Kagama Fotografi 12: Kepiawaian Adi Prasetijo Memotret Budaya dalam Balutan Hitam Putih

PP Kagama bersama Kagama Fotografi kembali menggelar webinar lewat Zoom Meeting pada hari Sabtu (26/6/2021) yang berlangsung selama 2 jam yaitu jam 15.00 s/d 17.0 WIB. Pada webinar seri 12 kali ini membahas bagaimana memotret budaya dalam nuansa hitam putih, bersama narasumber utama Adi Prasetijo, seorang arkeolog sekaligus pakar antropologi. Kata sambutan diberikan oleh Adi Mustika, ketua Kagama Fotografi, dan Doty Damayanti dari tim Humas PP Kagama bertindak sebagai moderator.

Adi Prasetijo

Di awal pemaparan, Adi Prasetijo yang biasa akrab disapa Tijok, mengaku dirinya bukanlah fotografer profesional, namun hanyalah sekedar memotret untuk mendokumentasikan kegiatan atau penelitiannya. Meski ia sudah belajar fotografi semenjak saat kuliah dulu, namun ia memotret hanya untuk mendukung kegiatan kuliahnya di arkeologi dan di organisasi pecinta alam yang diikutinya.

Berikutnya, Tijok menjelaskan apa itu yang dimaksud fotografi budaya. Banyak orang yang melihat budaya hanya seputar masalah seni saja. Padahal budaya tidak hanya sekedar seni tapi suatu sistem gagasan yang merefleksikan cara berpikir kelompok atau suatu suku. Dan itu nampak dalam tindakan, perilaku tertentu, ritual, kebiasaan, tradisi, material, atau tanda budaya.

Sedangkan fotografi sendiri, khususnya dalam ilmu antropologi yang ia pelajari, awalnya berfungsi sebagai dokumentasi kegiatan. Namun kemudian lama-lama mempunyai fungsi sebagai data, dan bahkan sebagai bahan untuk refleksi perubahan.

Tijok jatuh cinta dengan foto hitam putih, diawali ketertarikannya pada sepasang suami istri pakar antropologi bernama Gregory Bateson dan Margaret Mead yang menulis buku berjudul “Balinese Character” pada tahun 1942. Mereka berdua memotret karakter-karakter orang Bali dalam berbagai situasi dan tradisi. Dari foto-foto yang dihasilkan kemudian dianalisa dan dibuat penjelasan-penjelasan ilmiah.

Tijok menyatakan buku tersebut banyak sekali menerima kritik, salah satunya adalah bagaimana orang barat menginterpretasikan kebudayaan Bali dengan cara pandangnya sendiri, yang mana sebenarnya tidak sesuai dengan orang Bali melihat dirinya sendiri. Namun bagi Tijok pribadi buku tersebut sangat bagus memotret secara detil karakter Bali dari wajah, gerak tubuh dan perilaku masyarakat Bali pada saat itu yang belum terbuka luas. Ia menilai dari hal tersebut terbukti fotografi bukan hanya sekedar alat dokumentasi, namun jelas berfungsi sebagai data.

Inspirasi kedua berasal fotografer asal Brazil bernama Sebastiao Salgado. Foto-foto hitam putihnya dalam buku karyanya berjudul “Gold” terkesan sangat dramatis. Meski ia bukan murni seorang ahli antropologi, namun karya-karyanya sangat bersifat antropologis. Sebastiao sangat serius dalam penggarapan bukunya tersebut, sehingga sampai sekitar setahun ia tinggal di lingkungan penambangan emas ilegal di daerah Brazil, membaur dengan para penambang untuk melakukan pendekatan.

Teknik tersebut di dalam antropologi disebut sebagai participant observation, untuk mempelajari cara berpikir dalam komunitas atau masyarakat. Foto-foto monumental Sebastiao tersebut tidak akan tercipta, jika ia tidak berinteraksi langsung dengan para penambang dan mendapatkan kepercayaan dari mereka yang menjadi obyek bidikannya.

Tijok mengakui, dalam memotret sebuah obyek ia tidak pernah merencanakan secara detil. Namun ia memakai paramater-parameter tertentu untuk obyek yang menarik baginya, sehingga akhirnya dipilah-pilah atau dikategorikan. Misalnya dalam budaya kita bisa melihat bagaimana cara sebuah masyarakat hidup atau the way of life. Kesulitan mewujudkannya menjadi foto hitam putih adalah karena tidak bisa menampilkan kontras warna, namun hanya mengandalkan gradasi cahaya. Sehingga alternatifnya adalah mencari kontras suasana atau dengan lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya ada kategori warisan budaya yang bersifat materi dan non-materi. Sebenarnya sebuah budaya jika difoto berwarna akan menarik dengan kontras warnanya, namun sebagai seorang peneliti, Tijok membutuhkan suatu kontras yang cukup kuat untuk melihat pembeda dari sisi yang lebih menarik, sehingga bisa diamati lebih jelas.

Berikutnya Tijok menjelaskan foto hitam putih menjadi begitu kuat pada foto portrait atau memotret manusia, karena akan lebih menampilkan karakter mikro pada wajah secara detil, seperti kerut-kerut dan ekspresinya. Sehingga akan menimbulkan interpretasi yang berbeda, yang mana hal itu sangat penting bagi antropolog seperti Tijok sebagai bahan untuk analisa.

Tijok menambahkan, foto hitam putih bisa untuk menjelaskan situasi kontekstual. Dan dalam budaya, konteks itu menjadi begitu penting untuk memberi gambaran seperti apa budaya yang akan kita tampilkan. Seperti perpaduan heritage tradisional dengan teknologi modern jika ditampilkan dalam satu frame akan memberi nuansa yang menarik.

Kemudian, yang biasa diperhatikan dalam budaya adalah ritual atau tradisi. Namun, Tijok tidak hanya mendokumentasikan proses ritualnya itu sendiri, tapi pernak-pernik yang terjadi di balik peristiwa ritualnya penting juga untuk diperlihatkan sehingga konteks untuk kegiatannya secara menyeluruh menjadi lebih menarik.

Yang terakhir, kehidupan sehari-hari masyarakat sangat menarik perhatian Tijok. Aktivitas di jalan, pasar, stasiun, terminal, pertokoan, dll bisa menjadi obyek foto unik dan memikat. Foto-foto tersebut bisa untuk melihat perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Sebagai penutup, Tijok memberikan kesimpulan presentasinya. Foto hitam putih adalah interpretasi, yang mana terserah kita masing-masing untuk memunculkannya. Juga bisa untuk mempelajari atau mencari informasi tentang suatu kelompok atau suku tertentu, untuk menangkap kebiasaan atau perilaku umum mereka.

Cerita penting untuk menguatkan interpretasi. Untuk itu sebaiknya foto disertai caption satu kalimat atau satu paragraf, sehingga pemirsa bisa menangkap maksudnya dari sudut pandang yang kita tampilkan.

Foto hitam putih mempunyai karakter atau ciri yang kuat dalam portrait. Kemudian, jangan lupa selalu mencari obyek unik dalam kehidupan sehari-hari. Meski unik itu sendiri relatif. Artinya bagi mereka yang setiap hari melakukan sudah menjadi hal biasa, namun bagi orang luar akan terasa unik karena belum pernah melihatnya.

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel:

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*