Oleh: Anang Batas *)
Tulisan ini bukan sekedar romantisme tentang ruang kreatif/ruang budaya di kampus, tetapi bahwa kenyataannya banyak kenangan yang terasakan dari ruang kreatif/ruang budaya bisa memberi manfaat pada perjalanan hidup. Ruang kreatif yang dimaksud bukan hanya berbentuk tempat, tetapi juga ruang berinteraksi “sesrawungan” itu seperti kuliah tetapi di luar kelas.
Seperti contoh, ada berbagai ajang diskusi ringan, panggung pertunjukkan yang sederhana menjadi pemandangan yang menyenangkan. Pada masing-masing fakultas kegiatan itu menjadi agenda rutin, termasuk di Fakultas Sastra dengan bermacam ruang bersama. Mulai dari tingkat fakultas, jurusan bahkan per-angkatan punya aktivitas masing-masing.
Yang menarik juga, meskipun pembuat acara jurusan atau fakultas yang berbeda, tetapi pentonton bukan hanya dari internal masing-masing. Bahkan pengisi acara juga melibatkan dari luar, tidak menutup kemungkinan juga dari luar kampus. Ini menjadi media yang sangat baik untuk berinteraksi dan berkomunikasi, menambah pengetahuan yang berharga. Sekat-sekat antar golongan sangat tipis. Inilah nilai sesrawungan ala Jogja.
“There will be no today and tomorrow, if there is no yesterday”
Pengalaman perjalanan masalalu yang baik, akan memberi kesempatan untuk mengasah kemampuan dan mengasuh kemauan yang baik pula. Perjalanan yang kurang baik bisa menjadi pelajaran untuk merefleksi diri dan introspeksi agar kedepan menjadi lebih baik. Demikianlah sejatinya fungsi dari sejarah perjalanan dari masalalu. Karena pengalaman baik dan yang kurang baik (saya tidak akan mengatakan yang buruk) itu pasti lebih tertanam pada memori otak daripada pengalaman yang datar-datar atau biasa saja. Ini yang semestinya dijaga terus dan diceritakan pada generasi berikutnya agar berkesinambungan tidak terputus dari kampus. Kenapa bisa?
Di Fakultas Sastra dulu ada berbagai kegiatan, salah satu contohnya ada Ode-Ode November dengan kemasan sederhana tetapi sangat berisi. Setiap bulan Maret pada acara dies fakultas juga muncul ide-ide kreatif untuk membuat acara. Saya pernah bersama teman-teman membuat acara dengan judul “Kita Mesti Mengapa”, ” Pasar Seni Sastra”, dan lainnya.
Pada saat itu ide liar dari teman-teman mengalir begitu saja, antar teman saling merespon, memberi masukan dan dilakukan bersama, tentu saja didukung dari fakultas. Mahasiswa berinisiatif membuat kelompok-kelompok unik, Wayang Antro (jurusan), Sastro Moeni, Sastro Nyanyi sampai ide berjualan dengan Sastro Warung. Ketoprak lesung, UGD (Unit Goyang Dangdut) dan masih banyak lagi.
Apakah semua itu ada karena harus difasilitasi, baik alat atau biaya dari kampus? Tidak sepenuhnya, meski sesekali iya juga! Fasilitas yang diberikan tak kalah penting adalah restu dan dukungan semangat dari kampus. Kenapa bisa?
Berkarya bukan karena uang tapi uang karena berkarya
Inilah spirit itu. Bahwa semangat yang dibangun pada waktu itu, semangat bergerak atau berbuat saja. Bahkan mungkin waktu itu juga tidak mengartikan sebagai berkarya. Ya intinya ingin membuat sesuatu lalu yang lainpun mendukungnya. Awalnya ide dulu, untuk urusan biaya urusan belakangan. Maksudnya, ketika ada kendala berkaitan dengan uang, bisa dicari solusinya.
Misal dengan “urunan”, saweran, “nodong” senior/dosen, berjualan barang atau apalah cara lainnya. Lalu misal ada keterbatasan alat pendukung, ya mencari pinjaman ditempat lain. Simpel saja cara berpikir dan bekerjanya. Yang penting acara bisa terselenggara.
Lebih baik mengemis ide daripada mengemis ‘idu’
Meskipun demi acara tetap terselenggara, tetapi mempertahankan idealisme gagasan itu penting. Jangan sampai karena “iming-iming” uang lalu melunturkan idealisme. Karena kadang keuntungan uang itu memang menggiurkan. Tetapi waktu itu kami merasa, keuntungan paling utama adalah bisa menyelenggarakan acara sesuai dengan ide dan tujuan awal, meski hanya dengan acara yang sederhana.
