Kagama Lintas Disiplin Ilmu Ikuti Workshop Penanganan Bencana Gunung Api di Jepang

Tiga warga Kagama lintas disiplin ilmu, yaitu Sukma Arida (Geografi 1995 – Wadek 1 Fakultas Pariwisata Unud), Wiwit Suryanto (MIPA 1994 – Wadek 1 FMIPA UGM), dan Rizky Tri Septian (HI 2008 – BNPB), yang tergabung dalam komunitas relawan lereng Gunung Agung Bali, melakukan kunjungan ke Provinsi Yamanashi, Jepang pada tanggal 10-20 Juni 2023. Salah satu agenda utamanya adalah mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh Mount Fuji Research Institute (MFRI) di lereng Gunung Fuji. Turut bergabung dengan mereka 2 orang anggota komunitas, yaitu Ketua Pasebaya Agung, Gede Pawana, dan Jennifer Sarah (Koordinator Tim MFRI Indonesia).

Workshop berlangsung Rabu (14/6/2023), menghadirkan narasumber secara on line  dan offline. Dua narasumber memberikan materi secara online yakni Deputi Sistem dan Strategi BNPB, Dr. Raditya Jati dan Kepala pelaksana BPBD Karangasem, Ida Bagus Ketut Arimbawa. Sementara dua orang lainnya hadir secara langsung di Yamanashi. Workshop “Penanganan Bencana Gunung Api” merupakan bagian dari proyek yang dibiayai oleh JICA Japan. Kegiatan ini juga merupakan implementasi MoU pihak Unud, yang dimandatkan kepada Fakultas Pariwisata, dengan MFRI yang telah ditandatangani tahun 2022. Saat itu pihak MFRI sempat melakukan audiensi dengan Rektor Unud.

Presiden MFRI, Prof. Fujii Toshitsugu menekankan pentingnya saling belajar antara dua negara, Indonesia dan Jepang terkait penanganan erupsi dan mitigasi bencana gunung api, “Ke depan kerja sama ini harus diperkuat lagi pada hal-hal yang lebih strategis,” ucap Prof. Fujii saat memberikan kata sambutan.

Project Manager dari MFRI, Dr. Mitsuhiro Yoshimoto, mengharapkan agar kegiatan ini bisa menjadi ajang saling belajar antara masyarakat Yamanashi, Jepang dengan Kabupaten Karangasem, Bali dalam melakukan mitigasi benca erupsi. Masyarakat sekitar Gunung Fuji harus belajar banyak kepada masyarakat Karangasem karena mereka selama 300-an tahun belum pernah mengalami peristiwa erupsi. Dr. Yoshimoto juga menyampaikan bahwa sebelum workshop, proyek tersebut juga telah melakukan beberapa pelatihan dan workshop di dua sasaran, yaitu beberapa sekolah SD di kecamatan Rendang dan warga Desa Besakih.

Deputi Sistem dan Strategi BNPB, Dr. Raditya Jati, dalam paparannya yang berjudul “Penanganan Erupsi Gunung Agung 2017”, menyampaikan bahwa kerja sama yang terjalin antara pemerintah dan warga di sekitar Gunung Fuji dan Gunung Agung memiliki arti strategis dalam upaya saling belajar mitigasi erupsi gunung api di kedua negara. Letusan Gunung Agung tahun 2017 memang tidak sedahsyat letusan tahun 1963, namun keberhasilan penanganannya pada tanggal 11 November 2017 menunjukkan bahwa dampak letusan terhadap warga relatif dapat tertangani dengan baik karena penggunaan teknologi dan kesigapan masyarakat di sekitar lereng Gunung Agung yang bahu-membahu membantu para pengungsi. Pengungsi gunung api di Bali dan Indonesia pada umumnya memiliki karakter yang unik, yakni para kepala keluarga  berada di pengungsian hanya pada malam hari, sementara siangnya mereka kembali ke desanya untuk memberikan makan ternak-ternak mereka.

“Hal yang khas dalam erupsi Agung tahun 2017 adalah banyaknya hoax yang beredar yang mengedarkan pesan bahwa gunung Agung akan segera erupsi skala besar. Berita hoax ini menyebar bahkan hingga ke tingkat global sehingga menyebabkan turunnya kedatangan wisatawan ke Bali. Demikian juga wisatawan yang akan datang ke Bali perlu diberikan pemahaman bahwa pada saat sebelum erupsi tidak semua wilayah masuk dalam zone bahaya, sehingga sebetulnya masih aman untuk dikunjungi,” pungkas Raditya.

