Apa yang ada di benak Anda apabila mendengar kata bank sampah? Bagi orang awam barangkali istilah itu masih berada di awang-awang. Padahal sebenarnya sederhana saja, bank sampah berarti menabung dengan sampah. Tidak ada yang berbeda, transaksi tetap terdiri dari nasabah dan petugas bank. Hanya saja obyek yang ditabung tentu berbeda. Transaksi dalam bank sampah sendiri tidak sesulit yang dibayangkan. Yang terpenting terdapat nasabah, petugas bank, dan pengepul.
Sebelum menabung nasabah atau penyetor sampah sudah harus memilah sampah yang terdiri dari sampah plastik, logam atau sampah, kertas dll. Lantas sampah tersebut akan dicatat dalam buku tabungan. Nasabah dalam hal ini warga akan mendapatkan nilai nominal tertentu dari aktivitasnya atau hasil dari bank sampah nantinya kembali ke warga seperti perbaikan jalan dan gapura. Demikian penjelasan singkat dari Erwan Widyarto (Fisipol HI ’86), mantan jurnalis yang kini menggeluti dunia pengolahan sampah dan menjadi fasilitator di Bank Sampah “Griya Sapu Lidi”.
Erwan mengakui aktivitasnya terjun mengurusi sampah seperti by accident. Semuanya berawal dari tahun 2007 ketika warga di tempat tinggalnya RW 26 Perum Gumuk Indah, Sidoarum, Godean memikirkan bagaimana caranya menanggulangi timbunan sampah yang menggunung. Setelah melalui rembug desa, diputuskan dibentuk satu sistem pengelolaan sampah mandiri yang diberi nama Bank Sampah “Griya Sapu Lidi (GSL)”. Untuk sementara permasalahan sampah bisa sedikit teratasi. Namun karena suatu hal pada tahun 2008 selama hampir setahun GSL sempat mati suri. Setelah melakukan evaluasi internal, pada tahun 2009 GSL bisa bangkit kembali.
Selanjutnya pembenahan demi pembenahan dilakukan, yang membuat GSL menjadi semakin solid. Bahkan kemudian GSL berperan menjadi agen penyebar ‘virus’ pengelolaan sampah rumah tangga sampai ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Intinya adalah sebisa mungkin mengurangi sampah, memilah sampah dan meminimkan sampah yang dikirim ke TPA. Lalu sampah yang dipilah kemudian didaur ulang menjadi bermacam kerajinan yang menarik dan layak jual semacam bros, ecobricks, bunga dan gelang dari plastik, tas, spanduk, kaligrafi dan berbagai produk kreatif lainnya.
Erwan bisa lebih total ikut membesarkan GSL tahun 2010, saat ia mengajukan pensiun dini dari tugasnya sebagai jurnalis di koran Jawa Pos. Ia mengakui bahwa saat menjadi wartawan, waktu untuk keluarga dan lingkungan nyaris tidak ada. Begitu pensiun saatnya berbuat banyak untuk lingkungan sekitar. Orang pensiun itu bukan saatnya menikmati hidup, karena bisa mati beneran. Demikian prinsipnya seperti yang tertulis dalam buku karyanya “Produktif Sampai Mati”.
Baginya pensiun adalah saatnya mulai berbuat banyak untuk sesama dan lingkungan, apalagi ia pensiun saat di masa masih usia produktif. Maka ia tetap terlibat dalam dunia tulis menulis yaitu memberi pelatihan menulis, pelatihan media internal, menyiapkan SDM media, dll. Saat ini ia masih menyalurkan passion menulisnya di website www.banksampahjogja.com, sebuah web yang berisi inspirasi pengelolaan sampah.
