Diskursus Omnibus vs Konsolidasi Mogok Kerja Nasional

Oleh: Masykur Isnan*

Diskursus Omnibus

Dunia Ketenagakerjaan memasuki babak baru dan kembali menjadi perhatian khalayak pasca informasi yang beredar terkait dengan agenda pengesahan RUU Cipta Kerja dalam waktu dekat, pelbagai reaksi kemudian hadir, terutama dari kalangan buruh yang memberikan sentimen negatif terhadap RUU tersebut bagi kaum buruh sampai berujung pada rencana mogok kerja skala nasional, terlepas dari hal tersebut perlu dikaji lebih dalam kondisi aktual dari dunia ketenagakerjaan saat ini dan pasca RUU Cipta Kerja digaungkan dengan segala hingar bingarnya,  ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan perlu segera disikapi, yakni :

(1). Peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan, dianggap ketinggalan zaman dan impoten terhadap kondisi kekinian;

(2). Banyaknya ketentuan atau pasal di dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang multitafsir dan tidak konsisten serta tumpang tindih/tidak sinkron sehingga berpotensi menimbulkan perselisihan diantara para pihak ;

Belum lagi, jika dikaitkan dengan hal yang lebih besar, yakni terkait dengan dunia usaha/investasi, dirasa bahwa kurang kondusifnya iklim ketenagakerjaan, investasi dan iklim usaha sehingga belum dapat mendorong terciptanya lapangan kerja

Dalam kontek realitas hukum, terlalu banyak peraturan perundang-undangan telah menyebabkan terjadinya fenomena “hyper regulasi”, di mana satu dan yang lainnya minim harmonisasi dan sinkronisasi yang membuktikan para pembuat peraturan perundang-undangan seakan tidak taat asas dan prosedur dalam menjalankan tugas dan fungsinya

Hal ini yang mungkin menjadi salah alasan yang mendasari pemerintah  secara aktif membuat dan merumuskan kebijakan, diantaranya di bidang ketenagakerjaan, diawali dengan adanya umbrella act, yang diharapkan dapat menjadi solusi efektif dan efisien.

Dalam perkembangannya, pemerintah menginisiasi adanya RUU Cipta Kerja, dari 11 cluster, meskipun  Namanya adalah Cipta Lapangan Kerja, identik dengan bidang Ketenagakerjaan, namun faktanya, hanya ada 1 cluster (3) yang membahas khusus tentang Ketenagakerjaan; Upah Minimum, Outsourching,Tenaga Kerja Asing, Pesangon PHK, Sweatener, Jam Kerja (Dikutip dari ppt Kemenko Bidang Perekonomian).

Upah Minimum (UM)

– Tidak dapat turun dan ditangguhkan
– Kenaikan UM memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah
– Dapat diterapkan skema upah per jam :

  • Untuk menampung jenis pekerjaan tertentu (konsultan, pekerjaan paruh waktu, dll() dan jenis pekerjaan baru (ekonomi digital)
  • Untuk memberikan hak dan perlindungan bagi jenis pekerjaan tersebut, perlu pengaturan upah berbasis jam kerja yang tidak menghapus ketentuan upah minimum
  • Apabila upah berbasis jam kerja tidak diatur maka pekerja tidak mendapatkan perlindungan upah

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

  • Pemerintah menambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK
  • JKP memberikan manfaat berupa ; cash benefit,vocational training,job placement acces
  • Penambahan manfaat JKP, tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan
  • Untuk memberikan perlindungan bagi pekerja kontrak, diberikan perlakukan dalam bentuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja

Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT)

  • Mendapatkan hak dan perlindungan yang sama, termasuk hak kompensasi atas PHK
  • Pekerja kontrak di industri digital harus diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap

Alih Daya (Outsourching)

  • Peningkatan perlindungan hak pekerja alih daya
  • Untuk pekerja alih daya (kontrak atau tetap) diberikan hak dan perlindungan yang sama, termasuk kompensasi atas PHK

