Perempuan Papua dan Kebaya

Oleh: Sitawati Ken Utami

Ada orang yang bilang kebaya itu Jawanisasi. Apa itu Jawanisasi? Jawanisasi adalah proses menjadikan budaya Jawa menyerap dan mempengaruhi budaya lokal di berbagai daerah. Memang benar, perempuan Jawa sejak jaman Mataram Kuno sudah memakai kebaya hingga turun temurun sampai jaman kemerdekaan. Tapi bukan berarti kebaya tidak dipakai oleh perempuan etnis lain di luar Jawa.

Pada tahun 2003, ketika saya menginjakkan kaki di tanah Papua, tepatnya di kepulauan Raja Ampat, saya dibuat terkejut melihat mama-mama Papua memakai kain kebaya. Di tahun tersebut, jaringan internet yang digunakan masyarakat cakupannya belum seluas sekarang, dan juga belum dikenal platform berbagai media sosial. Namun saya sudah tergelitik untuk mengabadikan momen unik menarik tersebut.

Mama-mama Papua memakai kain dan kebaya pada saat itu  ketika menyambut Bupati Sorong yang mau hadir ke pulau Misool, yaitu pulau yang harus ditempuh dengan menggunakan kapal atau perahu dari Kota Sorong. Pada saat itu, Kepulauan Raja Ampat masih dibawah pemerintah daerah Kabupaten Sorong.

Penyambutan kunjungan bupati berlangsung cukup meriah. Ketika bupati dan rombongan turun dari kapal, beberapa anak sekolah memakai seragam bernyanyi dengan diiringi oleh ukulele dan gitar. Setelah mengalungkan bunga kepada bupati, selanjutnya penampilan tari Yospan disajikan gadis-gadis dengan menggunakan rok rumbai. Masyarakat berkerumun di tanah lapang melihat prosesi tersebut. Anak-anak juga bergerombol ingin melihat kedatangan rombongan bupati. Di dapur, mama-mama memasak ikan dan sagu. Semua sibuk, terasa sekali suasana Papua.

Dari semua  proses tersebut, saya paling tertarik dengan penampilan 4 orang mama yang berdandan khusus yang berjejer dengan tenang. Salah satunya memakai baju paramedis. Yang tiga memakai kain batik dengan kombinasi kebaya. Rambutnya disanggul rapih.

Kain yang dipakai oleh dua mama berwarna coklat sogan. Yang satu bermotif kawung dan satu lagi bermotif parang atau lereng. Padanannya yang satu blus warna coklat dan putih, yang satu lagi kebaya kerah Sunda berwarna biru.

Yang paling mencolok perhatian, ada satu mama yang memakai kain dengan motif Batik Papua satu stel dengan selendangnya. Warna kebayanya pink serasi dengan model kutubaru dipadu dengan kain batik berwarna biru. Rambutnya disanggul dengan hiasan bunga merah di kepala. Tambah menarik lagi, penampilan mama berkebaya pink dilengkapi dengan kalung mutiara menghias leher. Di tangannya terlihat mama itu membawa baskom.

Saya memperhatikan prosesinya dengan seksama. Rupanya baskom yang dibawa mama berkebaya pink dipakai untuk upacara adat, bupati membasuh kakinya pada baskom yang dibawa mama berkebaya pink. Sungguh takjub saya dibuatnya. Apakah mama-mama itu merasa terpaksa memakai kain batik dan kebaya? Dari mana mereka mendapat inspirasi memakai kain kebaya pada acara yang sarat dengan suasana adat? Sayang sekali saya tidak sempet bertanya kepada mereka. Tapi yang jelas terpancar wajah-wajah bahagia pada diri mama-mama Papua yang manis.

Kali kedua saya terpana pada perempuan Papua berkebaya ketika pada bulan Desember 2019 dihelat acara Nitilaku, yaitu sebuah ritual yang diselenggarakan untuk memperingati dies natalis Universitas Gadjah Mada, berupa parade jalan kaki dari Kraton Yogyakarta ke kampus Bulaksumur. Sebagian besar peserta Nitilaku memakai baju adat dari berbagai daerah. Saya dan teman bernama Ary ikut berjalan kaki sejauh sekitar 8 km dengan gembira bertemu teman-teman alumni yang lain. Tak dinyana, di tengah jalan saya bertemu gadis-gadis Papua yang memakai kain kabaya. Tidak terlihat canggung sama sekali.

Keempat gadis Papua tersebut memakai kain den kebaya dengan gaya yang mirip. Semua kebaya saya lihat berbahan brokat dengan warna-warna yang cerah. Ada merah, ungu dan hijau pupus. Model kebayanya bervariasi tetapi lebih banyak berkerah Sunda. Kain yang dipakai coklat sogan gagrak Yogyakarta dengan motif beraneka ragam. Rambut diikat rapi dan sederhana.

Apakah mereka merasa terpaksa memakai kain dan kebaya? Apa yang menginspirasi gadis-gadis Papua tersebut memilih kain dan kebaya dalam acara Nitilaku? Saya tidak menanyakannya. Hanya saya melihat gadis-gadis itu terlihat bersemangat berbusana daerah dengan senyum yang merekah