Putu Ardana Memimpin Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dalam Mempertahankan Haknya

Dalam rangka Nitilaku tahun ini untuk pertama kalinya diperkenalkan sebuah acara penghargaan bernama “Alumni Mengabdi Award”, yang penyerahannya dilakukan pada acara Malam Alumni di Gedung Grha Sabha Pramana, Sabtu (17/12/2022). Ada lima alumni yang pengabdiannya kepada masyarakat sangat menginspirasi yang terpilih memperoleh penghargaan. Satu di antaranya adalah Putu Ardana, alumnus Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UGM angkatan 1983.

Pria asal desa Munduk, Bali, kelahiran Singaraja itu pada tahun 1994 memutuskan untuk pulang ke desanya dan memulai kehidupannya sebagai petani. Karena pada saat kuliah pria yang biasa dipanggil Kaweng ini sangat aktif dibidang olahraga dan kepecintaalaman, maka aktifitas awal di desanya tidak jauh dari hal-hal tersebut.

Dibidang olah raga dia sangat aktif dalam kegiatan olahraga tradisional yang sangat khas daerahnya yaitu permainan gasing. Dia bawa sentuhan-sentuhan modern pada permainan tersebut sehingga tetap lestari sampai sekarang sebagai permainan tradisional yang menyenangkan. Dia bahkan pernah membawa permainan gasing pada olimpiade olahraga tradisional atau TAFISA, dan mempertunjukkan gasing terbesar di dunia yang berdiameter 2,5 meter.

Di bidang lingkungan, bapak 4 anak tersebut melihat bahwa kawasan tempat tinggalnya adalah kawasan hulu penghasil jasa-jasa ekosistem bagi kawasan sekitarnya. Tetapi kemudian tumbuh kekhawatiran besar pada dirinya ketika melihat kehidupan petani yang merupakan bagian terbesar dari populasi komunitasnya baik dalam cara dan mental bertaninya.

Dalam praktik, penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida kimia sudah sangat masif. Bibit-bibit tanaman jangka pendekpun hampir sepenuhnya sudah memakai bibit GMO sehingga petani menjadi mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi kepada pihak luar dalam soal sarana bertaninya baik berupa pupuk, pestisida, herbisida dan bibit. Secara mental petani yang seharusnya bermental produsen sudah bergeser menjadi bermental konsumen.

Dari keprihatinan inilah kemudian lahir konsep yang dia beri nama “laku organik”, dan secara perlahan mengajak para petani komunitasnya bisa bertani organik secara benar. Artinya bukan sekedar menggunakan pupuk organik tetapi berperilaku secara organik untuk selanjutnya menjadi petani mandiri yang kembali bermental produsen.

“Dari gerakan itulah lahirnya branding kopi yang kita jadikan media komunikasi dalam melakukan aktifitas-aktifitas konservasi kawasan hulu Tamblingan dan Cagar Alam Batukaru, yaitu kopi dengan merek dagang Blue Tamblingan,” ucap pendiri Unit Selam UGM itu.

Seiring berjalannya waktu, pria ini juga mulai memperhatikan, mengamati dan kemudian jatuh cinta kepada masyarakat adatnya yang sangat tua yang disebut Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT). Prasasti tertua yang menyebut eksistensi masyarakat adat ini adalah Prasasti Ugrasena yang bertarikh 922 M.

Keimanan masyarakat adat tersebut juga unik yang disebut “Piagem Gama Tirta”, keimanan yang memuliakan air dan menjaga harmoni dengan alam. MADT awalnya bermukim di hutan sekitar danau. Hutannya disebut Alas Mertajati (sumber hidup yang sesungguhnya) dan danaunya bernama Tamblingan dari kata tamba dan eling (obat penjaga kesadaran).

Pada abad ke-14, MADT memutuskan menggeser pemukimannya ke daerah yang sedikit lebih rendah dan menjadikan kawasan pemukiman awal mereka sebagai kawasan suci. Kawasan suci berupa hutan dan danau itu dijadikan sebagai sumber utama kehidupan yang tidak boleh diutak-atik. Untuk berkehidupan, mereka bersepakat hanya mengambil dari rembesannya saja, bukan dari sumber utama tersebut.

Sekedar info, MADT menempati kawasan dengan rentang ketinggian dari 600 mdpl sampai 1800 mdpl. Luasnya sekitar 7000 hektar, termasuk hutan dan danau kawasan suci mereka seluas 1.322 hektar, yang terdiri dari 4 desa yaitu desa Gobleg, Munduk, Gesing dan Umejero.

