Endis Setianto Meraih Sukses Berbisnis Kerajinan Tembaga dengan Modal Ketekunan

Jatuh bangun dalam kehidupan seseorang suatu hal yang biasa. Namun apa yang dialami oleh Endis Setianto, alumnus D3 Keuangan FNE angkatan tahun 2001, sungguh menarik dan layak dijadikan pembelajaran.

Seperti kebanyakan warga di tanah kelahiran Endis yaitu Tumang, Cepogo, Boyolali, keluarga Endis decara turun temurun juga mengalir darah pengrajin tembaga atau di sana biasa disebut kerajinan sayangan. Saat Endis kecil kakeknya terhitung pengusaha sayangan sukses. Kakeknya mempunyai 3 kios di pasar Cepogo, Ampel dan Sunggingan, Kota Boyolali. Namun sebuah peristiwa menyedihkan terjadi pada tahun 1985 ketika kakeknya kena tipu langganannya dan menjadi bangkrut. Ketiga kiosnya terpaksa dilepas.

Semenjak saat itu kehidupan Endis dan keluarganya yang awalnya serba kecukupan menjadi pas-pasan. Orang tuanya tidak punya modal lagi buat meneruskan usaha dagang kakeknya, dan untuk menghidupi keluarganya hanya mengandalkan hasil karyanya.

Maka ketika Endis lulus dari SMA Negeri 1 Boyolali pada tahun 1994, ia tidak dapat melanjutkan ke bangku kuliah karena ketiadaan biaya. Seperti pemuda-pemuda lain di desanya, ia bekerja menempa tembaga untuk kemudian disetor ke juragan di desanya.

Pekerjaan itu Endis tekuni sampai sekitar 3 tahun. Tahun 1997, dengan dalih ingin mencari pengalaman baru, dunia sayangan ia tinggalkan dan bekerja sebagai tenaga pemasaran sebuah perumahan di daerah Cepogo. Ia bekerja sepenuh hati, sampai ia rela jemput bola mendatangi konsumen potensialnya yaitu para guru ke tempat kerjanya.

Ketika tahun 1999 tugasnya sebagai marketing perumahan sudah berakhir, Endis kembali menekuni dunia kerja lamanya. Kali ini meningkat keahliannya dari sekedar menempa menjadi mengukir tembaga baik yang berujud kaligrafi maupun relief, dan menjual hasilnya ke para pedagang.

Dua tahun kemudian saat Endis sudah mulai mempunyai uang, tiba-tiba terbersit impian lamanya ingin melanjutkan studinya yang tertunda selama 7 tahun. Maka pada tahun 2001 ia mendaftar kuliah di Prodi D3 Keuangan FNE UGM dan diterima. Selama 3 tahun hingga wisuda tahun 2004, Endis benar-benar fokus pada studinya dan meninggalkan semua pekerjaannya.

Seusai diwisuda pada tahun 2004, Endis kebetulan mendapatkan buyer pertamanya, seorang importir dari Belanda. Sehingga cita-citanya untuk melanjutkan kuliahnya mengambil gelar S1 tertunda untuk sementara. Selama setahun ia fokus melayani pelanggannya tersebut. Dan pada tahun 2005 ketika kondisinya sudah mulai longgar, Endis melanjutkan studinya di program ekstensi FEB UGM Jurusan Akuntansi.

Begitu meraih gelar S1 pada tahun 2007, Endis kembali ke kampung halamannya dan mendirikan sebuah perusahaan bernama Endis Copper. Ia mencoba peruntungannya mencari buyer lewat website. Namun, nasib baik tidak berpihak kepadanya. Selama dua tahun berikutnya, usahanya stagnan. Bahkan beberapa kali ia nyaris kena tipu.

Di saat Endis sedang terpuruk, lagi-lagi cobaan lebih berat menimpanya. Tahun 2008, kekasih hatinya tiba-tiba tega meninggalkannya, yang membuatnya semakin terpuruk. Namun kegalauannya tidak berlangsung lama, awal tahun 2009 ia dikenalkan teman dengan cewek alumnus Geografi UGM angkatan 1999. Dan tak butuh waktu lama, sebulan kemudian tidak disangka wanita tersebut bersedia dinikahinya.

