Prof. Sjafri Sairin, Guru Besar Antropologi yang Serba Pertama

Ada yang menarik dari perjalanan hidup Prof. Dr. Sjafri Sairin, MA, guru besar Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM. Dari awal diterima masuk UGM, sampai pengukuhannya sebagai guru besar, ia beberapa kali menyandang gelar sebagai yang pertama kalinya.

Tahun 1964 saat Prof. Sjafri diterima sebagai mahasiswa baru UGM, kebetulan ia termasuk angkatan pertama, karena saat itu jurusan Antropologi baru saja didirikan. Lalu, pada tahun 1968 ketika meraih gelar sarjana mudanya, ia bersama 5 kawannya merupakan lulusan tahap pertama angkatannya. Berikutnya. ia jugalah yang mendapatkan gelar S1 dari Jurusan Antropologi untuk pertama kalinya pada tahun 1973. Kemudian saat dilantik sebagai guru besar pada tahun 1998, ia adalah staf pengajar yang murni berasal dari Jurusan Antropologi UGM yang pertama kalinya mendapatkan gelar profesor.

Ada yang unik dan spesial dari Prof. Sjafri, yaitu dialah yang berkesempatan pertama kalinya mengenakan jaket almamater yang warnanya khas seperti saat ini pada tahun 1971. Bagaimana itu ceritanya?

Kepada kagama.id yang mengunjungi rumah kediamannya yang asri di daerah Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Prof. Sjafri dengan penuh antusias menceritakan kronologisnya. Namun sebelum sampai pada inti cerita, ia terlebih dulu berkisah tentang perjalanan hidupnya.

Prof. Sjafri lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 14 Februari 1945. Menempuh pendidikan di SMEP, lalu lanjut SMEA di Medan. Saat di bangku SMEA ia pindah ke Yogyakarta, dan menamatkan sekolahnya di SMEA Muhammadiyah Yogya. Dulu, di benak Sjafri muda tentulah berharap akan melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi.

Namun, Sjafri muda harus menghadapi kenyataan. Saat itu ada suatu kendala yang menyebabkan dirinya tidak bisa mendaftar di FE UGM, yaitu nilainya tidak mencapai ambang batas persyaratan yang ditentukan. Alternatifnya, kuliah di universitas swasta. Namun dengan pertimbangan khawatir tidak mampu membayar uang kuliah yang relatif lebih mahal, akhirnya ia memutuskan melanjutkan studi di Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra & Kebudajaan yang baru saja dibuka.

Prof. Sjafri menyebutkan saat itu mahasiswa yang diterima di Antropologi angkatan pertama ada sebanyak 125 orang. Ia mengaku beruntung, pada tahun pertama ia bersama 3 orang kawan angkatannya diangkat menjadi asisten dosen. Meski hanya membantu di bidang administrasi, bukan ikut mengajar.

“Karena waktu itu jurusan baru, maka staf pengajarnya semua berasal dari luar dengan disiplin ilmu yang berbeda-beda. Ilmuwan antropologi terkemuka Prof. Koentjaraningrat adalah salah satu tokoh yang ikut membesarkan jurusan,” kenangnya.

Prof. Sjafri masih ingat betul, pada tahun kedua barulah ia diangkat sebagai asisten dosen yang benar-benar membantu mengajar. Ia disuruh membantu mengajar bukan hanya di jurusan Antro, namun juga jurusan lain. Awalnya ia hanya mengajar mata kuliah Sejarah Kesenian di Antro, lalu pelan-pelan seiring bergantinya tahun bertambah pula mata kuliah yang harus ia pegang, seperti Pra Sejarah di jurusan Antro, Pengantar Antropologi di jurusan Sastra Indonesia, dll.

Prof. Sjafri bersyukur karena selama menempuh bangku kuliah boleh dikatakan tidak ada hambatan yang berarti. Pada tahun 1968 ia akhirnya berhasil meraih gelar sarjana mudanya (Bachelor of Arts). Ia bersama 5 kawan angkatannya menjadi lulusan tercepat atau lulus tahap pertama.

