Kagama Fotografi 22: Beawiharta Bercerita tentang Fotografi Masa Kini

Dalam rangka merayakan Dies Natalis ke-72 UGM, PP Kagama bersama Kagama Fotografi menggelar webinar spesial Minggu (19/12/2021), menghadirkan narasumber Beawiharta yang bercerita banyak tentang fotografi masa kini. Berkenan memberi kata sambutan, Ketua Umum PP Kagama, Ganjar Pranowo. Jalannya acara dipandu oleh Muthe Muthiah dari Humas PP Kagama.

Beawiharta

Di awal pemaparan, Beawiharta yang akrab disapa Bea, mengatakan saat ini adalah jaman keemasan fotografi. Semua orang bisa memotret, semua orang mau dipotret, semua orang menjadi fotografer.

Perjalanan Bea menjadi seorang fotografer tak lepas dari latar belakangnya yang suka mendaki gunung. Kebiasaanya di alam terbawa menjadi kebiasaanya dalam dunia fotografi.

Pada awal karirnya dulu Bea sempat menjadi fotografer komersial. Meski hasilnya sangat besar, namun lama-lama dirasakan membosankan tidak seperti dunia jurnalistik. Faktor banyaknya kejutan di jurnalistik adalah daya tarik utamanya.

Memotret konflik sangat menarik perhatian Bea. Memotret kerusuhan tahun 1998 di Jakarta membawanya bekerja di Reuters yang merupakan salah satu kantor berita terbesar di dunia. Di situ mulailah ia memotret konflik demi konflik di seluruh Indonesia, seperti konflik Ambon, Aceh, Sampit, Papua, Timor Timur, dll. Berpengalaman memotret konflik di Indonesia, sempat membawanya berpetualang ke Afghanistan tahun 2001.

Menurutnya tidak ada standar baku untuk memotret konflik. Bea hanya membawa pengalamannya naik gunung untuk memotret konflik. Langkah-langkahnya sangat mirip, seperti bagaimana mengenal orang lain, bagaimana mengatur rute, dsb.

Saat itu fotografi masih jaman analog. Ketika jaman digital datang ada yang memprediksi bahwa jurnalisme akan mati, karena orang akan lebih tertarik kepada video.

Berikutnya datang apa yang disebut Bea jaman smartphone attack yaitu ketika Android tercipta. Ketika era smarphone tiba, orang malas membaca berita namun lebih suka melihat visual. Jadi mulai saat itu di Reuters fotografer diharuskan membuat foto series untuk menceritakan sebuah peristiwa. Sudah tidak jamannya reporter hanya mengirim satu foto tunggal.

Berikutnya Reuters mengambil kebijakan harus mulai memproduksi multi media, karena orang akan berpindah membaca dari media cetak ke media online. Sejalan dengan hal itu maka semua fotografer dipaksa harus bisa menulis dan dikasih target per tahun berapa tulisan. Fotografer harus bisa bercerita lewat foto-fotonya.

Lalu tibalah era media sosial yang dianggap ancaman atau musuh oleh Reuters, karena bersifat instan, tanpa verifikasi dan dua arah. Ada ketentuan dari Reuters, foto-foto mereka tidak boleh keluar di medsos pribadi.

Namun Bea pernah mengalami perkecualian khusus ketika ia memotret anak-anak sekolah untuk pulang pergi ke sekolahnya harus bergelantungan pada jembatan rusak di daerah Pandeglang, Banten, yang kemudian terkenal dengan julukan jembatan ‘Indiana Jones’. Ia secara khusus minta ijin kepada Reuters untuk memposting potonya tersebut di medsos miliknya, tujuannya supaya banyak yang peduli.

Dan betul juga ketika orang-orang melihatnya di postingan FB, respon yang diterima sungguh luar biasa. Banyak LSM yang mengontaknya dan bersedia untuk memperbaiki jembatan. Sekitar 3 bulan kemudian akhirnya terwujud jembatan baru yang tidak membahayakan anak-anak sekolah lagi.

Dari kasus tersebut membuat Bea tersadar bahwa efek medsos sedemikian dahsyat. Mulailah ia semakin aware dengan medsos. Ia percaya betul medsos punya pengaruh yang sangat besar dalam ilmu komunikasi.

Selanjutnya, menurut Bea tibalah jaman the power of citizen journalism, era di mana semua orang sudah bisa memotret baik memakai HP atau kamera DSLR / mirrorless. Foto tunggal akan diproduksi oleh semua orang. Reuters harus membikin foto series karena ranah foto tunggal sudah dikuasai oleh citizen.

Ketika belum jamannya citizen journalism, Bea harus mencari foto-foto yang dibutuhkan pada fotografer yang dikontrak Reuters atau istilahnya stringer. Setelahnya sumber foto bisa dari stringer atau citizen. Contohnya saat erupsi Gunung Agung di Bali tahun 2017, ketika tak satupun stringer yang bisa mendapatkan foto dalam waktu singkat, Bea berburu foto di Instagram dan berhasil menemukan foto yang sangat bagus.

Bea melihat hal itu sebagai kekuatan citizen yang sangat besar untuk menghasilkan foto tunggal. Citizen bisa lebih unggul karena siapa yang berada di lokasi kejadian ialah yang pertama kali mendapatkan gambar.

Bagi Bea fotografi adalah bahasa dan alat bercerita. Dulu kita mengenal bahasa narasi, sekarang bahasa visual. Anak-anak generasi sekarang lebih paham bahasa visual lebih dulu dibanding bahasa tulis.

“Saat ini visual adalah bahasa. Jadi kita berkomunikasi bisa lewat narasi atau visual. Reuters yang berbisnis komunikasi mensyaratkan jurnalisnya harus bisa bikin cerita agar komunikasi tercipta. Jika tidak bisa ya tidak dipakai lagi,” ucap Bea.

Hari ini fotografi bukan hanya urusan komunikasi media sosial dan media mainstream, namun juga alat untuk berjualan. Semua orang bisa memotret sekarang dan bisa memanfaatkan untuk apa saja.

“Fotografi sudah menjadi kebutuhan primer saat ini. Fotografi mengalami jaman keemasannya di mana orang bisa eksis atau mencari uang dari memotret,” demikian pungkas Bea.

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: