Oleh: Yudah Prakoso R.
Bertempat di Gedung Soegondo lantai 7 FIB UGM, Keluarga Alumni Sejarah Gadjah Mada (KASAGAMA) menggelar reuni lintas angkatan sekaligus kongres, Sabtu (17/9/2022). Reuni dimaksudkan untuk merajut kembali kebersamaan sesama alumni Jurusan Sejarah FIB UGM dan ke depannya mencoba memetakan peran alumni dalam pengabdian masyarakat.
Ketua Panitia Reuni dan Kongres, Wahjudi Djaja, dalam kata sambutannya mengatakan tema yang diangkat adalah ‘Merajut Kenang Merenda Juang’. “Maksudnya adalah perjuangan tidak pernah selesai begitu merampungkan bangku kuliah. Justru kepedulian dan tanggung jawab moral alumni Sejarah FIB UGM ditunggu kiprahnya di masyarakat. Itulah kenapa kita menyertakan frasa merenda juang,” ujarnya.
Saat masyarakat menggali potensinya untuk meningkatkan taraf kehidupannya, para alumni bisa mendukung pemerintah dalam mengidentifikasi potensi terutama yang terkait kesejarahan, demikian lanjut Wahjudi.
“Ada gerakan arus bawah yang mencoba untuk mengangkat sejarah desa atau sejarah lokal. Ini merupakan bagian pembentukan karakter dan kepribadian. Baik jika para alumni menggunakan ilmunya untuk mendampingi pembangunan desa. Terkait format pengabdian, bisa dengan memberdayakan kerjasama antara alumni dengan Departemen Sejarah FIB UGM yang memiliki beragam program pengabdian masyarakat,” jelas Wahjudi.
Selain sebagai ajang merajut tali silaturahmi alumni Jurusan Sejarah FIB UGM semua angkatan, dalam acara tersebut juga diselenggarakan kongres, serta pergantian pengurus KASAGAMA. Tentang kongres dijelaskan Isti Yunaida selaku Sekretaris Panitia, hal itu sesuai dengan AD/ART Kasagama, yang mana kongres dilaksanakan lima tahun sekali.
“Tujuannya untuk merestrukturisasi kepengurusan Pimpinan Pusat Kasagama 2017-2022. Mekanismenya antara lain dibentuk tim formatur. Anggota tim formatur diambil sebanyak satu orang melalui musyawarah di setiap angkatan. Para wakil dari masing-masing angkatan itu kemudian bermusyawarah untuk memilih Ketua dan Anggota Tim Formatur. Tugas mereka adalah memilih Ketua Umum Pimpinan Pusat Kasagama,” papar pengelola Museum Ulen Sentalu tersebut.
Dalam Kongres, Wahyudi Djaja, alumnus Sejarah angkatan 1996 disepakati sebagai Ketua Kasagama 2022 – 2027, menggantikan Muhammad Nursam yang ditunjuk sebagai ketua Kasagama periode 2017 -2022 dalam reuni dan kongres Kasagama yang dihelat pada tanggal 18-19 Maret 2017.
Peserta acara terhitung banyak. Selain dihadiri oleh 150-an undangan dari alumni semua angkatan, dosen, dan pengurus Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah – BKMS, juga hadir dua orang dosen yang telah pensiun yaitu Prof. Dr. Djoko Suryo, dan Prof. Dr. Suhartono. Keduanya mendapat gift sebagai kenang-kenangan berupa sebuah kursi pijat elektronik.
Rangkaian acara Reuni & Kongres Alumni Sejarah FIB UGM cukup variatif dan tidak membosankan, antara lain hiburan dari Balakosa dan dari delegasi masing-masing angkatan. Bertindak sebagai MC adalah Anang Batas dan Dibyo Primus yang mampu dengan sendau guraunya mampu menciptakan suasana penuh gelak tawa, kendati ada sesi yang harus dikondisikan serius.
Juga diisi dengan refleksi kesejarahan oleh Dr. Amin Mudzakkir, alumnus sejarah angkatan 2000 yang juga peneliti dari BRIN. Dr. Amin menyampaikan orasinya yang berjudul “Sejarah, Kebebasan, dan Keterbatasan”. Ia berbicara mengenai kisahnya ketika kuliah di jurusan sejarah, dan pengalamannya bersama dosen-dosen yang terus menyemangati dalam studi sejarahnya, sehingga bisa lanjut mengambil pasca sarjana. Seusai merengkuh gelar S2, ia kemudian menyelesaikan jenjang S3-nya di STF Driyarkara Jakarta, dan dapat menyelesaikan dengan baik tahun 2022 ini.
Dr. Amin juga menyoroti tentang tema reuni dan kongres “merajut kenang merenda juang”. Menurutnya adanya masalah tegangan antara kebebasan dan keterbatasan mempunyai relevansi bagi kita, alumni sekolah sejarah. Sejak belajar melakukan penelitian dan penulisan sejarah, kita dilatih untuk menghadapi tegangan antara kebebasan dan keterbatasan. Dilema yang nyaris eksistensial ini terus menghantui. Akan tetapi, justru karena itu, kita terlatih untuk berpikir dialektis, tidak deterministik. Determinisme menimbulkan persoalan metodologis, bahkan etis, yang serius.
Dr. Amin teringat pertanyaan almarhum Adaby Darban, salah satu dosen penguji pada saat ujian skripsinya 17 tahun silam. “Beliau bertanya kepada saya, jadi menurut Anda, apakah Islam yang mempengaruhi ekonomi atau ekonomi yang mempengaruhi Islam?”
Terhadap pertanyaan itu, Dr. Amin bercerita bahwa jawabannya lugas, yaitu keduanya saling mempengaruhi. Islam di Tasikmalaya sulit berkembang tanpa sokongan ekonomi para pengusaha santri, sebaliknya para pengusaha santri sulit bertahan tanpa ikatan solidaritas keislaman di antara mereka.
Lebih lanjut menurut Dr. Amin, dalam kehidupan praktis sehari-hari, berpikir deterministik bisa mendorong seseorang untuk bertindak otoriter. Kalau ditafsirkan secara deterministik, kebebasan bisa berdampak pada sikap melebih-lebihkan hak individual. Demikian pula gagasan tentang keterbatasan. Jika ditafsirkan secara deterministik, maka ia pun bisa memberi legitimasi bagi sekelompok orang untuk membesar-besarkan hak komunal.
Mereka yang melulu memperhatikan luka diri dan kelompoknya biasanya akan abai terhadap luka diri dan kelompok lainnya. Pokoknya apapun yang berlebih-lebihan atau dilebih-lebihkan sudah pasti akan menimbulkan masalah dalam tata kehidupan bersama.
Oleh karena itu, sungguh beruntung orang-orang yang belajar sejarah. Yang dimaksud tentu saja bukan sekadar sejarah sebagai sebuah disiplin akademik yang diajarkan di universitas, melainkan juga sejarah sebagai suatu prinsip etis untuk membiasakan diri berpikir dialektis sehingga terhindar dari laku deterministik yang gampangan. Semoga kita bisa mencapai ideal demikian.