Sejak kemerdekaan, pemerintah mengklaim kawasan suci MADT sebagai milik negara lewat SK Menteri. Pada tahun 1996, kawasan suci yang tadinya berstatus hutan tutupan diturunkan statusnya menjadi TWA (Taman Wisata Alam). Pada tahun 2014 SK Menteri diperkuat lagi dengan menambah luasan TWA menjadi 1.800 hektar.

Dengan status TWA dan semakin pesatnya perkembangan pariwisata di Bali maka berlombalah para investor untuk memelototkan mata pada kawasan suci MADT ini. Silih berganti para investor yang sudah mengantongi ijin dari Kementrian berdatangan untuk mengeksploitasi kawasan ini dengan jargon-jargon indah tentang wisata lingkungan dan peningkatan ekonomi.

Di situlah pria penggemar Koes Plus dan The Beatles tersebut memimpin masyarakat adat dari keempat desa melawan tekanan-tekanan dalam berbagai bentuk dari investor maupun pemerintah yang mau mengubah kawasan suci mereka menjadi kawasan wisata.

Sampai saat ini, berkat keteguhan dan kekompakan perlawanan MADT belum ada satupun investor yang berani mengeksekusi ijin yang sudah mereka kantongi. Namun pertanyaannya akan sampai kapan?

Maka karena UU memungkinkan, Kaweng memimpin untuk memperjuangkan agar hutan suci mereka dikembalikan posisinya menjadi hutan adat untu bisa disucikan seperti semula sehingga tetap bisa menjadi sumber hidup utama bagi MADT, dan memberi jasa-jasa ekosistem berupa air bersih dan udara bersih bagi kawasan sekitarnya.

Perjuangan mengembalikan hutan adat dia awali pada tahun 2018 dengan melakukan pemetaan partisipatif yang melibatkan hampir semuanya anak-anak muda MADT. Selain pemetaan spasial juga dilakukan pemetaan sosial budaya, potensi ekonomi, inventarisasi flora fauna, pemetaan mata air, dsb.

Pelibatan anak-anak muda dimaksudkan untuk melakukan transformasi nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur MADT untuk memuliakan air dan menjaga harmoni dengan alam serta juga untuk melawan stigma bahwa masyarakat adat itu adalah masyarakat yang terbelakang, bodoh, kuno, dsb. Maka sekaligus juga kemudian dibentuk organisasi berbadan hukum dengan manajemen modern untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan MADT secara lebih terstruktur dan bisa mengikuti dinamika jaman. Organisasinya bernama Bagaraksa Alas Mertajati (Brasti).

Hambatan terbesar dari perjuangan hutan adat ini justru datang dari Pemda Tingkat II yang sampai saat ini masih belum mau menandatangani peta wilayah adat MADT. Tetapi pendaftaran pada KLHK sudah dilakukan pada awal 2021 dengan persyaratan yang belum lengkap, yaitu tanpa tanda tangan bupati.

“Apakah saya anti investasi? Jelas tidak! Kalau mau berinvestasi kenapa harus di dalam kawasan yang jelas-jelas adalah kawasan suci dan penghasil jasa-jasa ekosistem? Kenapa tidak di luar kawasan saja!” ujar Kaweng tegas.

Pria yang pernah menjadi kepala desa adat Munduk ini juga kurang cocok dengan model pengembangan dan pengelolaan pariwisata Bali saat ini. Menurutnya, pariwisata yang awalnya adalah dampak atau bonus dari laku hidup dan budaya masyarakat bali sudah bergeser menjadikan pariwisata sebagai tujuan. Model pariwisata sebagai tujuan, membuat Bali hampir sepenuhnya sudah tergantung kepada pariwisata. Ketika pariwisata kolaps maka Balipun juga ikut kolaps. Hal itu sangat nyata pada saat terjadi pandemi beberapa waktu lalu.

“Dalam berbagai forum, saya selalu dengan lantang mengatakan bahwa industri pariwisata tidak ada bedanya dengan industri pertambangan yang destruktif. Kalau dalam industri pertambangan yang ditambang adalah mineral pemberian alam, maka dalam industri pariwisata yang ditambang adalah peradaban yang dibangun oleh komunitas selama ratusan tahun,” pungkas Kaweng.