Sumbangan Membanggakan Prof. Adi Utarini bersama Tim pada Perkembangan Sains Dunia

Kabar menggembirakan datang dari salah satu warga Kagama, yaitu Prof.dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH, Ph.D., seorang peneliti di bidang kesehatan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada. Baru-baru ini ia masuk daftar 10 orang yang menentukan perkembangan sains pada tahun 2020 versi Nature, jurnal ilmiah ternama dunia dari Inggris. Riset Prof. Uut, begitu Adi Utarini biasa akrab disapa, bersama tim dinilai membuka jalan untuk melawan penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang setiap tahun menjangkiti ratusan juta orang di seluruh dunia.

Prof. Uut mengaku kaget dan tidak menyangka namanya muncul di daftar 10 ilmuwan tersebut. “Saya kaget waktu kemarin tiba-tiba dihubungi, nggak nyangka sama sekali. Tapi saya senang dan bersyukur karena itu bentuk penghargaan yang luar biasa kepada tim penelitian”, ujarnya saat dihubungi kagama.id.

Prof. Uut dalam melakukan penelitian tentu saja tidak sendiri. Ada tim yang kuat di belakangnya, seperti ahli entomologi (Warsito Tantowijoyo PhD), biologi molekuler (dr Eggi Arguni PhD, SpA(K), epidemiologi (dr Riris Andono Ahmad, MPH, PhD, dr Citra Indriani MPH), pelibatan masyarakat dan media (Equatori Prabowo), manajemen pengetahuan (Ranggoaini Yahya SPsi, MHum) dan advokasi (Achmad A. Thamrin SIP, MA). Bernaung di bawah Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM, penelitian ini bermitra dengan Monash Unversity, dan mendapat dukungan dana dari Yayasan Tahija. Ia mengaku bahwa ini bukan capaiannya sebagai individu, namun merupakan hasil kerja keras seluruh tim World Mosquito Program Yogyakarta selama bertahun-tahun.

“Ini bukan capaian secara individu ya. Saya memang memimpin tim tersebut, namun ini semua adalah hasil kerja keras tim atas bantuan beberapa pihak”, ujar Prof. Uut menjelaskan.

Dikutip melalui situs nature.com, proyek tersebut adalah penelitian pertama dengan rancangan terkontrol secara acak (RCT) – standar emas dalam penelitian klinis – dari pendekatan yang benar-benar baru untuk mengendalikan demam berdarah. Teknik tersebut membiakkan nyamuk Aedes aegypti yang menularkan virus Dengue, Zika, dan Chikungunya, diinfeksi dengan bakteri alami bernama Wolbachia. Bakteri menundukkan virus dan mencegah nyamuk menularkan virusnya ke manusia. Telur dari nyamuk Aedes aegypti yang ber-Wolbachia tersebut kemudian ditempatkan di sekitar kota Yogyakarta, pada rumah-rumah penduduk dan tempat-tempat lainnya. Uji coba kecil di Australia dan Vietnam telah membuahkan hasil yang memuaskann. Tapi Yogyakarta, kota padat dengan hampir 400.000 orang dengan tingkat penularan demam berdarah tinggi, menyediakan tahap yang jauh lebih besar lagi untuk penelitian.

Penelitian Prof. Uut bersama tim dilakukan di Kota Yogyakarta yang memiliki transmisi penularan DBD tinggi. Pada bulan Agustus 2020, Prof. Uut bersama tim penelitian World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta mengumumkan bahwa terjadi penurunan 77,1% angka kejadian DBD di wilayah yang diberikan nyamuk ber-Wolbachia dibandingkan dengan yang tanpa.

Mungkin banyak orang akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin di tahun 2020 ketika banyak ahli sedang fokus pada virus Covid-19 Prof. Uut justru memerangi penyakit lain? Perlu diketahui bahwa penelitian penyakit DBD ini sudah dimulai sejak tahun 2011, dan pada tahun 2013 Prof. Uut yang menjadi tim leader. Selain itu, Indonesia menempati peringkat 2 dalam total kejadian kasus DBD di dunia setelah Brazil. Negara kita memang memiliki program untuk pengendalian kasus demam berdarah, tapi kasusnya masih tinggi di setiap tahunnya. Prof. Uut mengungkapkan bahwa sampai saat ini belum ada obat spesifik yang mampu membasmi virus demam berdarah. Itulah alasan kuatnya untuk terus berupaya memerangi nyamuk penyebab demam berdarah tersebut.

