Kagama Health Talks #12: Penyakit Gagal Ginjal Anak, Apa yang Perlu Diwaspadai?

PP Kagama bekerja sama dengan K-GAMA Health, kembali menggelar webinar serial Kagama Health Talks melalui Zoom Meeting, Sabtu (22/10/2022). Pada seri ke-12 kali ini mengangkat topik “Penyakit Gagal Ginjal Anak, Apa yang Perlu Diwaspadai?”, menghadirkan tiga narasumber, yaitu dr. Retno Palupi, M.Sc., Sp.AK, M.Epid, Dr. apt. Teuku Nanda Saifullah Sulaiman, M.Si., dan dr. Irma Sri Hidayati, SpA., MSc. Berkenan memberikan kata sambutan adalah Ketua Umum PP Kagama, Ganjar Pranowo. Jalannya acara dipandu oleh apt. Ika Puspitasari, S.Si, M.Si, Ph.D., selaku moderator, dan dr. Theresia Handayani, M.Biomed (AAM) sebagai MC.

dr. Retno Palupi, M.Sc., Sp.AK, M.Epid.

Narasumber pertama dr. Retno Palupi menjelaskan apa itu gangguan ginjal akut (GGA) dan gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Menurutnya, GGA adalah kejadian penurunan cepat dan tiba-tiba pada fungsi filtrasi ginjal. Hal itu ditandai adanya peningkatan kreatinin serum atau azotemia dan atau penurunan produksi urin, yang mana akan mengakibatkan gangguan elektrolit pada tubuh.

Penyebab GGA secara umum bisa dibedakan menjadi tiga. Yang pertama, alirah darah yang terganggu sebelum masuk ke ginjal atau pre renal, bisa disebabkan oleh dehidrasi berat, banyak keluar darah dari tubuh, dan gangguan jantung. Yang kedua adalah masalah ginjalnya sendiri, yang disebabkan oleh intoksikasi dan gangguan di pembuluh darah. Yang ketiga adalah pasca renal yang disebabkan oleh obstruksi pada saluran ginjal, kanker atau tumor yang mengganggu aliran ginjalnya.

“Keluhan dan gejala yang menyertainya umumnya adalah volume urin yang berkurang drastis, sesak napas, lemas, penurunan kesadaran, bengkak, dan gejala infeksi lain seperti demam, batuk, serta pilek,” ujar dr. Retno.

Dr. Retno menambahkan kasus peningkatan GGA yang yang terjadi saat ini setelah diamati ternyata gejalanya atipikal atau kejadian yang tidak biasa / tidak khas. Misalnya seorang anak menderita demam, batuk dan pilek tiba-tiba mengalami oliguria atau kencingnya sedikit, namun tidak ada gejala diare dan muntah berlebihan. Itulah yang disebut dengan istilah GGAPA.

“Penyebab GGA sampai saat ini belum bisa dipastikan dan masih dalam tahap investigasi. Apakah itu disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, kemungkinan terkait Covid-19, ataukah sekedar intoksikasi,” kata dr. Retno.

Menurut dr. Retno orang tua yang memiliki anak terutama usia di bawah 6 tahun harus waspada dengan gejala penurunan volume / frekuensi urin atau tidak ada urin sama sekali, dengan atau tanpa demam. Jika menampakkan gejala tersebut dianjurkan secepatnya segera dirujuk ke faskes terdekat.

“Sebaiknya juga tidak mengkonsumsi obat-obatan yang didapatkan secara bebas tanpa anjuran dari tenaga kesehatan yang kompeten, sampai ada pengumuman resmi dari pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” pungkas dr. Retno.

Dr. apt. Teuku Nanda Saifullah Sulaiman, M.Si.

Narasumber berikutnya, Dr. Teuku Nanda Saifullah Sulaiman membahasnya dari sisi keilmuannya yaitu farmasi. Ia mengatakan kasus peningkatan GGA bisa jadi disebabkan oleh sirup obat yang diduga mengandung cemaran senyawa bernama Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Namun demikian, menurut BPOM hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan obat memiliki keterkaitan dengan kejadian GGA. Karena selain itu masih ada beberapa faktor resiko penyebabnya seperti infeksi virus, bakteri leptospira, dan sindrom peradangan multisistem pasca Covid-19.

