Oleh: Sitawati Ken Utami
Batik klasik pada umumnya selain mempunyai makna doa dan pengharapan, juga merupakan simbol ketelatenan dan ketekunan. Betapa tidak, motif-motif batik klasik khususnya batik tulis memiliki ragam hias yang berulang ulang, terpola simetris dan detail yang rumit. Bisa dibayangkan ketika jaman dahulu para pembatik menorehkan canting ke kain sedemikian teliti dari waktu ke waktu tanpa kenal lelah dan bosan.
Batik yang memiliki kekhasan pengulangan ragam hias salah satunya motif batik berawalan kata Sido. Ada beberapa jenis motif batik ini: Sido Mulyo, Sido Mukti, Sido Luhur, Sido Asih dan Sido Drajad. Ciri khas batik-batik ini berpola seperti wajik atau belah ketupat pada seluruh helai kain. Besarnya wajik tersebut kurang lebih 5 cm x 5 cm dengan garis-garis diantaranya selebar 1 cm.
Kata sido merupakan kata dalam bahasa Jawa berarti jadi atau menjadi. Dalam ejaan Bahasa Indonesia beradaptasi menjadi sida. Oleh karenanya batik yang berawalan dengan kata sido mengandung harapan atas tercapainya keinginan atau cita-cita.
Motif-motif tersebut di atas sudah ada sejak jaman kerajaan Mataram yang awalnya digunakan oleh keluarga kraton Yogyakarta maupun Surakarta. Pada perkembangannya motif tersebut dipakai oleh masyarakat luas dalam berbagai kesempatan.
Sido Mulya
Batik motif ini bermakna tercapainya kemuliaan. Dengan memakai batik ini diharapkan pemakainya akan memperoleh kemuliaan, memiliki keluarga yang bahagia dan tenteram. Selain itu pula, batik ini mengandung keinginan agar pemakainya akan mendapatkan kedudukan yang terhormat dan memperoleh kejayaan.
Pada Batik Sido Mulya, bidang-bidang geometris diisi dengan motif antara lain pohon hayat, motif kupu-kupu, motif bangunan, dan motif garuda. Batik Sido Mulyo ini memiliki kekhasan berlatar putih.
Sido Mukti
Kata mukti dalam bahasa Jawa berarti berkecukupan dan makmur. Sehingga dengan memakai batik ini pemakainya diharapkan akan menjadi seseorang yang berkecukupan dan mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
Motif ini berasal dari Mataram Kartasura, merupakan pengembangan dari motif Sido Mulyo yang berlatar putih menjadi lebih dominan warna coklat sogan. Biasanya motif ini dipakai oleh pengantin pada upacara siraman, kerikan, ijab dan panggih.
Ornamen yang terdapat pada batik Sido Mukti ini meliputi kupu-kupu dan sayap, meru atau gunung yang melambangkan kegagahan dan kemegahan, bunga sebagai lambang keindahan dan kecantikan serta tahta atau singgasana yang melambangkan kedudukan/derajat yang tinggi.
Sedangkan isen-isen atau isi di antara motif utama berupa cecekan (titik-titik kecil), sawut (garis-garis lembut), ukel (lingkaran kecil) dan cecek pitu (titik yang melingkar berjumlah 7 buah).
Sido Luhur
Kata luhur merupakan kata sifat yang berarti tinggi, agung dan terhormat. Doa dan pengharapan terhadap pemakainya bersifat luhur yang artinya memiiki kebesaran jiwa dan menjadi panutan. Oleh karenanya pemakai batik Sido Luhur diharapkan mendapatkan kehormatan dan keagungan dalam kehidupan.
Motif ini diciptakan oleh Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati, pendiri kerajaan Mataram untuk anak turunnya agar memiliki jiwa luhur dan berguna bagi banyak orang. Hasil cipta karya motif tersebut diwujudkan oleh Nyi Ageng Henis dengan konsentrasi tinggi di dalam mencanting.
Selain dipakai oleh pasangan yang melaksanakan pernikahan pada malam pengantin, batik Sido Luhur juga dipakai ketika ada upacara mitoni (peringatan tujuh bulan calon jabang bayi di dalam kandungan) agar sang ibu merasa bergembira.
Sido Asih
Kata asih berarti rasa cinta dan sayang. Batik ini merupakan simbol rasa kasih yang memberi perasaan tenteram kepada pemakainya dan lingkungan di sekitarnya.
Pada perkawinan adat Jawa, kain Sido Asih ini digunakan mempelai berdua pada saat malam pengantin. Dengan memakai Sido Asih, sang pengantin diharapkan akan menjadi pasangan yang harmonis dan menjadi keluarga yang saling menyayangi.
Pada umumnya motif pada Sido Asih ini didominasi gambar berupa tumbuhan atau daun. Namun ada perbedaan yang cukup menyolok pada Sido Asih Surakarta dan Yogyakarta. Untuk Sidoasih gaya Surakarta masih mempunyai ciri khas berbentuk wajik. Sedangkan Sidoasih gaya Yogyakarta bermotif berpola semen berasal dari kata semi. Tergambar adanya tumbuhan yang menjalar karena sedang bersemi dengan latar putih ditambah variasi gambar sayap burung.
Sido Drajad
Drajad dalam bahasa Jawa atau darajat dalam bahasa Arab berarti kedudukan yang tinggi. Harapan terhadap pemakaian batik motif ini, akan mendapatkan kedudukan dan kelas sosial yang tinggi.
Motif Sido Drajat ini lazimnya dipakai oleh pengantin baik bergaya Surakarta maupun Yogyakarta. Segala kebaikan yang diharapkan akan terjadi pada pasangan pengantin tersebut disimbolkan pada pemakaian kain tersebut.
Dalam pengamatan penulis, kekhasan batik Sido Drajad umumnya ada pada bentuk wajik yang memanjang dengan isen-isen bermotif truntum, lung-lungan (tanaman yang menjalar) dan bentuk-bentuk geometris.
Sido Mukti Batik Jawa Barat
Batik Sido Mukti ternyata tidak hanya dijumpai di pedalaman Jawa Bagian Tengah yakni Yogyakarta dan Surakara, melainkan juga dapat dijumpai di tlatah Priangan Timur. Hal ini terjadi karena adanya invasi Mataram ke Batavia dan tanah Parahyangan pada tahun 1620-1667. Pada saaat itu, lahirlah peraturan bahwa para bupati-bupati di Priangan wajib menggunakan batik yang sama dengan yang dipakai di Kerajaan Mataram, walaupun udeng masih diperbolehkan dengan memakai batik khas Sunda.
Dalam buku “Batik Pesisir Selatan” (2014), motif batik Sido Mukti yang ditampilkan dalam gambar meliputi Batik Garut: Sidomukti Kopi Tutung, Sido Mukti Malati, Sidomuktti Papatong, Sidomukti Payung, Sidomukti Sawat, serta Sido Mukti Kota Tasikmalaya.
Walaupun saat ini masyarakat luas sudah banyak menggunakan batik bermotif Sido baik sebagai kain/jarik atau sinjang, maupun busana yang sehari-hari seperti kemeja, rok ataupun gaun, pemahaman tentang keagungan motif-motif tersebut di atas perlu dipahami dan dilestarikan.
*) Dirangkum dari berbagai sumber