Selanjutnya untuk mendapatkan gelar sarjana penuh, Prof. Sjafri harus membuat penelitian. Awalnya kepada dosen pembimbingnya ia mengajukan draft tulisan berjudul “Impak Keberadaan Mahasiswa Terhadap Warung-warung Kecil di Yogyakarta”, namun ditolak karena dirasa akan sangat sulit menunjukkan korelasinya saking banyaknya jumlah warung kecil yang ada di wilayah Yogya.

Kemudian ia mengajukan judul baru “Mengapa Mahasiswa dari Daerah Tertentu Begitu Lulus Pulang ke Daerahnya, Sementara Daerah Tertentu Lainnya Tidak”. Ia berhasil meyakinkan dosen pembimbingnya, dengan memberikan contoh yang valid bagaimana mahasiswa asal Sulawesi Selatan begitu tamat langsung pasti kembali ke kampung halamannya, sedangkan mahasiswa asal Sumatra Barat tidak. Penyebabnya adalah Pemda Sulsel sangat butuh tenaga kerja, sehingga menjamin menyediakan lapangan pekerjaan buat sarjana fresh graduate, sementara Pemda Sumbar tidak.

Singkat kata, pada tahun 1973 Prof. Sjafri berhasil merengkuh gelar Drs-nya, dan diwisuda tahun 1974. Lagi-lagi ia yang pertama kali meraih gelar sarjana penuh dari jurusan Antro.

“Sebenarnya saya lulusan kedua. Ada satu teman angkatan yang terlebih dulu lulus, namanya Prof. Amri Marzali. Namun beliau tidak kuliah di Antropologi UGM sepenuhnya. Sebagian ditempuh di UI, meski ijazahnya tetap dari UGM. Di bawah saya lulusan paling cepat berikutnya yaitu alm. Prof. Hari Poerwanto,” tuturnya.

Kemudian, Prof. Sjafri dan Prof. Hari Poerwanto direkomendasikan menjadi dosen. Namun untuk diangkat sebagai staf pengajar, persyaratannya harus memenuhi prosedur tertentu, sehingga harus menunggu beberapa saat.

Selama proses menunggu itu, Prof. Sjafri bersyukur ditawari oleh mentornya, Prof. Masri Singarimbun untuk mengambil kursus kependudukan di East West Center Population Studies di University of Hawaii, Honolulu selama 7 bulan. Kembali ke Indonesia, barulah kemudian ia diangkat sebagai dosen pada bulan Maret 1975.

Pada bulan September 1976 Prof. Sjafri menulis artikel di Majalah Prisma, judulnya berkaitan dengan impak green revolution terhadap buruh derep wanita di pedesaan Yogyakarta. Berkat artikel tersebut, beberapa bulan kemudian datanglah 2 penyandang dana yang semuanya dari Amerika, yaitu The Rockefeller Foundation dan The Ford Foundation.

The Rockefeller Foundation menawarkan mengambil S2 di Amerika, sementara The Ford Foundation menawarkan kuliah di Australia. Dengan pertimbangan tertentu, Prof. Sjafri akhirnya mengambil keputusan menerima tawaran beasiswa The Ford Foundation, dan melanjutkan studi di Australian National University, Canberra, pada tahun 1978. Dua tahun kemudian ia meraih gelar MA.

Balik ke Yogyakarta, rupanya penawaran dari The Rockefeller Foundation masih terbuka. Maka terbanglah Prof. Sjafri ke Amerika pada tahun 1983 untuk mengambil gelar S3 di Cornell University. Empat tahun kemudian ia berhasil merengkuh gelar doktor.

Kemudian, kembali Prof. Sjafri mendapatkan predikat pertama saat ia memperoleh gelar profesornya pada tahun 1998. Sama seperti saat meraih gelar S1, sebenarnya sudah ada yang terlebih dulu mencapainya, namun bukan murni berasal dari Antropologi UGM.

