Heri Priyatmoko: Krisis Pangan di Indonesia Sudah Terjadi Sejak Jaman Dahulu

Minggu (17/4/2021) PP Kagama menyelenggarakan webinar Kagama Literasi #1 dengan membedah buku “Krisis Pangan” karya wartawan senior Kompas, Andreas Maryoto. Salah satu narasumber yang tampil adalah Heri Priyatmoko, MA, dosen Universitas Sanata Dharma, yang memaparkan materinya dengan judul “Sejarah Krisis Pangan di Indonesia”. Heri memulai dari semiotika yang dihadirkan buku “Krisis Pangan” yakni ilustrasi rantang yang bermakna kompleks dalam sosial budaya masyarakat Indonesia. Mengutip yang disampaikan Jakob Oetama, buku adalah mahkota bagi wartawan dan pada titik tersebut sang penulis buku, Andreas Maryoto, sudah meraihnya.

“Buku tersebut memperlihatkan langkah-langkah penulis yang mengumpulkan berbagai sumber yang dalam sejarah disebut heuristik. Keberpihakan dan kepakaran penulis terlihat dari konten buku yang mengajak pembaca berkontemplasi terhadap kondisi pangan Indonesia.” ungkap Heri.

Krisis pangan pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada masa lalu. Tercatat dalam sejarah, Aceh pernah mengalami krisis pangan terutama beras pada abad XVI dan XVII. Tipologi lahan yang bercorak rawa dan kemarau yang berkepanjangan memperparah kondisi pangan saat itu. Untuk mengatasi hal tersebut, Raja Aceh, Sultan Iskandar Muda melakukan impor tenaga kerja atau budak dari India untuk menggarap lahan pertanian di Aceh dan melakukan kontrol terhadap distribusi serta mematok harga yang normal untuk dapat dijangkau masyarakat Aceh.

Beralih di Pulau Jawa tepatnya di Banten terjadi kelangkaan beras yang diakibatkan distribusi beras dari mataram yang banyak beralih ke Batavia sehingga pasokan beras di Banten menipis dan membuat harga beras melonjak puluhan kali lipat. Untuk mengatasi hal tersebut, Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan impor beras dari Siam (Thailand) dan pada masa paceklik muncul praktik spiritual di masyarakat yakni ritual memanggil hujan.

Menurut Heri, Krisis pangan di wilayah Mataram juga tak kalah menyedihkan. Pada sekitar tahun 1677-1703 di masa pemerintahan Amangkurat II terjadi krisis pangan hebat di mana harga beras meroket tajam dan banyaknya gagal panen yang membuat masyarakat Mataram mengonsumsi ubi dan gadung. Melihat peristiwa tersebut, Amangkurat II memerintahkan Pangeran Puger untuk menyelidiki krisis pangan dan Pangeran Puger menemukan permasalahan distribusi yang tidak merata. Kemudian melalui kasus tersebut, Amangkurat II menetapkan harga beras agar terjangkau oleh masyarakat Mataram.

“Di masa penjajahan Belanda, krisis pangan muncul akibat kebijakan tanam paksa yang dibebankan untuk menanam komoditas tanaman ekspor seperti kopi, teh, dan tebu. Kemudian, menyebabkan involusi pertanian dan di wilayah vorstenlanden, salah satunya Mangkunegaraan menyiasatinya dengan sistem glebagan, yaitu semester pertama menanam komoditas ekspor, dan semester kedua menanam padi. Dan pada masa penjajahan Jepang, beras menjadi langka karena Jepang menarik beras dari petani dan menerapkan romusha, Lahan pertanian yang ditinggalkan terbengkalai dan membuat beras langka. Masyarakat terpaksa mengonsumsi ubi, biji nangka, dan berbagai serangga sebagai makanan.” ujar Heri menambahkan.

Alumnus alumni S2 Sejarah UGM tersebut mengakhiri paparannya dengan menyebut krisis pangan memunculkan diversifikasi pangan dan kuliner, yaitu mulai dikonsumsinya umbi-umbian dan hadirnya tengkleng, sajian kuliner olahan tulang dan organ hewan yang muncul akibat kelangkaan pangan. Munculnya mitos Dewi Sri dengan ritual sakral merayakan panen, dilarang membuang nasi dan merawat kesadaran ekologis, dan melahirkan budaya memuliakan petani. [arma]

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: