Sigit Rahadi Memberdayakan Desa Miskin dengan Anggur

Perjalanan hidup Sigit Rahadi (Biologi ’83) termasuk penuh liku-liku dan pengalaman kerjanya lumayan kaya warna. Begitu menamatkan gelar sarjananya, Sigit langsung bekerja menjadi editor di perusahaan penerbitan “Aneka Ilmu” Semarang. Setahun kemudian ia pindah kerja ke PT Pharos Indonesia yang berada di Jakarta. Kemudian setahun berikutnya ia dimutasi ke Solo. Di Solo ia sempat bergelut dengan dunia obat-obatan selama 23 tahun.

Pada tahun 2014 Sigit merasa cukup sudah kerja kantoran. Ia mengundurkan diri dari kantornya karena kepingin mencari suasana kerja baru. Dunia pertanian mulai mengusik minatnya. Maka ia belajarlah menanam berbagai macam buah khususnya durian ke banyak praktisi. Setelah dirasa ilmunya cukup, Sigit kemudian menanam di lahan yang dibelinya pada pada tahun 2004 di dua lokasi di daerah Kec. Girimarto, Wonogiri seluas 3000  m2 yang ditanami 40 pohon durian, serta seluas 1500  m2 yang ditanami 55 pohon durian, 15 pohon kelengkeng dan 15 pohon alpukat.

Pada tahun 2017 Sigit mulai mencoba-coba menanam anggur di rumahnya di desa Gumpang, Kec. Kartosuro, Sukoharjo dan berhasil. Dari pengalamannya ternyata menanam anggur tidak sulit. Demi untuk memperoleh ilmu ia tak segan-segan menempuh perjalanan jauh sampai ke Jepara untuk berguru pada beberapa praktisi murah ilmu di sana dan ikut di berbagai komunitas anggur

Proses awal pembuatan green house dan penanaman anggur di desa Ngroto

Pada tahun 2019 Sigit berkenalan dengan pegawai Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) bernama Bagoes Setyo Utomo yang bertugas di desa Ngroto, Kec. Kismantoro, Wonogiri. Sigit dicurhati bagaimana penyuluh tersebut sudah selama 2 tahun berupaya mengangkat perekonomian warga Ngroto bekerja sama dengan berbagai pihak, namun belum juga berhasil. Desa Ngroto memang termasuk desa dengan kategori di bawah garis kemiskinan di Kabupaten Wonogiri, dengan kontur wilayah berbukit yang relatif tandus.

Sigit langsung menyarankan memberdayakan desa Ngroto dengan anggur. Pada pemaparan presentasinya di hadapan Bagoes dan warga Ngroto, Sigit menjelaskan apabila tanaman anggur bisa tumbuh di lahan tanah dan media tanam apa saja, yang penting mendapat kecukupan sinar matahari dan nutrisi atau pupuk . Anggur adalah produk hortikultura eksklusif tapi cepat menghasilkan, saat umur 8 – 12 bulan sudah bisa dipanen buahnya.

Rupanya gayung bersambut, seluruh warga Ngroto menyambut dengan senang hati. Maka pada bulan November 2019 mulailah didirikan green house sebagai “rumah” untuk menanan anggur langsung di 10 RT. Untuk membangun 1 green house ukuran 4 x 10 m hanya dibutuhkan biaya Rp 1,2 juta, karena tenaga dan bambu sebagai bahan utama green house diperoleh secara gratis. Seluruh biaya merupakan hasil iuran dari warga sendiri. Untuk pengelolaan dipasrahkan kepada ibu-ibu dari Kelompok Wanita Tani “Srikandi Grape”.

Sejumlah 600 batang bawah atau rootstock yang diperoleh secara cuma-cuma Sigit dari berbagai sumber, ditancapkan di persemaian. Yang berhasil tumbuh 200 batang, sisanya 400 batang mati. Yang hidup dibagi rata ke 10 RT, masing-masing mendapatkan 20 batang. Sepuluh batang ditanam di dalam green house, sisanya ditanam di luar karena jarak antar tanaman memang tidak boleh terlalu rapat.