Sementara pemimpin proyek AGAA (Astungkara Gunung Agung Aman), Dr. Wiwit Suryanto yang merupakan peneliti vulkanologi dari Program Studi Geofisika Fakultas MIPA UGM, memberikan penekanan pada soal penguatan materi vulkanologi kepada masyarakat. Seringkali karena ketidakpahaman warga terkait tingkat kerawanan wilayahnya sehingga memunculkan kepanikan pada saat kejadian erupsi. Misalnya, saat terjadi gempa bumi sekaligus erupsi Merapi tahun 2006 di Jogja secara simultan, warga di bagian selatan lari ke arah utara karena mengkhawatirkan kejadian tsunami seperti di Aceh tahun 2004. Sementara warga di sebelah utara di lereng gunung merapi berlari kearah selatan dan menimbulkan kesimpangsiuran informasi.

“Demikian juga saat erupsi Gunung Agung, wisatawan banyak yang kembali ke negaranya padahal berada pada daerah wisata yang sebenarnya masih aman untuk ditinggali karena ada pada radius aman,” ungkap doktor lulusan Jerman tersebut.

GIliran berikutnya, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Karangsem menjelaskan bahwa di samping memiliki berbagai potensi SDA dan pariwisata Kabupaten Karangasem juga memiliki banyak ancaman bencana, terutama ancaman erupsi Gunung Agung, tanah longsor dan kekeringan. Kondisi ini menuntut warga masyarakat Karangasem untuk memiliki kewaspadaan yang tinggi dalam mengantisipasi bencana alam.

Sementara itu Ketua Pasebaya Agung, Dr. (cand) I Gede Pawana, S.Ag., M.Phil membabarkan perihal pengalaman Forum Pasebaya agung pada saat menangani erupsi Gunung Agung. Menurutnya ada tiga faktor yang membuat keberhasilan penanganan pengungsi saat erupsi yang terjadi tahun 2017, yaitu penguatan komunitas, kejelasan informasi, dan ketaatan masyarakat terhadap arahan dari pemerintah.

Tampil sebagai pembicara terakhir, Nyoman Sukma Arida membahas tentang peluang pariwisata sebagai medium penyampaian pesan-pesan mitigasi. Ia mengemukakan bahwa di kawasan lereng Gunung Agung penting untuk memperkuat pengembangan destinasi wisata yang memberikan wawasan kegunungapian dan mitigasi kepada warga lokal dan wisatawan.

“Desa wisata bisa memperkuat  brandingnya dengan mengemas paket wisata ekowisata khususnya berbasis vulkanologi. Muatan pesan mitigasi bisa menjadi salah satu alternatif untuk memperkaya story telling desa wisata,” ungkapnya.

Seusai workshop, Sukma Arida menjelaskan selain mengikuti workshop sekaligus menjadi narasumber, tim berkesempatan melakukan kunjungan ke stasiun 5 pendakian Gunung Fuji untuk mempelajari secara detail dan pengelolaan wisata pendakiannya. Selain itu tim mitra MFRI juga berkesempatan mengunjungi kantor Japan Meterological Agency (JMA) di Tokyo.

Sukma Arida menambahkan, wisata Gunung Fuji dikenal merupakan wisata pendakian gunung yang sangat populer dengan jumlah pengunjung sekitar 5.000 orang pada saat bulan padat pengunjung, meskipun hanya dibuka selama tiga bulan selama setahun, yakni bulan Juni, Juli, dan Agustus. Pihak pengelola memberlakukan aturan yang sangat ketat terkait perilaku pengunjung selama melakukan pendakian. Wisatawan tidak diperkenankan mendirikan tenda, membuat api unggun dan membuang sampah sembarangan. Para pendaki juga diwajibkan menggunakan guide yang sudah disediakan untuk menjamin keselamatan para pendaki.

“Apa yang telah berkembang di Gunung Fuji bisa ditiru polanya, agar wisata pendakian di Gunung Agung juga dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat lokal sekitarnya,” pungkas Sukma Arida.