PP KAGAMA kembali menyelenggarakan webinar seri Presidensi G20 melalui Zoom Meetings, dengan judul “Pengembangan Ekonomi Kreatif dalam Mendukung Pariwisata”, Minggu (20/3/2023). Webinar menghadirkan 4 narasumber, yaitu Ir. Harlina Sulistyorini, M.Si., Prof. Dr. Jamianton Damanik, M.Si., Lukminto Wibowo, dan Mujimin, S.Sos. Sambutan dari Kagama disampaikan oleh Menteri Perhubungan & Wakil Ketua Umum I PP Kagama, Ir. Budi Karya Sumadi, dan Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Dr. H. Sandiaga Uno, BBA, MBA, hadir memberikan pidato kunci. Jalannya acara dipandu oleh Saka Kotamara, dan I Wayan Sukma Arida.
Narasumber pertama, Harlina Sulistyorini, Dirjen Pengembangan Ekonomi & Investasi Pedesaan, memaparkan upaya peningkatan perekonomian desa melalui pengembangan desa wisata. UU No 6 Tahun 2014 mengartikan desa adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Desa harus berdaya dalam menjalan kewenangannya, fokus pada penyelesaian permasalahan yang menghambat pencapaian kemandirian desa, sehingga terjadi percepataan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Program prioritas nasional sesuai kewenangan desa mendukung pengembangan desa wisata, yaitu lewat pengadaan pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana serta prasarana desa wisata. Juga lewat promosi desa diutamakan melalui gelar budaya dan berbasis digital, pelatihan pengelolaan desa wisata, pengelolaan desa wisata, kerja sama dengan pihak ketiga untuk investasi desa wisata, serta kegiatan pengembangan desa wisata lainnya yang sesuai dengan kewenangan desa yang diputuskan dalam musyawarah desa.
Harlina menambahkan, pengembangan desa harus berciri khas desa setempat, terintegrasi dengan pemukiman rakyat, pelayanan prima, dan berstandar internasional. Lalu semuanya itu harus melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Di antaranya lewat penguatan kapasitas organisasi pengeloa desa wisata, BUMD dan UMKM, mendorong perkembangan kepariwisataan desa dengan peningkatan kelengkapan sarpras / infrastruktur pendukung, serta pemberian bimtek sebagai bagian dari alih pengetahuan / teknologi (transfer knowledge).
Di akhir pemaparan, Harlina mengatakan ada banyak peluang dan tantangan desa wisata. Antusiasme desa wisata meningkat, hal ini ditunjukkan terus bertambahnya desa-desa yang mengembangkan potensi wisatanya. Lahirnya produk wisata mendorong bergeraknya ekonomi masyarakat dan mampu menyerap tenaga kerja serta menjadi trend baru sumber pendapatan asli daerah. N
amun naiknya geliat desa wisata masih terkendala, belum merata kunjungan wisatawan, hal ini disebabkan akses dan promosi yang kurang memadai. Untuk itu perlu pendampingan dalam peningkatan kapasitas pelaku wisata di desa dan pengembangan infrastruktur pendukung desa wisata, serta promosinya.
Narasumber kedua, Prof. Jamianton Damanik, Guru Besar Departemen Pembangunan Sosial & Kesejahteraan Fisipol UGM, memberikan materi berupa strategi pengembangan ekowisata pada masa kenormalan baru. Di saat pandemi ini secara global atau regional terjadi krisis pariwisata. Untuk tingkat ASEAN, negara kita termasuk kena dampak terburuk.
Meski ada pembatasan perjalanan, kebutuhan berwisata tidak akan pernah turun. Karena wisata adalah lifestyle, di mana kita tidak bisa terus-terusan mengurung diri di rumah. Selama masa new normal pencarian destinasi wisata alternatif terus berlangsung, salah satunya yang menarik atensi adalah apa yang disebut ekowisata. Ekowisata adalah bentuk pariwisata berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan yang fokus utamanya pada pengalaman dan belajar tentang alam, secara etis dikelola menjadi non-konsumtif, berorientasi lokal (kendali, keuntungan & skala) dan berkontribusi pada konservasi kawasan.
Prinsipnya adalah fokus kegiatan di alam bebas, berkontribusi pada konservasi, bersandar pada taman nasional & hutan lindung, profit bagi masyarakat lokal dalam jangka panjang, ada muatan pembelajaran, dampak negatifnya rendah, penerapan etika & tanggung jawab secara ketat, manajemen yang kuat & solid, berkelanjutan, bermuatan preservasi budaya, serta ada aktivitas penjelajahan.
Karakteristik ekowisata produknya unik, berbahan baku utama lokal, ramah lingkungan, sensitif budaya, berskala kecil (UMKM), dan kepemilikan lokal. Pasarnya untuk yang berminat khusus, kritis & berpendidikan atas, sensitif budaya, perorangan / grup kecil, experienced traveler, dan pengguna sosmed secara aktif. Aktivitasnya direncanakan dengan sangat baik, menghindari polusi & degradasi mutu lingkungan serta budaya, condong melestarikan & menikmati alam atau budaya secara intens, dan condong membayar lebih mahal.
Untuk Indonesia sendiri potensi atraksi ekowisatanya sungguh luar biasa. Dari sisi keragaman kita punya 50 Taman Nasional berbasis hutan tropis, biodiversitas yang amat kaya, 6 situs warisan dunia, 6 jaringan cagar biosfer dunia, dll. Artinya kalau kita berbicara tentang ekowisata, hal itulah yang menjadi modal dasar kita dalam menciptakan keunggulan dibanding negara lain.
