Oleh: Nyoman Sukma Arida *)
Vonis positif Covid itu kuterima pada tanggal 1 Juli 2021. Saat itu saya dan 12 orang rekan tim riset akan berangkat ke Labuhan Bajo. Karena ada aturan bahwa harus swab antigen, maka kami bersepakat tes bersama di kantor BCIC Tohpati. Sebenarnya kondisi badan saya sudah kurang fit. Tiga hari belakangan demam dan batuk ringan. Benar saja setelah diambil sampel dahak oleh petugas, saya dinyatakan positif.
Tanpa ada pilihan lain, saya melanjutkan tes PCR. Untuk lebih memastikan apakah betul-betul terinfeksi pilihannya hanya lewat PCR. Setelah diswab PCR dan diminta menunggu hasilnya, saya mendekati teman-teman tim untuk mencertakan kondisi yang terjadi. Kali ini tentu dengan kewaspadaan lebih. Saya tak boleh menulari mereka, batin saya. Sebagai ketua tim riset saya harus memelihara mental tim saya. Saya berikan sedikit arahan tentang kemungkinan besar saya tak bisa berangkat esok hari dan memberikan harapan agar tim tetap berangkat untuk mengadakan FGD di Labuhan Bajo keesokan harinya. Saya akan berusaha ikut dari rumah secara online. Saya pun pamit untuk beristirahat di rumah.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya memutar akal, mencari cara paling bijak menyampaikan berita ini kepada istri dan anak-anak. Agar semuanya tetap tenang dan tidak panik. Istri saya sedang melayat ke rumah mantan asisten RT kami, yang meninggal malam sebelumnya seusai menjalani operasi usus buntu. Sesampai rumah, saya minta ponakan agar menjemput tantenya di rumah duka, hanya 300 meter dari rumah saya.
Setelah istri sampai rumah, dari bale dauh saya berujar agar mereka berkumpul. Saya sampaikan secara halus kabar bahwa saya positif dan harus isoman di bale dauh. Beberapa detik semuanya terdiam, mungkin belum percaya. Tapi 5 detik kemudian kami bagaikan pasukan bodrek langsung beraksi menyiapkan segalanya. Kamar kami di bale dauh yang biasanya kosong dan hanya dipakai tempat menyeterika baju langsung saya bereskan; dipasang sprei, dikosongkan dari baju-baju yang lain. WC dalam juga saya sterilkan, yang biasanya dipakai ayah, saya minta beliau bergabung dulu memakai WC yang ada di luar agar saya bisa memakai sendiri kamar mandi dalam tersebut. Peralatan dapur saya juga kami pisahkan. Kami simulasikan agar bisa memakai dapur secara bergantian apabila istri saya kebetulan tak bisa hantarkan makanan saya. Semuanya kami persiapkan sebaik mungkin.
Sore itu saya dan istri pergi ke RS Klinik Mas di daerah pinggiran Ubud. Berdasar rekomendasi kakak ipar yang menjadi dokter di Bandung saya diarahkan konsultasi dengan seorang dokter spesialis paru di sana. Tanpa banyak hambatan saya dan istri bisa menemui dokter yang dimaksud, dan diberikan resep yang kami tebus di apotek RS setempat. Obat yang diberikan ada beberapa macam; pembasmi virus, multi vitamin, obat demam, dan beberapa jenis lainnya. Saya masih bisa menyetir pergi pulang saat itu. Kondisi tubuh masih fit, hanya ada demam sedikit.
Dua hari pertama menjalani isolasi mandiri (isoman) saya mengalami gangguan tidur cukup serius. Tidur satu jam terus terbangun. Malam kedua, saya mengalami ‘trance ringan’ menjelang lelap. Diawali dengan sensasi dingin di sekitar pusar lalu tubuh seperti bergerak sendiri dalam tarian berpola melingkar, hingga klimaksnya saya berteriak histeris. Semacam mengalami katarsis yg ujungnya memberi kelegaan. Saat itu anak dan istri yang tidur di rumah yang terpisah sampai terbangun. Saya tenangkan mereka, bahwa kejadian tadi berefek menenangkan saya. Saya ingat saat beberapa hari menjelang ujian tertutup doktoral di kamar kost di Pogung Lor, Jogja, November 2014, saya juga mengalami hal yang mirip.
Saya juga mengalami gangguan dengan pencecapan rasa makanan. Ada penurunan kadar rasa makanan sekitar 50%, bahkan mendekati rasa hambar. Kondisi ini agak membikin frustrasi. Terus terang saya hoby makan, dan itulah hiburan terbesar saya, setelah tidur dan membaca Kompas. Berkurangnya rasa makanan jelas membuat puyeng. Dalam kondisi demikian, hadirnya tongseng ayam nan lezat kiriman sobat saya Mas Rofiki Hasan, owner sekaligus manajer “Kubu Kopi”, sangat membantu membangkitkan selera makan saya. Saya juga dikirimi ramuan herbal Sehat Imunitas oleh kolega di kampus dengan bahan kapulaga, kayu manis, temu lawak, kunyit, sereh, daun jambu biji, gula aren, jeruk nipis, angco, dan gajiberry daun pandan. Rasanya agak manis dan menyegarkan. Saya minum dua gelas sehari. Asupannya masih saya tambah dengan madu hitam yang berasa agak pahit, buah-buahan segar sepeti jeruk, papaya, dan buah naga selalu disajikan oleh istri seusai makan berat.
Hari ketiga dan keempat isoman saya demam lagi diiringi batuk-batuk kering. Sangat mengganggu istirahat saya. Saya isi waktu dengan menonton stand up comedy dan film komedi. Lumayan membantu mengalihkan suasana hati. Bisa tertawa terbawa lawakan dari tayangan tersebut. Saya juga habiskan waktu dengan berjemur, berkebun, dan menyapu di halaman belakang rumah.
