PP Kagama kembali menyelenggarakan kegiatan Kagama Berbudaya yang pelaksanaannya pada hari Minggu (28/3/2021) sudah memasuki seri ke-3. Webinar menghadirkan tema “Pengenalan Wayang Gagrak Ngayogyakarta” berlangsung melalui aplikasi Zoom meetings dan disiarkan langsung di kanal Youtube Kagama Channel. Webinar menghadirkan tiga narasumber, yaitu Ki Drs. Prijo Mustika (Dewan Kebudayaan DIY), Ki Gondo Suharno, S.Sn (Dalang), dan Ki Faizal Noor Singgih, S.T.P (warga Kagama pelaku seni). Kata sambutan disampaikan oleh RA. Belinda A. Margono (PP Kagama) dan bertindak sebagai keynote speaker adalah KPH Notonegoro (KHP Kridhomardhowo Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Jalannya acara dipandu oleh RM Donny S. Megananda (Museum Wayang Kekayon Yogyakarta).
KPH Notonegoro sebagai keynote speaker mengapresiasi kegiatan Kagama Berbudaya yang mau mengangkat kembali Wayang Gagrak Ngayogyakarta. Yogyakarta dan kebudayaan adalah dua sisi yang selalu berkaitan termasuk kaitan historis dan kultural yang melekat pada Universitas Gadjah Mada. Seni melekat dalam nadi kehidupan masyarakat Yogyakarta terutama seni pertunjukan.
“Seni pertujukan tersebut ialah wayang, secara gaya, Yogyakarta cukup tertinggal dari Surakarta terutama pada wayang orang. Wayang orang dari Surakarta sudah jauh lebih dulu dikomersial kan sehingga dinamis perkembangan dengan ditambahkan berbagai variasi dan kreativitas. Perbedaan tersebut juga terdapat pada wayang kulitnya, wayang kulit Surakarta sudah lebih maju daripada wayang kulit Yogyakarta. Hal tersebut jika ditarik secara historis, hasil dari perjanjian Jatisari yakni perjanjian tentang perbedaan dua entitas antara Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta berusaha mengembangkan kebudayaannya, sedang Yogyakarta lebih melestarikan budaya yang berasal dari Mataram.” ujar KPH Notonegoro, alumnus S1 Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Menurut Kanjeng Notonegoro, Kraton Ngayogyakarta sudah melakukan upaya untuk membangkitkan awareness / kesadaran dalam melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya termasuk Wayang Gagrak Yogyakarta. Mengikuti perkembangan zaman, Kraton Ngayogyakarta sudah melakukan digitalisasi terhadap wayang-wayang kagungan ndalem, sebanyak 500-an wayang.
“Perkembangan wayang gagrak Yogyakarta dapat berlangsung secara dinamis ditentukan bagaimana masyarakat Yogyakarta dalam mengapresiasi seni pertunjukan wayang sehingga membangun fanbase atau kegemaran dalam menikmati pertunjukan wayang gagrak Yogyakarta.” demikian pungkas Kanjeng Notonegoro.
Narasumber pertama, Ki Prijo Mustika menyampaikan materinya dengan judul “Menjaga dan merawat Wayang Kulit Gaya Yogyakarta”. Ki Prijo memulai dengan pengantar bahwa khazanah pustaka wayang kulit gaya Yogyakarta masih terbilang langka. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sudah merintis penerbitan wayang kulit gaya Yogyakarta dalam bentuk wayang dan naskah ceritanya. Naskah cerita ditulis oleh (alm) Dr. Sunarto dengan disertai ilustrasi gambar yang disungging Wedana Perwitoguna yang lebih populer dengan nama BP Sagio. Buku edisi pertama diterbitkan tahun 2004 oleh Kantor Perwakilan DIY di Jakarta dan edisi kedua diterbitkan tahun 2019 oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) DIY.
“Latar belakang sejarah wayang kulit Yogyakarta tidak lepas dari kaitan historis berdiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1755. Wayang Kulit Gaya Yogyakarta sendiri diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan tokoh wayang Arjuna yang dikenal dengan nama Kanjeng Kiai Jayaningrum. Sejara wayang kulit Yogyakarta erat kaitannya dengan kisah Pangeran Mangkubumi yang meninggalkan Kraton Mataram di Surakarta diikuti oleh abdi dalam kinasih yang ahli menatah dan menyungging wayang kulit yakni bernama Jayaprana dan anaknya, Jaka Penatas”. ujar Ki Prijo.
Bentuk dan ciri wayang kulit Yogyakarta berbentuk seperti orang yang sedang menari / berdiri / mempunyai gradasi warna yang khas dalam sunggingannya, Berbentuk gunungan dengan ciri khas blumbangan atau kolam, Adanya tokoh Denawa yakni raksasa dengan dua mata, wayang gagahan tokoh Gatotkaca dengan kaki jinjit, wayang wanara Hanoman dengan dua mata, dan wayang Dewa Ruci. Wayang kulit Yogyakarta juga musti dijaga dan dirawat kualitas bentuknya agar tetap eksis dan tentunya dilestarikan.