Tren produk ekowisata saat ini berupa safari & cagar alam, berkarakter nir-limbah atau zero waste, transportasi hijau (kereta / mobil listrik), akomodasi hijau (energi terbarukan), menu makanan berbasis alam / organis, serta harus bersertifikat. Produknya harus bersentuhan dengan pemberdayaan perempuan, semisal pemesanan jasa wisata yang dikelola perempuan cenderung meningkat, wisatawan condong bekerja sama dengan membeli produk yang dihasilkan oleh perempuan, dan operator perjalanan juga condong memilih paket yang dirancang khusus untuk pemberdayaan perempuan.
Langkah strategis yang harus ditempuh adalah standardisasi produk ekowisata (unik, asli, lokal), meningkatkan permintaan pasar wisatawan ekowisata (segmented, high-end tourist), meningkatkan kapasitas ekowisata melalui diversifikasi layanan & bobot kualitasny, menyiapkan paket-paket wisata inovatif & adaptif dengan kebutuhan pasar yang dominan, serta mengintegrasikan standar Cleanliness – Health – Safety – Environment Sustainability (CHSE) ke seluruh mata rantai produk.
Implementasinya berupa pengembangan produk bermutu tinggi dan berdurasi panjang (sustainable), utamakan keunikan agar mampu menjadi unggul & berdaya saing tinggi, pastikan kandungan kelestarian SDA dominan dalam seluruh mata rantai produk, serta pastikan identitas lokal & daya dukung terjamin.
Sedangkan pengembangan pemasaran dan promosinya, membidik target ‘pasar gemuk’ buat kalangan gen milenial, memprioritaskan digital marketing, environmental friendly value sebagai muatan utama media promosi, serta tidak menjual produk dengan harga murah namun quality experience sebagai menu unggulan.
“Untuk partisipasi masyarakat lokal, pastikan masyarakat ambil bagian secara proporsional dalam seluruh manajemen destinasi ekowisata, bahan baku & tenaga kerja lokal terakomodasi dalam input pengembangan ekowisata, serta peningkatan secara signifikan kesejahteraan masyarakat & kelestarian alam di kawasan ekowisata,” pungkas Prof. Damanik.
Narasumber ketiga, Lukminto Wibowo, Direktur Bisnis Harian Kompas, mengatakan dampak Covid-19 menghantam ke semua sektor termasuk pariwisata. Ia menekankan sebuah event berperan sangat penting dalam mengangkat industri pariwisata, karena akan berdampak pada ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam menggarap event, konsepnya harus diperhatikan benar-benar. Tetapkan misi, visi dan alasannya, Tentukan tujuan event dan tema event untuk mengetahui Key Performance Individu. Kemudian jalankan event sebaik mungkin.
Untuk komunikasi event, tentukan strateginya yang meliputi narasi event, promosi, serta komunikasinya. Ciptakan komunikasi melalui sosial media sesering mungkin, dan gandeng media mainstrean. Lalu, buatlah mitos atau narasi jurnalistik.
Diharapkan event akan berdampak kepada sosial, budaya dan ekonomi. Di antaranya kesadaran masyarakat menerima tamu wisatawan / pendatang, kenaikan pertumbuhan UMKM, inklusi keuangan, tumbuhnya peredaran uang di masyarakat, pertumbuhan ekonomi di sekitar tempat pariwisata, dsb.
Narasumber terakhir, Mujimin yang merupakan pengelola Desa Wisata Sambirejo (Dewi Sambi) Sleman, menjelaskan pengembangan ekonomi kreatif dalam mendukung pariwisata, dengan studi kasus desa wisata yang dikelolanya. Dewi Sambi mulai dikelola dengan sungguh-sungguh sejak tahun 2015. Sebelumnya di Sambirejo dikenal sebagai desa miskin yang tidak ada pemberdayaan masyarakat.
Mujimin menjelaskan di desa wisata harus ada daya tarik wisatanya, yaitu kegiatan yang memiliki keunikan, keindahan dari alam maupun budaya yang dimiliki masyarakat yang menarik bagi kunjungan wisawatan. Ragam daya tarik yang dimiliki Dewi Sambi antara lain Tebing Breksi, Watu Payung, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Miri, Arco Gupolo, dll.
Dewi Sambi menyediakan paket wisata berupa paket camping, campervan, dan jip wisata, serta edukasi studi desa. Agar menarik pengunjung menampilkan gelar pentas budaya, fasilitas outbond, jalur tracking, photobooth, dan venue jogging.
Agar semakin menarik lebih banyak jumlah pengunjung, Mujimin dkk telah banyak melakukan terobosan. Di antaranya adalah mengkreasi batik berciri khas Dewi Sambi yang bisa menjadi souvenir andalan buat wisatawan. Pengaruh positifnya tentu saja membuka peluang kerja atau usaha baru bagi warga lokal.
Pada akhir pemaparan Mujimin mengatakan harus ada strategi yang bisa ‘menahan’ wisatawan agar mau berlama-lama di lokasi wisata dengan berbagai kegiatan atau atraksi yang ada. Jadi pengunjung bukan hanya datang hanya sekedar melihat-lihat keindahan tempat wisata, namun juga ikut beraktifitas dan juga membeli produk-produk yang dijajakan. Untuk memfasilitasi wisatawan yang menginap, sudah dipersiapkan banyak homestay di daerah Sambirejo dan sekitarnya.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: