Sabtu (23/4/2022), PP KAGAMA kembali menggelar webinar serial Inspirasi KAGAMA melalui Zoom Meeting. Pada seri ke-18 kali ini mengangkat tema bagaimana mendapatkan keuntungan dari budidaya ayam kampung. Webinar menghadirkan 3 narasumber, yaitu pengusaha ayam drh. Teguh Budi Wibowo, Sekjen PB-ISPI Ir. Joko Susilo, S.Pt., IPM, dan owner gudeg manggar ‘Luweng Kayu’ Rintania Nuryaningsih,ST, M.Eng. Sambutan dari panitia disampaikan oleh Kordep Pemberdayaan Masyarakat Bidang VI PP Kagama, Dr. dr. Cahyono Hadi, Sp. OG (K), dan sambutan dari PP Kagama oleh Wasekjen VI PP Kagama, Sulastama Raharja. Jalannya acara dipandu oleh Ir. Galuh Adi Insani dan Vita Krisnadewi.
Narasumber pertama, Teguh Budi Wibowo, mengatakan ayam kampung sebenanya adalah ayam premium. Keunggulannya, dagingnya enak dan harganya mahal. Dagingnya baik dari tekstur, perlemakan, sampai rasan dan aromanya lebih baik daripada ayam ras. Sangat cocok dengan kebanyakan masakan Indonesia, seperti ayam goreng, ayam bakar, dll.
Ayam kampung relatif mudah dipelihara. Kebutuhan kandang tidak terlalu luas lahannya. Dari segi pakan, perawatan, dan penjualan juga tidak sulit. Jumlah yang dipelihara bebas, bisa sedikit bisa banyak.
Meski banyak keunggulannya, namun Teguh mengingatkan kelemahannya juga tidak sedikit. Yang pertama, pemeliharaannya umumnya masih secara tradisional, dan sulit untuk dibikin modern.
Kedua, DOC-nya tidak seragam. Ada 5 grade yaitu kecil, agak kecil, normal, agak besar, dan besar. Belum banyak breeding ayam kampung, sehingga sulit untuk membuat peternakannya secara komersial. Lalu ada ketidakseragaman warna bulu, bobot badan, dan juga paruh, sehingga mempengaruhi kualitas serta kuantitas pada saat panen nanti.
Ketiga, Feed Conversion Ratio (FCR) atau banyaknya pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan ayam bobot 1 kg sangat tinggi. Karena genetiknya masih alami, membuatnya membutuhkan waktu pertumbuhan yang cukup lama, sehingga membutuhkan pakan yang banyak.
Keempat, masalah health control. Ayam kampung belum punya daya dukung secara industri, sehingga ketersediaan vaksin dan obat-obatan di pasaran masih terbatas. Lalu, umumnya kita memelihara ayam kampung dengan jarak umur yang sangat bervariasi atau multi age. Akibatnya lebih sulit mengontrol kesehatan ayam, yang mana ada penyakit yang menyerang hanya ayam muda atau ayam tua saja.
Terakhir, waktu pemeliharaanya relatif lama. Waktu panennya lambat. Untuk mendapatkan bobot 0,9 – 1,1 kg membutuhkan waktu 90 hari. Jadi jika kita ingin panen setiap minggu, diperlukan banyak flok dan kandang.
Di akhir pemaparan Teguh menyimpulkan, memelihara ayam kampung tidak mudah, diperlukan ketekunan dan kesungguhan. Skala usaha mempengaruhi pendapatan. Meski harganya relatif mahal, namun tetap ada pasarnya, karena ayam kampung menjadi primadona bagi mereka yang punya uang dan penikmat cita rasa enak.
Narasumber kedua, Ir. Joko Susilo, mengatakan sebenarnya potensi ayam kampung di Indonesia sungguh sangat besar. Untuk itu kita memerlukan kemandirian bibit. Caranya mengoptimalkan bibit-bibit ayam yang asli khas Indonesia, seperti ayam kedu, ayam sentul, ayam nunukan, dll. Baik pemerintah maupun perguruan tinggi harus mendorongnya agar dihasilkan bibit-bibit yang benar-benar berkualitas bagus, adaptable dengan lingkungan, dan yang lebih penting harga DOC serta produknya bisa terjangkau.
Joko menambahkan, harus diakui kita kreatif dalam persilangan. Namun jika regulasi dari pemerintah tidak jelas, serta tidak ada perlindungan terhadap genetisnya, maka akan terjadi proses persilangan yang tidak benar. Persilangan atau breeding tidak bisa asal-asalan. Butuh waktu panjang untuk melihat kualitas indukannya, agar tercipta hasil akhir yang bagus.
“Jika ada pemakluman pada DOC yang seolah-olah ayam lokal padahal berasal dari indukan ayam petelur komersial, justru dapat mematikan usaha pembibitan yang benar-benar memurnikan ayam lokal asli Indonesia,” pungkas Joko.
Narasumber terakhir, Rintania Nuryaningsih, bercerita tentang bisnis kulinernya yang berbahan baku ayam kampung. Menu andalannya gudeg manggar, namun tersedia pula beberapa macam produk, seperti ingkung, rica-rica ayam, ayam kremes, garang asem, dll.
Rintania mengatakan ayam kampung punya keunggulan sekaligus kekurangannya. Keunggulannya, lebih gurih & lezat, lebih sehat, dan banyak menu tradisional yang menggunakan ayam kampung. Kekurangannya, daging alot / keras, harga lebih mahal tentu saja, dan ketersediaan saat peak season seperti lebaran menjadi terbatas.
“Olahan ayam kampung kami di ‘Luweng Kayu’ banyak keunggulannya, seperti tanpa pengawet, menu serta citarasa variatif, frozen pack kemasan vakum, dan di masak menggunakan tungku kayu,” demikian Rintania mengakhiri paparannya.