditempelkan di tembok rumah atau gang kampung. Pokoknya ruang kosong yang ada bisa dimanfaatkan semuanya.

Meskipun urban farming belum bisa dikatakan sebagai solusi yang paling tepat untuk masalah ketahanan pangan di perkotaan, namun paling tidak tetap memberi kontribusi positip bagi masyarakat sekitar & membuat pemandangan kampung menjadi hijau dan asri.