Waktu Kerja

  • Pemberian fleksibilitas waktu kerja dengan tetap mengedepankan hak dan perlindungan pekerja
  • Pekerjaan yang karena sifatnya, tidak bias menerapkan waktu kerja normal (misalnya pekerjaan paruh waktu) atau Pekerjaan pada sektor tertentu (migas, pertambangan, pertanian dan perikanan) memerlukan jam kerja yang lebih panjan dari jam kerja normal
  • Jenis Pekerjaan tersebut menerapkan jamkerja sesuai kebutuhan kerja yang bersangkutan, namun tetap mengedepankan perlindungan bagi pekerja antara lain ; upah, termasuk lembur, perlindungan K3 dan jaminan sosial

Terlepas dari pro dan kontra atau baik dan buruknya RUU Cipta Kerja, ada beberapa hal yang menjadi catatan :

  1. Secara formil atau prosedural, pembuatan dan pembahasan RUU Cipta Kerja perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan, khususnya di bidang ketenagakerjaan ; Pengusaha/asosiasi Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Akademisi ;
  2. Secara materil atau subtansi, perlu dijaga dan dipastikan bahwasanya RUU Cipta Kerja diundangkan demi kepentingan bersama bukan untuk kepentingan pihak tertentu yang bersifat transaksional ;
  3. Dalam perumusannya, perlu dilakukan secara teliti, mendalam dan komperhensif. Hal ini menjadi mitigasi utama dalam memastikan implementasi yang optimal, mengingat besarnya kemungkinan adanya resistensi dari pihak-pihak tertentu, diantaranya melalui Judicial Review ;
  4. Perlu adanya optimalisasi ; peraturan pelaksana,aparatur hukum, dan sarana prasarana hukum untuk mendukung terwujudnya norma dan nilai yang hendak dicapai ;
  5. Bukan sebagai solusi sebatas praktis dan pragmatis, namun sebagai solusi hukum (termasuk politik) untuk penyederhanaan birokrasi,percepatan pelayanan, peningkatan daya saing, dan lain-lain

Konsolidasi Mogok Kerja Nasional

Pada perkembangannya, Beberapa Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) di pelbagai daerah telah menyatakan akan melakukan mogok kerja secara nasional, 25 provinsi dan 300 kabupaten atau kota dengan melibatkan kurang lebih 5 juta buruh, sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian penting mengingat potensi risiko yang bisa hadir, termasuk namun tidak terbatas pada aspek ekonomi, sosial dan kesehatan, terlebih di kondisi pandemi saat ini. Kiranya, perlu kemudian diambil langkah-langkah efektif oleh para pemangku kepentingan dalam mencari solusi yang terbaik

UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan beberapa peraturan pelaksana, tidak mengenal istilah Mogok Kerja Nasional, melainkan sebatas Mogok Kerja, yang pada intinya dijelaskan bahwa Mogok Kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan SB dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Berdasarkan hal tersebut, terminologi Mogok Kerja Nasional perlu dikaji lebih lanjut dalam konteks normatif, termasuk namun tidak terbatas pada ; definisi, dasar hukum, konsekuensi hukum dan lain-lain, mengingat hal ini telah terjadi beberapa kali, dan belum di atur secara jelas dan detail. Ketidakaturan yang dapat berkorelasi kepada perbedaan penafsiran/perspektif atas hal ini sepatutnya segera diselesaikan 

Faktanya, Mogok Kerja Nasional adalah bentuk nyata protes dan ketidaksepamahaman atas RUU Cipta Kerja yang digagas oleh Negara cq. Eksekutif (pemerintah) dan Legislatif (DPR), artinya yang berkepentingan dapat disimpulkan adalah Negara dan buruh/pekerja atau organisasi pekerja dan bukan sebagai akibat gagalnya perundingan (dalam hal ini antara buruh/pekerja atau seikat pekerja/buruh dengan pemberi kerja/pengusaha atau organisasi pengusaha). Dengan demikian, sangat tidak tepat menggunakan mogok kerja (UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan dan Peraturan Perlaksananya) sebagai bentuk dasar dilakukannya Mogok Kerja Nasional.

