Oleh: Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA
Seringkali jika kita mendengar kata budaya, hanyalah apa yang kita uri-uri atau kita rawat saja. Padahal sebetulnya budaya itu adalah sebuah proses di mana kita ikut terlibat di dalamnya, karena kita semua adalah active agent. Jadi arti dari membuat budaya ini adalah kita semua ikut menggerakkan budaya.
Persoalan pandemi covid-19 ini sifatnya absurditas dan ironi dari sisi orang budaya. Karena jauh sebelum pandemi terjadi seluruh negara di dunia termasuk Indonesia ingin menerapkan teknologi online. Pada bulan Maret 2019 Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa ASN akan bekerja secara online. Di fakultas-fakultas lingkungan UGM sendiri sudah mulai diterapkan teknologi online dalam aktivitasnya, namun prosentasenya belum terlalu tinggi. Yang terjadi selanjutnya adalah absurditas yang kita alami, yaitu ‘accident’ pandemi mempercepat proses terjadinya teknologi online yang saat ini hampir menyentuh angka 100% kita mempergunakannya.
Dengan adanya pandemi, selain terjadi absurditas juga berlangsung suatu ironi. Karena di tengah perkembangan teknologi yang begitu luat biasa, bahkan sampai robot saja diberi nama atau identitas manusia, di sisi lain manusia masih diajari cara mencuci tangan. Padahal budaya mencuci tangan sudah berlangsung lama sekali dari masa lampau. Artinya ada ‘missing link’ antara kemajuan yang sudah dicapai secara luar biasa oleh manusia dengan perilaku kita yang sebenarnya belum banyak berubah.
Sampai saat ini pandemi sudah berlangsung satu semester lebih dan belum ditemukan vaksin yang manjur. Salah satu cara yang bisa dipakai mengontrol atau mengerem pandemi adalah lewat budaya disiplin yaitu membiasakan diri memakai masker, cuci tangan, jaga jarak, berolah raga, makan bergizi dll. Namun persoalannya budaya disiplin masih menjadi tantangan besar buat masyarakat Indonesia. Sebagai bangsa kita belum terlalu disiplin, bisa dilihat contohnya dari cara kita antri yang belum bisa benar-benar tertib.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh negara lain. Di Amerika Serikat contohnya, mindset mereka sangat berbeda. Di sana mereka tidak mau memakai masker bukan karena tidak disiplin namun soal individual freedom. Mereka menganggap tubuh adalah milik mereka sendiri, jadi tidak ada satu pihakpun yang berhak mengaturnya termasuk pemerintah.
Jadi masalah kedisiplinan di negara kita ini yang menyebabkan beratnya menerapkan kesadaran budaya baru di masa pandemi, karena 3 faktor utama yaitu faktor ekonomi, ideologis dan budaya yang kesemuanya itu tetap terkait dengan masalah budaya. Yang pertama adalah faktor ekonomi. Kita tahu masyarakat kita adalah masyarakat mandiri. Di saat pandemi terjadi tingkat survival mereka begitu tinggi dengan mengandalkan networking lokal yang kuat. Solidaritas mereka juga tinggi dan itu merupakan social capital yang sangat berguna dalam menghadapi krisis. Persoalannya adalah endurance atau daya tahan mereka terbatas. Awalnya mereka mungkin disiplin namun lama-lama karena kebutuhan ekonomi akhirnya banyak juga yang melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Maka untuk itu implementasi kebijakan yang diterapkan harus cepat dan tepat.
Yang kedua adalah faktor ideologis di mana kita tahu bahwa masyarakat Indonesia sangat agamis. Namun dalam menghadapi pandemi ini banyak yang tidak tahu mana yang “harus” atau “seharusnya”. Sebagai contoh beberapa saat lalu muncul cluster-cluster yang terkait dengan agama. Dan masalah seperti ini bukan hanya terjadi di negara kita saja namun juga terjadi di belahan dunia lainnya seperti di Taiwan dan Kanada. Tapi sedikit berbeda apa yang terjadi di Amerika Serikat, di mana di sana terjadi penolakan pemakaian masker dalam hubungannya dengan diskursus agama. Nino Vitale, seorang legislator asal Ohio, mengatakan “The face represents the image of God” yang artinya wajah adalah representasi Tuhan kepada kita kenapa harus ditutupi. Jadi faktor agama dalam mengatasi susahnya menangani pandemi bukan monopoli terjadi di negara kita saja, namun juga di negeri adi daya dan demokratis.
Yang terakhir adalah faktor budaya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang suka kumpul-kumpul. Baik pria atau wanita, muda maupun tua semuanya hoby ngumpul. Dari cuma sekedar bapak-bapak kumpulan RT, orang yang suka ngobrol di angkringan atau nongkrong di cafe, sampai para kumpulan sosialita, saat ini kondisinya sudah tidak sabar lagi untuk mengadakan kumpul-kumpul lagi. Jadi kedisplinan untuk mematuhi aturan tidak boleh berkumpul sementara waktu benar-benat sedang diuji.
