Pada perhelatan Nitilaku tahun ini untuk pertama kalinya diperkenalkan sebuah acara penghargaan berjudul “Alumni Mengabdi Award”, yang penyerahannya dilakukan pada acara Malam Alumni di Gedung Grha Sabha Pramana, Sabtu (17/12/2022). Ada lima alumni yang pengabdiannya kepada masyarakat sangat menginspirasi yang terpilih memperoleh penghargaan. Salah satu di antaranya adalah Lita Anggraini, mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol UGM, angkatan 1988.
Sejak kuliah, Lita sudah menekuni isu perempuan. Tidak hanya mendalami teori gerakan perempuan, tetapi juga praktik membela perempuan. Bersama kawan-kawannya, dia mendirikan organisasi non pemerintah ‘Cut Nyak Dien Yogyakarta’ untuk mengadvokasi perempuan.
Selepas kuliah, Lita memutuskan untuk memilih isu spesifik dalam mengadvokasi perempuan. Ia mengambil jalan sepi dukungan, yakni membela perempuan pekerja rumah tangga atau PRT. Menurut Lita, perempuan PRT adalah salah satu kelompok paling rentan mengalami ketidakadilan, kekerasan, dan pelecehan.
“Membela PRT itu tantangan besar. Ada konflik kepentingan semua orang, karena keluarga kita mempekerjakan PRT,” katanya.
Tidak heran, meski kita semua tahu bahwa PRT dibayar murah, isu perlindungan PRT tak dianggap pemerintah, bahkan nyaris tak dapat dukungan masyarakat. Padahal menurut ILO, jumlah PRT di Indonesia mencapai 3-4 juta orang.
Pada 2004 Lita mengajak organisasi perempuan pemerintah maupun non pemerintah untuk membentuk Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Lita menyediakan diri menjadi koordinator. Sejak itu kegiatan advokasi PRT lebih bergema dan tertata.
Jala PRT mengawali advokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Lita dkk menginisiasi pembentukan peraturan daerah tentang PRT. Sejumlah diskusi, aksi, dan lobi digelar, tetapi hasilnya tidak sebagaimana diharapkan. Namun tidak ada kerja keras yang sia-sia. Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X kemudian mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga pada 1 Oktober 2010.
Jala PRT lalu bergerak ke tingkat nasional. Kenapa harus diperjuangkan di Jakarta? Pertama, perlindungan PRT adalah masalah nasional; kedua, jaminan perlindungan itu harus dalam bentuk undang-undang. Maka dimulailah advokasi pembentukan undang-undang tentang perlindungan PRT.
Sudah tak terhitung jumlahnya Jala PRT melakukan diskusi, aksi, dan lobi untuk memasukkan RUU Perlindungan PRT ke program legislasi nasional. Baru pada 2009, usaha itu berhasil. Tetapi masih perlu waktu dua tahun agar DPR mau membahasnya. Namun hingga kini RUU tersebut tak kunjung dibawa ke Sidang Paripurna DPR untuk diketok sebagai RUU inisiatif DPR. Sebagian fraksi menolak penggunaan UMR yang ada dalam RUU tersebut. Perjuangan Lita dkk untuk melindungi hak-hak PRT melalui undang-undang masih panjang.
Advokasi kebijakan memang salah satu jalan utama untuk melindungi hak-hak PRT. Namun sebelum undang-undang itu terwujud kasus-kasus kekerasan terhadap PRT datang silih berganti tiada henti. Tentu saja Lita tidak bisa berdiam diri. Di tengah kesibukan memperjuangkan RUU Perlindungan PRT, saban hari Lita berjibaku membela perempuan PRT yang jadi korban kekerasan.
Terhitung sejak 2012, Jala PRT telah menangani 400 lebih kasus kekerasan terhadap PRT dari ribuan kasus yang tidak tercatat. Dari 400 kasus yang mereka tangani, 90 persen berhenti di kepolisian. Lainnya sampai pengadilan, tapi putusannya sangat ringan, sehingga pelaku tidak jera.
“Benar-benar dibutuhkan totalitas untuk melindungi hak-hak PRT,” pungkas Lita.