Pelaksaan mogok kerja yang sah oleh pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh harus memenuhi syarat materiil (alasan) sebagaimana diatur pada Pasal 137 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :”Mogok Kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”

Dan dipertegas melalui Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor :KEP.232/MEN/2003 Tentang Akibat Mogok Kerja Yang Tidak Sah : ”Mogok Kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”

Di samping itu, untuk dapat dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang sah diharuskan memenuhi syarat formiil (tata cara) sebagaimana diatur pada Pasal 140 (ayat 1,2,3,4), 141 (ayat 1,2,3,4,5) UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Syarat materiil dan formiil mutlakharus dipenuhi oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh untuk melakukan mogok kerja yang sah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur secara jelas pada Pasal 142 (ayat 1) UU UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan :”mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja yang tidak sah”

dan diperjelas pada Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor :KEP.232/MEN/2003 Tentang Akibat Mogok Kerja Yang Tidak Sah : ”Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan :

  1. Bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
  2. Tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi  yang bertanggung jawab di bidang
  3. Dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
  4. Isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”

serta Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor :KEP.232/MEN/2003 Tentang Akibat Mogok Kerja Yang Tidak Sah : “Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/ serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan”

Dalam hal mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh adalah tidak sah maka dapat dillakukan tindakan sebagaiamana diatur pada Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor :KEP.232/MEN/2003 Tentang Akibat Mogok Kerja Yang Tidak Sah :

  1. Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikualifikasikan sebagai mangkir
  2. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis
  3. Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri”

Langkah yang dapat diambil

  1. Dalam hal terdapat surat permohonan berunding terkait dengan permasalahan RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh ditingkat perusahaan kepada perusahaan maka dapat dilakukan upaya  dengan membalas surat permohonan perundingan sebagaimana dimaksud yang pada intinya :
    – Objek yang akan dirundingkan adalah bukan kewenangan perusahaan sebagaimana diatur di dalam PK atau PP/PKB, melainkan kewenangan Negara (Pemerintah dan DPR)
    – Jangka waktu perundingan, dapat kemudian disesuaikan di waktu yang dianggap lebih tepat dan tidak mendadak mengingat fokus perusahaan saat ini adalah pada upaya penanggulangan dan penanganan covid 19 serta keberlanjutan usaha
    – Dalam hal, Mogok Kerja Nasional tetap dilakukan maka penerapan sanksi sebagai diatur di dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya dapat diterapkan
  2. Menyampaikan informasi kepada seluruh karyawan/pekerja terkait kondisi kekinian, termasuk namun tidak terbatas fokus pada aspek hukum (terkait Mogok Kerja Nasional dengan segala konsekuensinya) dan aspek bisnis (keberlanjutan dan keberlangsungan usaha) serta aspek kemanusiaan/kesehatan (penanggulangan dan penanganan covid 19)
  3. Optimalisasi koordinasi dan komunikasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk namun tidak terbatas pada serikat pekerja/buruh di tingkat perusahaan, asosiasi atau organisasi pengusaha, instansi ketenagakerjaan yang berwenang, instansi industry/usaha yang  berwenang, dalam menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi, upaya persuasif, preventif dan represif terkait dengan Mogok Kerja Nasional)
  4. Mendorong dan mendukung Negara (Pemerintah dan DPR) untuk melakukan upaya-upaya penting dan segera dalam memitigasi potensi risiko, baik laten maupun aktual, termasuk namun tidak terbatas pada ; keterbukaan informasi komunikasi dengan para pemangku kepentingan, adanya forum-forum dialogis yang konstruktif dengan para pemangku kepentingan, dan lain lain.

*) Penulis adalah Alumnus FH UGM Yogyakarta 2007, yang saat ini berprofesi sebagai Advokat Spesialis Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial, Industrial Relation Expert di pelbagai industri (otomotif, perbankan, dll), dosen tamu di beberapa universitas/politeknik, penulis/kolomis, pembicara dan trainer di pelbagai workshop/training, founder IR Talk

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*