Faktor memahami budaya menjadi hal yang sangat penting untuk dijadikan pegangan sebelum mendesain dan menerapkan aturan. Kita tidak bisa sekedar meminta orang untuk mematuhi aturan yang diterapkan, namun kita harus memahami lebih dulu sifat budaya dan karakter masyarakat karena sifatnya multi dimensional. Sebagai contoh adalah sifat maskulinitas yang cenderung melekat pada sifat laki-laki. Dalam konteks pendemi ini mereka yang menolak pemakaian masker terkait dengan faktor maskulinitas. Di USA prosentase pria yang terjangkit covid-19 lebih banyak dibanding wanita, dan itu relevan dengan adanya penolakan memakai masker karena alasan maskulinitas. Dan parahnya faktor maskulin ini banyak terjadi juga di negara kita. Para pria merasa dirinya kuat dan tidak mau memakai masker karena takut dianggap lemah.
Lalu usia tertentu juga ada hubungannya dengan penolakan memakai masker. Mereka yang tidak mau memakai masker sering dipraktikkan oleh kelompok usia tertentu. Semisal banyak tempat nongkrong saat ini sudah dipenuhi oleh pengunjung dengan tidak disiplin memakai masker, dan itu terjadi bukan hanya di kota-kota besar namun juga di pelosok. Semuanya itu perlu diidentifikasi dan untungnya mereka tidak resisten secara membuta, jadi masih ada peluang untuk melakukan pendekatan agar tidak tercipta OTG-OTG baru bermunculan.
Kemudian faktor gender & lifestyle juga berpengaruh besar dalam masalah kedisplinan. Di saat banyak yang sudah merasa bosan terkungkung di rumah terus menerus, pada gender tertentu dan mereka yang mempunyai lifestyle untuk menunjukan eksistensinya ada kecenderungan untuk melanggar aturan dan kedisiplinan menjadi hilang. Yang perlu diwaspadai adalah komunitas-komunitas akan semakin banyak berkumpul di masa new normal. Jadi perlu identifikasi lebih detil kelompok mana yang akan semakin banyak berkumpul. Perlu mekanisme yang spesifik karena setiap daerah pasti berbeda identifikasinya.
Faktor etnisitas dan geografi juga harus menjadi perhatian kita. Karena pada etnis tertentu memiliki kecenderungan untuk resisten terhadap banyak hal seperti pemakaian masker. Ambil contoh pengambilan paksa jenazah yang terpapar virus corona yang terjadi di kalangan etnis tertentu. Cara pandang mereka terhadap perlakuan jenazah yang menjadi penyebabnya. Apabila jenazah dikubur tidak sesuai dengan keyakinan mereka, pastilah mereka menolaknya. Maka ini perlu pemahaman yang sangat detil, setiap daerah perlu memahami masyarakatnya. Negara kita adalah kosmopolitan dan multi etnis dengan karakter serta tingkat kepatuhan yang berbeda-beda, jadi perlu treatment yang berbeda pula di tiap-tiap daerah.
Hal sangat urgent yang harus kita lakukan adalah identifikasi kelompok rentan. Kelompok menengah bawah adalah salah satu kelompok rentan. Mereka pekerja keras tetapi sering tidak memperhatikan kesehatan, bahkan di saat situasi bukan pandemi seperti tidak memperhatikan makanan dan kurang istirahat. Kelas sosial atas sebenarnya sama saja, mereka banyak yang memiliki gaya hidup tidak sehat seperti kurang gerak atau jarang olah raga, makan tidak teratur dsb.
Di era new normal inilah sebenarnya sebuah kesempatan bagus buat mereka yang rentan untuk ‘membuat budaya baru’. Bagaimana kelompok yang berbeda itu mulai sadar bahwa salah satu faktor yang membuat kita bisa bertahan adalah yang pertama kedisplinan kita dan yang kedua imunitas kita. Maka bagaimana caranya kita harus membangun imunitas bersama-sama.
Hal yang membuat kita rentan lainnya adalah faktor usia. Sungguh suatu hal yang ironis bahwa usia rentan di negara kita batasnya adalah 45 tahun. Banyak negara lain pada usia 60 tahun ada yang mengatakan ‘life is just beginning’, namun di negara kita usia 45 tahun sudah dianggap tidak sehat. Jadi kita memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar. Harus ada program yang stabil untuk jangka panjang. Ada pola yang harus diubah seperti membiasakan tubuh untuk bergerak atau berolah raga. Di Korea dan Jepang warganya biasa berjalan kaki, sementara kita lebih manja. Itu yang harus kita ubah perilakunya agar tidak mudah rentan terkena suatu penyakit.
Kesimpulannya, negara harus melakukan social engineering yang harus kita sadari bersama. Sistem hidup masyarakat yang sehat harus kita tekankan, dan kedisiplinan harus ditingkatkan dengan mekanisme yang tepat sesuai dengan kategori sosialnya. Saatnya kita semua harus berlomba-lomba membuat budaya baru yang didesain secara tepat, sesuai wilayah dan struktur masyarakat. Kuncinya adalah kita semua harus mematuhinya agar kita semua bisa survive di tengah situasi pandemi ini.
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM
*) Makalah ini disampaikan dalam ‘Seminar Online Sinergi UGM-KAGAMA Seri ke-2: Perubahan Perilaku, Tantangan Untuk Membangun Budaya Tatanan Baru’ Minggu 12 Juli 2020