Kebaya sebagai Alat Pemersatu Perempuan di Asia Tenggara

Oleh: Sitawati Ken Utami

Awal tahun 2020, saya mengajak anak anak kantor beranjangsana ke negeri jiran, Malaysia. Mereka anak-anak muda sepantaran anak saya. Tujuan awal kami ke Malaysia, langsung menuju ke kota Kualalumpur mengunjungi beberapa destinasi wisata  yang sangat tenar di kalangan pelancong. Dari mulai Petronas Twin Tower, Batu Caves, Little India, Dataran Merdeka, Masjid Jameek, Bukit Bintang, dan sebagainya.

Sebagai pencinta kain dan kebaya, destinasi yang paling menarik dan belum pernah saya kunjungi yakni National Textille Museum. Di situ digambarkan detail jenis jenis kain dan busana yang dikenakan perempuan Malaysia sejak dulu kala hingga kini. Selain itu di museum juga dipajang kebaya peranakan (encim) pada manekin serta ditampilkan foto-foto kuno perempuan memakai kebaya berbagai model dipadu dengan kain batik.

Perjalananan kami tempuh dengan menggunakan transportasi publik dari satu tempat ke tempat yang lain seperti bis dan kereta api cepat (commuter line). Saya ingin selama perjalanan, kami memakai kain dan kebaya sebagai dokumentasi khusus saya sebagai pencinta kebaya. Namun demikian saya memahami mereka ingin travelling dengan memakai busana kasual, celana panjang dan kaos atau kemeja. Hingga di hari ke-3, kami menetapkan tujuan perjalanan menuju Melaka naik bis luar kota. Setelah beristirahat semalam, mulailah kami berkeliling kota Melaka.

Untuk kali ini, khusus eksplorasi kota Melaka, saya meminta mereka memakai kain dan kebaya. Sudah ada dalam benak saya Melaka merupakan kota yang terkenal sebagai kota yang masih terjaga nuansa heritage-nya. Sangat sesuai ketika kami memadukan dengan busana tradisional.

Saya memakai kebaya lurik yang dipadu dengan kain batik dari Cirebon bermotif burung dan ornamen geometris. Asadia memakai kebaya lurik juga dipadu dengan rok batik berwarna coklat sogan. Sementara Nita dan Jati memakai kebaya kembang dikombinasikan dengan kain batik warna cerah. Yang agak berbeda Dita memakai kebaya bordir putih dipadankan dengan batik biru khas Banten.

Berangkat dari hotel bersama anak-anak, menyusuri jalanan cukup berjalan kaki dengan jarak tempuh yang relatif dekat ke spot-spot cantik bersejarah. Yang paling utama kami mengabadikan jejak perjalanan di prasasti Melaka Bandaraya Warisan Dunia yag telah mendapat pengakuan oleh UNESCO.

Bukti warisan dunia yang kami lihat di Melaka diantaranya ada Bekas benteng Potugis A’Famosa, Stadthuys area Merah yang terlihat pada bangunan kolonial Belanda dan sepanjang Jonker Street yang kental dengan nuansa aneka rumah ibadah serta bangunan kuno tempat masyarakat setempat bermukim. Rumah-rumah penduduk turut serta menjadi bagian dari upaya memanjakan mata wisatawan.

Kami juga singgah di masjid yang terletak di Jonker Street (Jalan Hang Jebat) untuk sholat. Masjid yang sangat menarik perhatian saya. Bangunannya masih terlihat kuno dan tradisional. Sedangkan nama masjidnya pun masih terasa nuansa Melayu,  masjid Kampung Hulu. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1728 dengan arsitektur campuran antara Jawa, Melayu, Sumatra. Sedangkan masjid kuno lain yang sempat kami lewati bernama Masjid Kampung Keling, sangat terasa ke-Melayu-annya.

Hal yang paling relevan berkaitan antara kebaya dan Melaka yakni cerita tentang masuknya etnis Tionghoa ke Melaka yang dapat dipelajari di Baba dan Nyonya Heritage Museum. Sayang sekali kami tidak sempat memasuki museum tersebut karena keterbatasan waktu. Namun demikian penjelasan tentang museum dapat dibaca di berbagai media. Sebutan Baba dan Nyonya ditujukan kepada kaum peranakan antara Tionghoa dan Melayu. Museum tersebut merupakan rumah keluarga Chan yang ditempati secara turun temurun selama 4 generasi.

Kota Melaka mengingatkan saya pada drama serial “The Little Nyonya” yang dibuat pertama kali pada tahun 2008. Mengisahkan keluarga Huang yang kaya raya dengan setting tahun 1930 di kota Melaka dan Singapore. Dalam cerita tersebut, para perempuan digambarkan memakai busana peranakan kebaya Nyonya atau  kebaya encim dan sarung batik encim sebagaimana kain batik pesisiran di Indonesia. Warna-warna kebaya dan batik tersebut cerah dan sebagian besar mengarah ke warna pastel.

Dengan melihat  busana perempuan pada film tersebut, maka tak heranlah apabila Malaysia dan Singapura pun merasa memiliki kebaya sebagai bagian dari warisan budaya kolektif beberapa negara sekaligus. Sehingga ketika kedua negara tersebut beserta Thailand dan Brunei Darussalam bersama Indonesia mengajukan kebaya sebagai warisan budaya tak benda untuk mendapatkan pengakuan UNESCO, menjadikan kebaya sebagai alat pemersatu perempuan di negara Asia Tenggara. Manis sekali.