Program Makan Bergizi Gratis Perlu Evaluasi Menyeluruh: Seruan Akademisi UGM atas Tata Kelola dan Keamanan Pangan

Program Makan Bergizi Gratis Perlu Evaluasi Menyeluruh: Seruan Akademisi UGM atas Tata Kelola dan Keamanan Pangan

YOGYAKARTA — Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digagas sebagai solusi atas masalah gizi dan stunting anak Indonesia, kini menghadapi sorotan tajam dari kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam webinar bertajuk “Keracunan Pangan dalam Program MBG: Tata Kelola dan Akuntabilitas dalam Perspektif Hukum, Sosial, dan Ekonomi” yang digelar Sabtu (25/10), para pakar lintas disiplin menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola program ini.

Webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM bersama Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FK-KMK UGM, KAGAMA, dan Komunitas Sambatan Jogja (SONJO) ini merupakan kelanjutan dari diskusi sebelumnya yang menyoroti titik-titik kritis dalam pelaksanaan MBG.

Niat Baik Tak Cukup Tanpa Tata Kelola yang Kuat

Dr. dr. Citra Indriani, MPH., Direktur PKT UGM, menegaskan bahwa MBG bukan sekadar soal nutrisi, tetapi menyangkut sistem yang kompleks. “Mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi, hingga tanggung jawab ketika terjadi masalah, semua harus dikelola dengan akuntabel,” ujarnya.

Dari aspek hukum, Sri Wiyanti Eddyono, Ph.D., dosen Fakultas Hukum UGM, menyoroti belum adanya mekanisme pemulihan atau kompensasi bagi korban keracunan pangan. Ia menyebut gugatan perdata dan proses pidana harus menjadi opsi hukum yang tersedia, terutama jika kelalaian menyebabkan korban jiwa.

Sementara dari perspektif ekonomi, Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., menilai kasus keracunan pangan sebagai bentuk governance failure. Ia menyarankan agar Indonesia belajar dari praktik terbaik negara lain sebelum menjalankan program berskala nasional.

Desentralisasi dan Prioritas Wilayah Tertinggal

Guru Besar FEB UGM, Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A., menekankan pentingnya pendekatan desentralistik. “Wilayah tertinggal dan kantong kemiskinan harus jadi prioritas. Sekolah dan pesantren yang sudah punya dapur bisa diberi dana langsung agar lebih efisien dan aman,” ujarnya. Ia juga mengingatkan agar anggaran pendidikan tidak terserap habis untuk MBG, sehingga sektor lain seperti infrastruktur dan mutu pendidikan tetap terjaga.

KAGAMA: Dari Statistik ke Kesadaran Kolektif

KAGAMA, melalui Ketua Departemen Dukungan Kesehatan Keluarga, Prof. Dr. Ika Puspita Sari, menekankan pentingnya kewaspadaan dan kolaborasi lintas sektor untuk mencegah kejadian serupa terulang. Ia menyampaikan keprihatinan atas kasus keracunan yang bahkan menimpa guru dan siswa, seraya mengajak semua pihak untuk turut mengawal program ini. “Tugas kita bukan hanya untuk Jogja, tetapi untuk negara dan bangsa kita di Indonesia,” tegasnya. Prof. Ika juga menggarisbawahi pentingnya tata kelola, akuntabilitas, dan mitigasi risiko dalam pelaksanaan MBG, agar generasi penerus tidak lagi menjadi korban. Ia menutup sambutan dengan harapan agar webinar ini menghasilkan rekomendasi nyata demi keberlanjutan program yang sehat dan aman.

Forum ini juga menyoroti pentingnya penerapan standar internasional seperti HACCP dan kepemilikan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) oleh semua penyedia makanan MBG. Titik kegagalan paling kritis, menurut kajian PKT UGM, terjadi pada proses pemasakan dan distribusi makanan yang tidak memenuhi standar suhu dan waktu penyajian.

Seruan Bersama untuk Perbaikan Sistemik

Menutup diskusi yang dimoderatori oleh Rimawan Pradiptyo, Ph.D., para narasumber sepakat bahwa MBG adalah program dengan niat baik yang patut dipertahankan. Namun, tanpa tata kelola yang transparan, pelaksanaan yang desentralistik, dan perlindungan hukum yang kuat, program ini berisiko menimbulkan lebih banyak masalah daripada manfaat.