Menikah bukan berarti kebahagiaan Endis sudah sempurna karena bisnisnya masih stagnan. Akhir 2009 ada yang memberi informasi ada lowongan menjadi PNS di Pemkot Semarang. Atas seijin istrinya, ikutlah ia mendaftar namun tidak diterima, .

Hal itu membuat Endis benar-benar putus asa dan sudah mau menyerah. Namun, sebuah peristiwa tak terduga tiba-tiba menyadarkannya. Ia mendapat semacam pencerahan, yang mana membuatnya jadi bersemangat lagi. Ia akhirnya berkeputusan dalam melakukan suatu pekerjaan harus fokus. Maka ia dengan tekun tanpa kenal lelah mencoba mencari buyer lewat internet.

Rupanya, jargon ‘usaha tidak bakalan mengkhianati hasil’ benar-benar dialami Endis sendiri. Pada tahun 2010 ia tidak menyangka bisa bertemu buyer asal Jakarta yang memberinya kontrak besar, yaitu pengadaan meja tembaga dan kuningan untuk 700 kamar sebuah hotel di Bali. Itu adalah sebuah momentum luar biasa yang menjadi titik balik perubahan nasib Endis. Karena setelah itu usahanya berjalan lancar, buyernya semakin bertambah dari Jakarta, Semarang dan Bali.

Begitulah, sejak saat itu Endis mulai terangkat perekonomiannya. Apalagi ketika tahun 2016 ia mendapatkan buyer dari USA, volume penjualannya semakin meningkat tajam. Saat ini Endis hanya mempunyai 7 buyer reguler, 6 di dalam negeri dan 1 di USA. Namun volume pembeliannya sangat besar dan hampir semuanya rutin.

Jenis produk yang ditawarkan Endis makin lama makin banyak juga. Jika awal-awal dulu hanya beberapa macam, saat ini sangat bervariasi mulai dari ukiran kaligrafi / relief berbagai ukuran, wall decor, vas bunga, patung, meja, serta ornamen dan kubah masjid. Lalu juga berbagai macam lampu seperti lampu dinding, lampu taman dan lampu gantung.

Sejak awal Endis melakukan sendiri pekerjaannya, karena setiap pesanan semuanya dioutsourcingkan kepada beberapa perajin. Ia juga berusaha mandiri, tidak menggantungkan diri kepada pemerintah atau pihak lain. Ia menyebutkan nyaris tidak ada kendala yang berarti dalam pekerjaanya. Hanya kadangkala ada kesulitan bahan baku yang selama ini diimpor dari Cina, Itali dan Bulgaria. Lalu, ada juga permintaan buyer yang sangat sulit dituruti, seperti meminta kualitas yang setara dan presisi layaknya produk pabrikan. Namun semua kendala bisa diatasi Endis dengan baik.

Kini, selain berbisnis kerajinan tembaga sebagai pekerjaan utamanya, Endis juga mulai merintis berjualan tas-tas ramah lingkungan yang berbahan dasar enceng gondok, rotan, pelepah pisang, dan rumput laut. Ia mengambilnya tidak dari satu pedagang saja, tergantung apa yang diinginkan buyer. Namun sebagian besar bermerk Maeswara produk warga Kagama juga yang bernama Masruroh Sulistyowati, alumnus MM UGM batch 49 yang tinggal di Kulonprogo. Selain tas, ada juga produk lainnya dengan bahan baku yang sama, yaitu wall decor, tatakan gelas, dan tempat sampah. Endis mengatakan pasar untuk produk ramah lingkungan memang sangat terbuka untuk saat ini, seiring dengan kesadaran publik akan pentingnya menjaga lingkungan dari kerusakan.

Berdasar pengalaman hidupnya sendiri, Endis berpesan kepada teman-teman pelaku UMKM, baik yang sudah lama menjalani atau baru mengawali bisnisnya, “Jangan mudah menyerah meski tantangan yang dihadapi sungguh berat. Kita tetap harus fokus dan konsisten. Jika kita tekun, insya allah akan ada jalan keluar.”

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*