Menurut Dr. Saifullah, sebenarnya pada kadar tertentu, senyawa EG dan DEG masih boleh terkandung dalam obat cair. DEG dan EG masih boleh terkandung di dalam obat sirup, tapi tidak lebih dari 0.10 persen. Menurut BBPOM dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.

Dr. Saifullah menjelaskan jika dua zat senyawa tersebut tidak mungkin ditambahkan oleh industri farmasi. “Industri tidak mungkin menambahkan EG dan DEG secara langsung, jadi kemungkinan terjadi cemaran,” ucapnya.

Di dalam obat sirup terdapat beberapa bahan yang dibutuhkan, misalnya seperti gliserin dan sorbitol yang sebenarnya tidak berbahaya atau dilarang dalam pembuatan sirup. Namun karena ada cemaran atau impurities yang diduga dari bahan baku tersebut, sehingga memunculkan senyawa EG dan DEG.

Mengenai pertanyaan apakah masih aman mengkonsumsi obat dalam bentuk sirup, Dr. Saifullah menyarankan sambil menunggu investigasi yang sedang berlangsung sebaiknya tidak meminum dulu obat cair atau sirup. Sebagai penggantinya kita bisa menggunakan tablet, kapsul, supositoria, dan emulsi.

“Untuk keamanan kita bersama, sirup stok lama sebaiknya tidak usah diminum, karena yang baru saja diduga bermasalah,” ucap Dr. Saifullah mengakhiri paparannya.

dr. Irma Sri Hidayati, SpA., MSc.

Narasumber terakhir, dr. Irma Sri Hidayati mempresentasikan materinya berjudul “Tatalaksana Demam pada Anak”. Intinya bagaimana kita sebagai orang tua menyikapi demam pada anak-anak secara bijak dengan pilihan obat yang harus diwaspadai.

Dr. Irma mendefinisikan demam adalah peningkatan suhu tubuh di atas normal akibat kenaikan thermostat dari pusat termoregulasi di hipotalamus. Penyebabnya secara garis besar bisa dibagi menjadi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri / virus / jamur / parasit, penyakit non infeksi seperti gangguan imunitas, gangguan metabolik, gangguan endoktrin, efek samping vaksinasi, cedera jaringan, dan genetik, serta pengaruh obat.

“Perlu diingat bahwa demam bukanlah suatu penyakit, tapi respon tubuh normal (fisiologis) yang berguna dalam melawan proses peradangan,” jelasnya.

Dr. Irma melanjutkan materinya tentang seputar mitos dan fakta tentang demam pada anak. Mengenai anak dapat diberikan pengobatan alternatif seperti aroma terapi, akupuntur, refleksiololgi, kiropraktik, osteopati, dan penyembuhan spiritual, hal itu belum didapatkan bukti ilmiah yang kuat untuk menurunkan demam.

Perlu kehati-hatian dalam pemberian antibiotik, karena sebaiknya hanya diberikan pada kasus penyebabnya adalah infeksi bakteri. Hindari pemberian antibiotik yang irasional.

Kurang tepat jika saat demam anak tidak boleh mandi. Mandi air hangat diperbolehkan dan dapat membantu menurunkan demam setelah meminum obat penurun panas.

Lalu, ada keyakinan anak dapat diberikan kompres menggunakan bawang merah untuk menurunkan suhu tubuh. Hal itu ternyata belum didapatkan bukti ilmiahnya.

Di akhir pemaparan, dr. Irma memberikan kesimpulan presentasinya, yaitu demam gejala awallah yang menandakan proses peradangan dalam tubuh. Penyebab demam bisa dibedakan menjadi infeksi dan non infeksi. Demam bukanlah suatu penyakit akan tetapi respon tubuh normal yang berguna dalam melawan proses peradangan.

“Tujuan utama tatakelola demam adalah menjaga kenyamanan pasien dan mewaspadai kemungkinan timbulnya tanda-tanda yang mengarah kepada kondisi yang berat dibandingkan penekanan terhadap menjadikan anak normotermia,” pungkas dr. Irma.

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: