Economic of Scale

Oleh: Donnie Ahmad

Pelaku bisnis punya dua cara untuk mengambil untung. Yang pertama dengan mengambil untung setinggi-tingginya dengan menawarkan eksklusivitas. Yang kedua cukup puas dengan margin yang sangat tipis tapi mencoba mengeksploitasi ceruk pasar yang sangat luas.

Contoh pebisnis yang mengkapitalisasi ekslusivitas adalah perusahaan Rolls Royce. Perusahaan itu membuat satu tipe mobil Rolls Royce Boat Tail atas permintaan 3 pelanggan saja. Mobil yang inspirasi desainnya berasal dari desain perahu (sehingga diberi nama Boat tail) dibanderol harga 20 juta poundsterling. Setara dengan 404,5 milyar apabila dikurskan dengan rupiah dan menjadi mobil paling mahal yang pernah dibuat saat ini. Pembeli boleh memilih bahan apapun yang diinginkan, mendesain pernik-pernik di mobil (bahkan ada yang meminta jam khusus yang dibuat perusahaan Swiss, karena pembeli juga merupakan pandemen horologi), selama desain utamanya masih berbentuk Boat Tail. Rolls Royce sangat membanggakan lini produk ini.

Tapi tentu saja itu bukan monopoli Rolls Royce, pembuat super car lain juga sering membuat edisi terbatas untuk seri mobilnya. Pun fabrikan merek ekslusif yang memang mensasar pasar 1% tetapi dengan uang yang tak terbatas.

Di ekstrim yang lain ada bisnis model yang mengambil keuntungan sangat tipis. Bahkan hanya mendapatkan keuntungan sekian sen saja per produk yang dijual, tetapi mereka mengeksploitasi pangsa pasar yang luar biasa besar. Contoh dari bisnis model ini adalah Google dengan androidnya. Keuntungan yang didapat dari satu transaksi jasanya hanya bernilai sekian sen dolar. Tetapi dengan pangsa pasar 2,8 miliar pengguna android ditahun 2021 (https://bit.ly/3x8z70V), dikalikan dengan sekian kali transaksi (termasuk berapa kali sebuah video youtube dilihat), maka hasilnya adalah kue keuntungan yang juga sangat-sangat gurih. Bahkan market cap induk perusahaan Google Alphabet jauh lebih besar dari market cap Roll Royce (USD 1.6 triliun vs 12,1 miliar) (https://bit.ly/3fYs456).

Dan ternyata hal yang sama berlaku untuk penyakit yang berpotensi epidemik. Ada penyakit yang mempunyai tingkat fatalitas tinggi dengan pangsa pasar yang kecil vs tingkat fatalitas rendah dengan pangsa pasar yang sangat luas.

Ebola, adalah penyakit yang sangat menular dengan angka fatalitas kasus yang sangat tinggi. Penularan Ebola terjadi hanya dengan seseorang kontak dengan cairan tubuh penderita. Rerata angka fatalitas kasus adalah 50% dengan rentang antara 20%-90%. Sebelum epidemi terakhir Ebola yang terjadi di Afrika Barat pada tahun 2013-2016. Ebola seperti Jailangkung. Datang tanpa diundang dan pergi tanpa diantar. Tiba-tiba terjadi outbreak dan tidak berapa lama outbreaknya menghilang dengan sendirinya. Karena 90% orang di desa yang terkena mati akibat outbreak itu.

Epidemi terakhir Ebola merupakan epidemi terbesar Ebola yang pernah terjadi. Ebola dijadikan PHEIC (Public Health Threat of International Concern) oleh WHO, karena kemungkinan terjadinya pandemi ketika ada 3,1 miliar penduduk dunia melakukan mobilitas dengan menggunakan pesawat udara pada tahun 2013. Dan ada lebih kurang 100 ribu penerbangan global yang terjadi per harinya.

Toh dengan risiko penularan yang tinggi, dengan tingkat mobilitas global yang sama tingginya, serta epidemi yang terjadi selama 3 tahun, Ebola hanya menyerang 3 Negara (Guinea, Liberia dan Sierra Leone) saja. Salah satu penyebabnya adalah karena orang yang terinfeksi segera jatuh sakit parah dan kemudian meninggal. Di akhir epidemi, tercatat ada 28,616 kasus Ebola terkonfirmasi dengan jumlah kematian sebanyak 11.310 saja(https://bit.ly/3g1cZQ4).

Fast forward ke tahun 2020-2021. Kita mengalami pandemi Covid 19. Penyakit yang sama-sama tinggi tingkat penularannya, tetapi dengan angka fatalitas yang jauh lebih rendah (rerata angka fatalitas global sebesar 1%). Bahkan 70-80% kasus terkonfirmasi tidak bergejala atau bergejala ringan saja. Tetapi ketika Ebola membutuhkan waktu 3 tahun untuk menginfeksi 28 ribu orang. Covid 19 membutuhkan waktu 1 tahun saja untuk menginfeksi 174 juta penduduk dunia, dengan jumlah kematian lebih dari 3.7 juta.

Bahkan total jumlah kematian Ebola di tiga negara tersebut selama TIGA TAHUN dapat dicapai di India pada bulan April hanya dalam waktu TIGA HARI saja. Ketika jumlah rata-rata kematian harian adalah 4000 kasus.

Pada akhirnya market cap jumlah kasus dan jumlah kematian karena Covid 19 jauh lebih besar dibandingkan dengan Ebola. Hali ini terjadi justru karena tingkat keparahan penyakit dan kematian karena Covid 19 jauh lebih rendah dibanding Ebola. Dan ini menyebabkan orang yang terinfeksi masih dengan leluasa menularkan ke banyak orang lainnya.

In the of the day, 50% orang terkena Ebola dan 99% orang terkena Covid 19 akan sembuh dari penyakitnya. Tapi jangan tertipu dengan keindahan angka statistik Covid 19 tersebut. Karena dibalik angka statistik yang lebih ramah, Covid 19 menimbulkan penderitaan yang jauh lebih mengerikan dan meluas dibandingkan penyakit yang jauh lebih mematikan. Itu semua karena prinsip ECONOMIC OF SCALE.

Dan jangan pula menuduh bahwa orang mati akibat Covid 19 karena dirumah-sakitkan. Karena kejadian di India membuktikan jumlah kematian meningkat tinggi ketika rumah sakit tidak mampu lagi menerima pasien yang harus dirawat.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*