Sejauh ini upaya pemberantasan DBD seperti fogging dan pemberantasan sarang nyamuk belum berhasil menurunkan jumlah penderita DBD secara signifikan. Riset pemberantasan DBD dengan intervensi nyamuk ber-Wolbachia bisa menjadi salah satu solusi yang alami.

Prof. Uut mengaku sangat senang melihat masyarakat yang begitu antusias mendukung dan mengetahui hasilnya. Penemuan ini menjadi sebuah harapan baru untuk mengendalikan kasus demam berdarah di berbagai daerah Indonesia. “Masyarakat daerah lain, selain Yogyakarta, dan Dinas Kesehatan banyak yang menanyakan pada kami”, ujarnya.

Sosok Adi Utarini di Kehidupan Kampus dan Sehari-hari

Ketika masih menjadi mahasiswa Prof. Uut aktif menjadi tim redaksi di majalah Medisina Fakultas Kedokteran UGM, serta sempat aktif sebentar di BPPM Balairung. Selain itu, ia juga sangat menggemari musik klasik. Sejak umur 7 tahun ia sudah belajar main piano.

Prof. Uut juga sempat ingin mendalami ilmu seni jika dulu tidak lolos masuk UGM. Saat itu ia sempat mengungkapkan pikirannya kepada pelatih piano yang mengajarinya sejak umur 7 tahun, kalau tidak diterima di Kedokteran UGM ia berencana masuk ISI. Ia tidak menyangka saat diterima di Fakultas Kedokteran, ternyata kampusnya sangat mendukung musik khususnya musik klasik. Seiring perjalanan waktu, ia sempat beberapa kali menggelar pentas di kampus.

Bagi Prof. Uut bermusik adalah suatu cara untuk merawat kesehatan mental. Musik sudah menjadi bagian dari kehidupannya, khususnya musik klasik. Di usianya yang sudah lebih 55 tahun, ia tetap bermain musik dan kadang kala tampil di sebuah pentas seni musik klasik.

“UGM itu rumah kedua bagi saya”, ujar Prof. Uut di sela-sela wawancara. Semester 6 menurutnya merupakan waktu yang paling menyenangkan, sekaligus menjadi momentum untuk merintis menjadi dosen. Pada saat itu ia menjadi asisten dari dr. Rossi Sanusi, MPA, Ph.D. Ia sangat bersyukur mendapatkan mentor yang sangat luar biasa. “Beliau mengajarkan saya tentang komitmen dan loyalitas”, ujarnya.

Hingga saat ini Prof. Uut masih tetap mengabdikan dirinya untuk bidang akademik dan pengabdian masyarakat. Kedua bidang tersebut merupakan idealismenya yang selalu ia rawat bersama almarhum suaminya Prof. dr. Iwan Dwiprahasto. Ia mengaku beberapa kali bersama suaminya sempat ditawari untuk mengisi posisi tertentu di sebuah institusi, namun keduanya dengan halus menolak karena sudah memiliki prinsip untuk setia mengabdi di Universitas Gadjah Mada selamanya.

Selain kesibukannya di bidang akademik, Prof. Uut sedang aktif menulis buku yang bercerita tentang almarhum suaminya. Ia baru mulai menulisnya sejak 2 minggu yang lalu, namun ia berharap buku ini bisa selesai dan terbit sebelum mendhak pertama almarhum suaminya. Selain itu, awal tahun depan juga akan terbit buku tentang pandemi di Indonesia, di mana ia menjadi 1 dari 56 perempuan yang bersama-sama menulis dalam buku tersebut.

Untuk mengenal Prof. Uut lebih dekat, silakan kunjungi laman www.adiutarini.id dan akun IG@adiutarinimusik.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*