Ternyata terbukti anggur yang ditanam bisa tumbuh bagus. Pada bulan Januari 2020 tanaman mulai digrafting dengan anggur impor. Grafting adalah menghubungkan batang bawah dan batang atas dari tanaman yang berbeda yang berkualitas unggul, sehingga diharapkan batang atas itulah yang nantinya menghasilkan buah yang unggul . Untuk mendapatkan batang atas (entrees) anggur impor, Sigit menggandeng praktisi senior anggur dari Jepara dan Kendal. Mereka bahkan mau ikut terjun langsung ke lokasi untuk melakukan grafting. Setiap bulan diadakan pelatihan grafting dan perawatan tanaman, di mana Sigit selalu meluangkan waktunya melakukan pendampingan saat pelatihan. Namun pelatihan sempat terhenti dari bulan Februari sampai Juni karena pandemi covid .

Ketika dirasa sudah cukup umur, dilakukan pruning atau pangkas total dan pemberian pupuk agar keluar bunga. Pada akhir Juli semua tanaman di green house sudah mulai keluar bunga sekitar 10 dompol per green house, yang mana hal itu membuat warga semakin bersemangat. Tiga bulan setelah itu warga mulai menikmati panen anggur, meski belum bisa dijual massal karena jumlahnya belum terlalu banyak dan masih dibutuhkan sebagai daya tarik pengunjung .

Rupanya kesuksesan warga Ngroto membudidayakan anggur dalam waktu singkat tersebar ke mana-mana, yang tentu saja akibat dari penyebaran informasi lewat sosial media. Mulailah banyak pengunjung, bukan saja dari daerah sekitar namun juga dari luar kota. Mereka banyak yang menanyakan dan mau membeli bibit.

Maka muncullah ide berikutnya yaitu warga Ngroto mulai ramai-ramai melakukan pembibitan. Awalnya bibit didatangkan dari Kartosuro dan Jepara, namun akhirnya bisa memproduksi sendiri. Satu bibit dijual sekitar 100 – 125 ribu. Dari penjualan bibit, sampai saat ini setiap RT bisa memperoleh penghasilan sekitar 3,5 juta.

Berikutnya warga mendatangkan batang bawah atau rootstock dari Nganjuk sejumlah 1000 batang dan langsung digrafting. Rupanya minat pembeli begitu tinggi sehingga langsung cepat terjual habis. Selanjutnya warga membeli 40 kg dari Bali, setelah dipotong-potong diperoleh 700 batang dan juga langsung digrafting.

Bersama ibu-ibu anggota KWT “Srikandi Grape”

Berita tentang visitasi dari isteri Bupati Wonogiri, Kemensos, dan instansi-instansi terkait di Wonogiri membuat nama desa Ngroto semakin berkibar. Efeknya sungguh luar biasa, omzet jadi melonjak drastis. Warga mulai merasakan mudahnya mencari uang dan perekonomian mereka otomatis terangkat. Selain dari penjualan buah anggur, mereka juga mendapatkan uang dari penjualan entrees, bibit dan kunjungan wisatawan yang rencananya dipatok biaya masuk Rp 25.000 per orang dengan mendapatkan snack dan makan siang khas desa. Selain itu warga yang tidak terlibat pengelolaan anggur juga bisa mendapatkan penghasilan dengan membuat produk UMKM dan menjajakan produk-produk bikinan mereka seperti kripik pisang, tales, sambel, rengginang, dll kepada wisatawan

Saat ini pihak desa Ngroto sedang mengolah lahan bengkok jatah Kades seluas 6000 m2 untuk khusus budidaya anggur. Targetnya setahun lagi dari tanah bengkok yang ditanami 500 pohon anggur tersebut akan didapatkan hasil panen sekitar 2 ton. Juga memanfaatkan green house seluas 500  m2 bantuan dari BI Solo. Dikombinasikan dengan dana desa, mereka membangun juga taman, kolam renang, rumah makan, dan camping ground.

Melihat hal tersebut Sigit merasa sangat puas karena target awal sudah hampir tercapai semuanya. Reputasi Sigit sebagai salah satu tokoh yang memberdayakan desa Ngroto mulai dikenal luas. Saat ini menurutnya ada 5 desa yang antri meminta Sigit sebagai pihak pendampingan untuk pemberdayaan warganya, yaitu desa Tohudan (Colomadu, Karanganyar), desa Kemasan (Polokarto, Sukoharjo), desa Weru (Sukoharjo), desa Sendang (Wonogiri), dan desa Pijiharjo (Manyaran, Wonogiri). Sigit sangat senang dipercaya masyarakat, meski artinya hal itu memikul tanggung jawab yang teramat besar. Ia bersyukur dan bahagia bahwa kiprahnya yang tidak seberapa bisa membantu sesama.

1 Comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*