Karena semangat itulah, meski kadang salah persepsi tentang sebuah idealisme. Karena justru bisa menjadi pelajaran berharga untuk selanjutnya. Menyesal dan kecewa? Tidak! Karena berawal dari bahagia, apapun yang terjadi harus berakhir dengan suka cita. Ketika terjadi kekurangsempurnaan tidak menjadi masalah, cukup menjadi bahan evalusi sembari jadi ledekan dan candaan saja, lalu bersama-sama berhahaha.
Ada satu cerita menjadi contohnya. Pada saat itu, September 1988, kelompok musik kami (waktu itu belum ada nama, yang setelahnya akan menjadi Sastro Moeni namanya) mendapatkan kesempatan mewakili UGM dalam acara Kemah Budaya Indonesia-Australia di Jakarta. Bermain sepanggung dengan dengan para pemusik kenamaan Indonesia (Ully Sigar Rusadi, Leo Kristi, Iwan Fals, dll) serta dari Australia.
Kami sangat bangga. Tetapi, ketika panitia berniat membayar dengan nilai rupiah yang sangat tinggi, kami menolaknya. Entah kenapa, waktu itu alasannya adalah kami tidak bisa dibeli… hahaha. Kami hanya minta diganti biaya transportasi kereta ekonomi yang kami pilih, serta uang makan secukupnya. Setelah sadar bahwa tidak ada sama sekali tujuan negatif panitia seperti pikiran kami, benar-benar karena berniat mengapresiasi dan mengganti biaya operasional saja. Menyesal? Tidak! Tapi seperti biasa, menjadi candaan kita, ternyata beda tipis antara semangat mahasiswa dan kegoblokan kami.
Lebih baik birahi karena benar daripada berani karena binal
Banyak cerita beredar bahwa pada masa ORBA tentang adanya keterbatasan ruang gerak. Tapi kami tidak terlalu merasakannya, atau lebih tepatnya tidak merisaukannya. Karena menyikapinnya dengan kegiatan yang meringankan dan menyenangkan saja. Kalaupun terkesan kadang mengkritisi, entahlah. Karena kita hanya memotretnya dari sudut kegiatan seni budaya.
Apa yang menjadi kegelisahan, kita tuangkan saja dengan cara kita. Selama kita merasa itu benar ya lakukan saja meski dengan gaya mahasiswa yang cenderung usil dan nakal, bukan berani karena asal nekat tanpa alasan.
Jangan pernah protes, jika tidak tahu proses apalagi progress
Jadi proses yang didapatkan dengan “sesrawungan” di ruang publik kampus yang kreatif inilah banyak memberi pelajaran yang sangat berharga. Menjadi bekal banyak ilmu yang akhirnya bermanfaat bukan saja untuk diri sendiri tapi juga untuk masyarakat.
Sebuah proses dan progreslah yang menjadi pijakan penting, masalah hasilnya itu urusan nanti saja. Seperti konsep seniman, ketika sedang proses berkarya maka masih menjadi haknya, tetapi ketika sudah menjadi hasil karya, sudah menjadi hak penikmat untuk bebas menafsirkannya. Terus terang bekal yang saya pribadi dapatkan, dari proses di kampuslah yang menjadi jalan dalam kehidupan saya selanjutnya.
Hidup lebih indah ketika hati diisi dengan seni, hidup kita lebih bermakna ketika kita punya hati dengan rasa. Berbicara itu juga mendengarkan.
Harapannya dengan keterbatasan waktu studi saat ini, tapi masih punya ruang kreatif. Sehingga mahasiswa bisa menyalurkan dan mengasah kemampuan “soft skill”-nya dalam bidang di luar bidang akademis. Waktu yang ketat tidak membuat mahasiswa hanya berpikir kuliah – kerjakan tugas – pulang, tidak berpikir hal-hal.
Masih ada ruang berekspresi, berinteraksi dan berinovasi. Dari FIB banyak ruang sesrawungan dengan kegiatan seni budaya, kembali melahirkan seniman, sastrawan, budayawan yang cerdas berkelas. UGM tetap menjadi kampus kerakyatan, kampus kebudayaan. Kampus ndesa!
*) Penulis adalah alumnus antropologi UGM & public figure Yogyakarta