Ternyata saya menyimpan kecemasan diam-diam perihal status anggota keluarga saya yang lain. Dan itu terjawab saat mereka menjalani test antigen dari petugas Puskesmas hari Jumat, 3 Juli. Untunglah hasilnya negatif. Begitu juga Jro bendesa dan bendahara desa adat yang ikut tes karena sempat kontak erat dengan saya pada tanggal 30 Juni malam, hasil tes mereka negatif. Syukur mereka semuanya negatif Hati tambah plong saat hasil test PCR mereka pada tgl 6 Juli yang keluar tanggal 8 Juli hasilnya juga negatif.
Hari-hari berikutnya kondisi saya sudah lebih stabil. Saya mendapat informasi tentang layanan telekonseling Kagama dan saya join di dalamnya. Lumayan terbantu karena saya bisa membaca pengalaman penyintas lainnya dari seluruh Tanah Air. Merasa ada teman-teman sesama penyintas yang senasib sepenanggungan membuat rasa menerima dan motivasi sembuh jauh lebih kuat. Ada energi positif yang memancar dalam chat antara pasien dan para dokter dan petugas dalam grup tersebut. Saya juga mengikuti kelas yoga online Kagama pada hari minggu tanggal 11 Juli. Terhibur sekali dengan kehadiran Pak Ganjar Pranowo yang selalu menghibur para penyintas dengan pengalaman beliau yang lucu-lucu.
Sementara isi berita perihal kondisi Covid di tanah air terasa semakin horor. Saya berupaya untuk puasa mengkonsumsi berita, namun toh satu dua ‘lolos’ juga. Instinktive jurnalisme saya semacam sudah jadi gen bawaan yang sulit dienyahkan. Syukurnya saya bisa membatasi hanya membaca Kompas edisi cetak dan sesekali ‘mencuri lihat’ detiknews online. Hati terasa berdegup lebih kencang manakala menyimak berita makin meliuknya kasus Covid di Jawa dan hiruk pikuknya situasi PPKM di berbagai wilayah. Betul nasehat banyak pihak, saat isoman sangat bagus bila kita bisa puasa total membaca berita dari mana pun sumbernya. Saya juga berupaya menjaga agar pikiran selalu mengarah kepada hal-hal positif dan menggembirakan dengan berkelakar dengan teman-teman SMA dan kuliah di grup WA.
Hari-hari berikutnya manakala kondisi sudah jauh lebih stabil, saya sudah bisa mengikuti rapat kampus, menguji ujian tesis dan disertasi mahasiswa. Ternyata dengan menyibukkan diri malah membuat kondisi saya berangsur-angsur pulih seperti sediakala. Saya sangat terharu dengan perhatian dari para tetangga, kepala desa, pihak Satgas desa adat, teman-teman Kagama, teman-teman di kampus yang silih berganti memberi support lewat kiriman makanan, sembako, jamu, dll. Ada juga yang membantu memesankan alat oksimeter dan membantu mentransferkan pembayarannya. Maklum saya masih konservatif, belum memiliki e-banking. Dalam hati saya berjanji, setelah sembuh dari Covid akan melakukan sesuatu juga untuk mengalirkan energi kasih teman-teman tersebut. Saya sampaikan rencana tersebut kepada istri dan ia pun menyepakatinya.
Maka pada hari Senin 12 Juli, saya ‘kabur’ ke tempat test antigen di Singapadu yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari rumah. Ini karena memang layanan Puskesmas tidak menyediakan test antigen buat si pasien, hanya untuk anggota keluarga pasien dan yang pernah kontak erat. Saya bersyukur sekali karena hasil test tersebut negatif. Keluarga menyambut gembira mendengar hasil test tersebut namun kami komitmen untuk tetap isoman sampai tanggal 16 Juli.
Sorenya saya dan istri langsung mengemas 14 buah paket berisi beras, telor, mie instan, dan masker untuk kami bagikan kepada keluarga paling terdampak pandemi di banjar kami. Kami meminta tolong dua orang teman di banjar untuk membagikan paket tersebut kepada yang pantas menerimanya. Saya juga mencukur rambut hingga botak sebagai ekspresi menunaikan janji kepada diri sendiri setelah dinyatakan negatif Covid-19.
Pengalaman menjadi penyintas Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri sungguh menjadi pengalaman penuh makna selama hidup saya. Apalagi selama isoman saya merayakan dua hari istimewa saya yaitu otonan dan ulang tahun yang jatuh pada 8 dan 10 juli. Otonan itu semacam peringatan hari lahir ala Bali yang datang saban 210 hari sekali. Penghayatan saya terhadap hari penting itu menjadi jauh lebih bermakna dan transenden. Rasa syukur dan haru terasa lebih mendalam dari perayaan hari lahir sebelum-sebelumnya. Hatur nuhun Gusti.
*) Penulis adalah Dosen & Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan & Informasi Fak. Pariwisata Universitas Udayana Bali, dan Ketua Bidang III Bidang Litbang & Inovasi Kagama Pengda Bali
Bak disambar petir disiangbolong sambil melanjutkan lantunan kekawin(nyanyian suci pengiring ngaben) sore itu 1 juli 2021 membaca kabar wa group keluarga bahwa nyoman positip covid. Kebetulan saya yang tinggal di klunggkung melaksanakan ngaben masal. Tetan tenang batinku dan berdoa semoga keluarga bisa melewati semua cobaan ini dengan tetap tenang dan selalu mensyukuri segala cobaan dengan memohon doa kesembuhan buat adikku satu satunya ini