Selain masih aktif di dunia penulisan, seperti yang sudah disinggung di atas, Erwan juga mendedikasikan waktunya untuk berbakti kepada lingkungan dengan ikut mengurusi permasalahan sampah. Apalagi sejak tahun 2014 saat ia ditunjuk resmi menjadi ketua seksi lingkungan RW 26 yang membawahi GSL, sekaligus sebagai fasilitator di Yogyakarta Green & Clean. Kiprahnya makin menjadi-jadi dan berbagai jabatan pernah disandangya seperti menjadi Ketua 1 Jejaring Pengelola Sampah Mandiri (JPSM) DIY, Sekretaris Paguyuban Bank Sampah DIY, Sekretaris Perkumpulan Yogyakarta Green & Clean, dsb. Selain itu sebagai fasilitator ia aktif menjadi pemateri atau narasumber dalam sejumlah acara seminar, dan pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
Menurut Erwan saat ini GSL terus melakukan pembinaan dan pembentukan bank sampah baru berbasis wilayah (RT/RW/Padukuhan) maupun berbasis sekolah (SD/SMP/SMA/Perguruan Tinggi). Dalam pengembangan berikutnya, GSL juga memberikan pelatihan ketrampilan dan kreativitas daur ulang sampah. Sering pula mengikuti pameran, festival atau ekspo untuk mempromosikan kegiatan dan produk-produk yang dihasilkan.
GSL juga terbuka buat tamu yang sekedar mau berkunjung saja atau belajar pengolahan sampah. Sejumlah tamu, baik dari dalam maupun luar negeri, telah mengunjungi GSL. Mereka datang dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa, pejabat, komunitas, akademisi, peneliti maupun mahasiswa dan pelajar. GSL juga terbuka untuk menjalin kemitraan serta melakukan pendampingan dengan pihak mana saja.
Beberapa mitra dan lembaga yang mendapatkan pendampingan di antaranya adalah Unilever Global (Jerman), Boras Institute (Swedia), SP Technology (Swedia), Sociopreneur Muda (Soprema) UGM, Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), FEB UGM, Fisipol UGM, Dept. Ilmu Hubungan Internasional UGM, PKK dari berbagai wilayah (Prov. Bali, Kab. Labuhan Batu Selatan, Kab. Deli Serdang, Kab. Bengkulu Selatan, dll), lembaga pendidikan di Yogyakarta (SDIT Alam Nurul Islam, SMP Al Azhar Yogyakarta, SMP N 1 Yogyakarta, SMP N 3 Yogyakarta, SMP N 3 Godean, SMA N 1 Godean, MAN 1 Sleman, SMKN 2 Godean, dll), institusi perguruan tinggi (American Corner UMY, UNY, UIN Sunan Kalijaga, UII, STIEBANK, Univ. Soegijopranoto Semarang, dll).
Untuk memperkuat gerakan pengelolaan sampah, GSL juga menjadi bagian dari Jejaring Pengelola Sampah Mandiri (JPSM) Kabupaten Sleman maupun JPSM Daerah Istimewa Yogyakarta. GSL juga menjadi anggota Perkumpulan Yogyakarta Green and Clean (YGC) dan secara aktif ikut menggerakkan paguyuban Bank Sampah se-DIY tersebut. Menyadari bahwa pengelolaan sampah yang benar harus terus disosialisasikan, GSL menggandeng sekolah-sekolah yang bertujuan sekolah bisa menjadi lebih bersih memenuhi standar sekolah sehat dan pengkaderan pengelolaan sampah pun bisa berjalan.
Erwan berpesan kepada siapa saja, “Pengelolaan sampah harus dimulai dari awal timbulan sampah yakni rumah tangga atau sejenis rumah tangga (kantor, kantin, sekolah, rumah makan, pesantren dan sejenisnya). Sampah dari timbulan awal tersebut harus dipilah. Dipisahkan yang organik dan anorganik. Yang organik dikelola dengan dikomposkan. Anorganik bisa dijual lewat Bank Sampah, tukang rosok atau pelapak untuk dikirim ke industri daur ulang. Jangan kirim sampah, apalagi sampah organik dan anorganik yang tercampur, ke TPA. TPA hanya untuk sampah residu. Sampah yang tidak bisa dimanfaatkan lagi.”
“Disiplin pemilahan ini harus dilakukan juga oleh petugas pengambilan sampah. Penyediaan infrastruktur kendaraan dengan bak pilah bisa dipikirkan. Atau jadwal pengambilan jenis sampah dibedakan. Sehingga sampah yang sudah dipilah masyarakat, diangkut dalam keadaan terpilah juga. Langkah satu Kabupaten di Bali yang menolak mengambil sampah tercampur, bisa dijadikan contoh yang baik.” demikian pungkas Erwan.