Angkringan Cah Sastra #2: Merindukan Ruang Budaya di Kampus Selepas Pandemi

Angkringan Cah Sastra (ACS) adalah wadah untuk bertemu, ngobrol, dan berbagi, dalam suasana serius tapi santai di kalangan segenap civitas akademika FIB UGM dan juga alumninya. ACS didukung secara kolektif oleh FIB UGM dan Ikatan Alumni Sastra & Budaya (IKASASDAYA). Pemikiran awalnya, ACS direncanakan menjadi kegiatan rutin warga FIB UGM, sebagai ruang budaya yang memantik gagasan serta ekspresi dalam mengejawantahkan ide-ide positif.

ACS pertama kali digulirkan pada bulan Maret 2022. Namun saat itu masih dalam format daring ditayangkan di kanal Youtube FIB, dikarenakan kondisi pandemi yang belum bisa diajak kompromi. Dan 3 bulan kemudian ketika peraturan mengenai protokol kesehatan diperlonggar dengan diperbolehkannya menggelar acara luring, ACS kembali digelar, dan kali ini diadakan secara fisik di Kantin Sastra pada hari Jumat (24/6/2022).

Tema “Merindukan Ruang Budaya di Kampus Selepas Pandemi” sengaja dipilih untuk menjadikannya sebagai momentum untuk menata ulang “ruang budaya” yang selama dua tahun belakangan terbengkalai karena pandemi. ACS #2 juga dijadikan momentum untuk merayakan harapan-harapan baru atas terpilihnya Rektor UGM dan Dekan FIB yang baru.

ACS #2 menghadirkan 3 orang narasumber, yaitu Aprinus Salam staf pengajar Sastra Indonesia mewakili akademisi, Anang Batas, Antropologi ’87, mewakili alumni, dan Nurul Afiyah dari Jurusan Sejarah mewakili mahasiswa. Moderator acara yang sekaligus ketua IKASASDAYA, Paksi Raras Alit mengatakan dalam gelaran ACS, selain talkshow juga dimeriahkan dengan hadirnya panggung seni sebagai sebuah rangkaian.

“Kali ini tema yang dipilih adalah bagaimana membangun ruang budaya di kampus selepas pandemi. Seperti kita ketahui bersama, saat pandemi ruang budaya kita mau tidak mau beralih ke ruang digital. Dengan tema tersebut kita mencoba menyusun kembali ruang-ruang tersebut, sekaligus beradaptasi dengan perubahan-perubahan ruang pasca pandemi,” ujar Paksi.

Nurul Afiyah yang diberi kesempatan berbicara pertama, mengatakan bahwa ia dan kawan-kawannya sangat terbatasi sekali aktifitasnya selama pandemi. Tidak ada satupun ruang budaya yang terbuka untuk menyalurkan kreatifitas. Makanya ia sangat mendukung dibukanya kembali ruang budaya di kampus.

Bintang tamu berikutnya Anang Batas sedikit bernostalgia menceritakan apa yang dilakukannya bersama teman-temannya jaman kuliah dulu di Fakultas Sastra. Ia merasakan banyak kenangan dari adanya ruang kreatif atau budaya di masa itu yang mampu memberi manfaat pada perjalanan hidupnya. Ruang kreatif yang dimaksud bukan hanya berbentuk tempat, tetapi juga ruang berinteraksi “sesrawungan” dengan teman-teman lintas angkatan, jurusan ataupun fakultas. Jadi seperti ‘kuliah’ tetapi di luar kelas.

Ketika ada selentingan mahasiswa saat ini kreatifitasnya terbatasi, Anang mengatakan kita tidak bisa menyalahkan fakultas sepenuhnya yang tidak menyediakan ruang budaya yang cukup. Namun banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Ada peran alumni juga di dalamnya yang mungkin tidak terlalu peduli dengan aktifitas adik-adik kelasnya. Istilah yang dipakai Anang, alumni tidak mau ‘ngaruhke’ dan ‘ngarahke’.

Lalu, keterbatasan waktu kuliah juga sangat berpengaruh. Masa studi yang ketat membuat mahasiswa hanya berpikir kuliah – kerjakan tugas – pulang, tidak sempat memikirkan kegitan ekskul. Hal itu diperparah dengan pandemi yang melanda. Ia berharap pasca pandemi fakultas membuka ruang budaya seluas-luasnya, sehingga mahasiswa bisa menyalurkan dan mengasah kemampuan soft skill-nya sesuai passionnya di luar bidang akademis.

“Dengan dibukanya kembali ruang sesrawungan dengan kegiatan seni budaya sebagai ajang berekspresi, berinteraksi, dan berinovasi, diharapkan FIB kembali melahirkan seniman, sastrawan, budayawan yang cerdas berkelas,” pungkas Anang.

Sebagai pembicara terakhir, Aprinus Salam sedikit memberikan kritik internal kepada fakultas tempat dia bernaung, yaitu kampus saat ini berorientasi alumninya fokus untuk bekerja sehingga melupakan berkarya. Juga ketika birokrasi dan administrasi mendominasi, maka jelas hal itu akan menghambat kreatifitas mahasiswa.

Ia berharap mahasiswa alumni FIB bukan hanya mumpuni di bidang akademis saja, namun juga kalau bisa bersifat ‘nyeni’, dalam arti bukan harus berkesenian tapi punya sifat seni yang mendukungnya dalam berekspresi. Dan ketika nanti ruang budaya sudah dibuka seluas-luasnya oleh fakultas, ia berharap mahasiswa bisa mempergunakannya secara optimal.

“Saya sudab bicara dengan dekan yang baru akan perlunya ruang budaya untuk mengasah kreatifitas. Semoga dalam waktu dekat akan terealisasi,” ucap Aprinus mengakhiri pembicaraannya.

Sebagai closing, Paksi mengatakan ACS membuka seluas-luasnya pastisipasi publik untuk mendukung acara dalam bentuk sponsor, donasi, maupun bentuk dukungan kerjasama lainnya. Segala bentuk dukungan bantuan yang terhimpun akan digunakan untuk perencanaan dan pelaksanaan program-program IKASASDAYA.

Rencananya, pasca pandemi kegiatan ACS akan digelar secara rutin sebulan sekali setiap hari Jumat di minggu ke-3. Di samping ada talskhow yang berisi diskusi ringan, dihadirkan juga panggung seni yang bertujuan menjadi wadah bagi siapapun dalam mengekspresikan seni. Dosen, mahasiswa, serta alumni diberi kesempatan yang sama untuk tampil di panggung seni ACS, dengan berbagai penampilan seperti musik, pembacaan puisi, dramatic reading, macapat, dan berbagai seni pertunjukan lainnya.