“Saya sejatinya nomer dua. Yang pertama adalah Prof. Masri Singarimbun. Tapi beliau kan S1-nya di Fakultas Paedagogi, sehingga sayalah yang murni berasal dari ilmu Antro yang memperoleh gelar profesor untuk pertama kalinya,” jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya masa bakti Prof. Sjafri di UGM tuntas sudah pada tahun 2010, tepat pada saat usianya menginjak 65 tahun. Tak terasa sudah selama 35 tahun ia mengabdikan tenaga dan pikirannya, dengan segala suka dukanya, demi kemajuan almamater tercinta.

Meski kini Prof. Sjafri sudah purna tugas, namun sumbangsihnya kepada dunia Antropologi akan tetap dikenang sepanjang masa. Tak terhitung banyaknya karya-karya tulisannya, meliputi buku, makalah, jurnal, dan artikel yang tersebar di berbagai media masa lokal, nasional, dan internasional, yang kesemuanya itu menjadi sumber pembelajaran berharga bagi para generasi berikutnya.

Saat ini Prof. Sjafri menikmati masa pensiunnya dengan tenang. Banyak sekali peristiwa manis dan pahit yang telah dilaluinya semenjak awal kuliah sampai purna tugas. Namun ada satu kejadian saat menjadi mahasiswa dulu yang membuatnya tak akan lupa sampai akhir hayatnya, yaitu berhubungan dengan jaket almamater.

“Sayalah yang pertama kalinya memakai jaket almamater UGM yang warnanya seperti sekarang ini. Warna yang memang tidak bisa dengan jelas didefinisikan. Ada yang menyebutnya krem, coklat muda, atau coklat kehijauan,” ujarnya.

Prof. Sjafri lalu bercerita, sebelumnya warna jaket almamater adalah hijau muda meniru warna bendera kraton Yogyakarta, yang disebut tunggul wulung. Lalu ada strip kuning vertikal di depan sebelah kiri dan strip kuning horizontal di bagian belakang atas. Ketika ia aktif di Dewan Mahasiswa (DEMA) seksi kesenian pada tahun 1970, menurutnya warna itu terkesan tidak begitu disukai mahasiswa dan akhirnya menjadi topik diskusi yang hangat di DEMA, sehingga timbul pemikiran untuk mengganti warnanya.

Maka DEMA UGM memutuskan M. Thalib Mberu (Fakultas Hukum) dari seksi kemahasiswaan didampingi oleh Sjafri untuk mewujudkannya. Selanjutnya, Thalib datang ke pabrik tekstil di Blabak dan di daerah Medari yang sangat legendaris waktu itu, untuk melihat-lihat kain di sana. Ternyata di Medari hanya ada 3 warna pilihan, yaitu biru, hijau, dan coklat kehijauan yang mirip warna karung goni. Akhirnya semua sepakat yang terakhir itulah yang dipilih.

Sjafri kemudian ditugaskan mencari tukang jahitnya. Ia minta model yang sama dengan jaket lama, jaket berkerah dengan tiga kancing dan ada logo UGM di dada kiri. Lalu, semua pengurus DEMA diminta datang ke tukang jahitnya yang punya kios di Jl. Yudonegaran untuk mengukur jaketnya.

“Yang bikin saya surprise, punya saya justru didahulukan. Kata tukang jahitnya bikin satu dulu sebagai sampel dulu. Maka sayalah yang pertama kali punya jaket almamater warna baru,” kenangnya sembari tertawa.

Pada tahun 1971 diselenggarakan Festival Kesenian Lima Universitas di Taman Ismail Marzuki Jakarta, yang diikuti oleh UI, UGM, Universitas Pajajaran, Universitas Andalas, dan ASKI Solo. Pada festival tersebut UGM membawakan “Sendratari Gadjah Mada” di bawah komando Prof. Soedarsono.

Beberapa pengurus DEMA di bawah koordinator Sjafri ikut menghadirinya dengan memakai jaket baru. Pada momen itulah jaket almamater warna dan model baru go to public untuk pertama kalinya.

“Saya bangga menjadi pelaku sejarah terkait dengan warna jaket almamater. Banyak yang mengakui warnanya lain daripada yang lain, dan akhirnya benar-benar menjadi ciri khas UGM,” ucapnya mengakhiri wawancaranya dengan kagama.id.