Menurut Ki Prijo, pelestarian budaya meliputi perlindungan, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan harus terus dilakukan karena secara historis tidak bisa dilepaskan dari berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton Ngayogyakarta mendirikan Habibranda (Hanggiyarake Biwara Rancangan Dalang hingga kini berkontribusi melahirkan dalang lima sampai tujuh orang tiap tahun, sejak didirikannya Gedung Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tempat dilatihnya para dalang wayang kulit gagrak Yogyakarta pada tahun 1959. Perhatian tidak kalah pentingnya juga pada peran dalang sebagai sutradara, pemain utama sekaligus manajer pertunjukan.
Hingga sampai saat ini jumlah dalang wayang gagrak Yogyakarta berjumlah 325 dalang yang tergabung dalam PEPADI DIY. Adanya wadah pembinaan pendalangan untuk anak-anak, remaja dan kalangan muda dalam Paguyuban Sukrokasih dengan anggota binaan berjumlah 60 orang. Peran pendidikan formal di SMK 1 Yogyakarta dan ISI Yogyakarta yang memiliki jurusan ilmu pendalangan sangat penting.
“Mengutip dari sastrawan Umar Kayam yang mengatakan membaca, menonton dan memahami wayang kulit sama dengan membaca, menonton dan memahami sejarah manusia Jawa. Menjaga dan merawat wayang kulit gaya Yogyakarta memiliki masa depan cerah dengan tanpa lengah mengantisipasi ancaman degradasi budaya global.” pungkas Ki Prijo menutup presentasinya.
Narasumber kedua, Ki Gondo Suharno menyampaikan materi dengan judul “Wayang Golek Menak & Khazanah Wayang Gaya Yogyakarta”. Wayang Golek di Yogyakarta dan kaitannya dengan serat menak yang menceritakan Amir Ambiyah yang mengadopsi cerita dari Persia berjudul asli “Hikayat Amir Hamzah” yang kemudian masuk ke Nusantara. Pementasan wayang golek tidak sesuai dengan naskah dikarenakan nama tokoh, daerah dan peristiwa sudah disesuaikan dengan tempat dimana pertunjukan wayang golek tersebut digelar. Cerita serat menak sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-18 namun dalam perkembangannya serat menak menjadi serat menak bronto paska perjanjian Jatisari antara Yogyakarta dan Surakarta.
“Secara historis, jika ditarik akarnya, wayang golek diciptakan oleh Sunan Kudus dengan naskah cerita serat menak dan berkembang pesat di area Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tahun 1950 – 1960, pertunjukan wayang golek dengan serat menak menjadi populer di Yogyakarta dengan dibawakan Dalang asal Kulonprogo, Ki Regud Widi Prayitno.” ujar Ki Gondo, alumnus program studi Ilmu Pendalagan ISI Yogyakarta.
Menurut Ki Gondo, perkembangan wayang golek terus berlanjut di tahun 1970-an, namun mengalami penurunan akibat persaingan pementasan antara wayang golek dengan wayang kulit dan sisi lain jumlah dalang wayang golek yang berkurang. Hingga tahun 1980-an, eksistensi wayng golek di masyarakat Yogyakarta sudah mulai hilang. Namun, wayang golek yang semula merupakan kesenian yang dekat dengan masyarakat dan keraton bertransformasi menjadi sarana pertunjukan untuk turis mancanegara yang sering dipentaskan diberbagai hotel di Yogyakarta. Berlanjut pada tahun 1990-an hingga tahun 2000-an kembali mengalami kemerosotan hingga saat ini.
“Harapannya wayang golek dapat bertahan sepanjang zaman dengan mengikuti perkembangan teknologi dan media dalam pementasan wayang golek, naskah cerita yang menarik dan kemasan pertunjukan yang unik dapat menarik minat generasi muda untuk melestarikan wayang golek gaya Yogyakarta tersebut.” pungkas Ki Gondo mengakhiri ceritanya.
Narasumber terakhir, Ki Faizal Noor Singgih menyampaikan presentasinya dengan judul “Pagelaran Wayang dan Ubarampe Sajiannya”. Ki Faizal menceritakan konsep dan penataan pementasan wayang yang disiarkan langsung di salah satu stasiun televisi di Yogyakarta. Wayang harus ditata dengan baik agar menunjang pementasan wayang yang menarik untuk ditonton oleh khalayak umum. Seperangkat alat dan perlengkapan seperti gawang kelir, debog, simpingan, kendhaga, dan seperangkat gamelan diperlukan untuk mengiringi pementasan wayang dengan memperhatikan ukuran-ukuran tertentu agar dalang lebih nyaman dalam mementaskan wayang atau mayang.
“Ukuran-ukuran tersebut seperti contoh gawangan kelir dengan ukuran 4,5 – 5 meter, simpingan berada diluar jagadan, dan penataan simpingan memerlukan keahlian khusus agar wayang dapat rapi dalam penataannya, terlihat lurus dan tidak bergelombang.” ujar Ki Faizal, alumnus lulusan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Menurut Ki Faizal, Penataan blencong juga perlu diperhatikan agar menghasilkan efek bayangan yang bagus dan dapat terlihat jelas oleh penonton. Pertunjukan wayang sebenarnya adalah penyampaian cerita dengan menggunakan media bayangan. Tatakan kelir diperhatikan dalang bisa memastikan wayang sudah tertancap baik dan rapi dalam menyampaikan cerita pewayangan. Sipating dalang perlu diperhatikan seperti dalam menyampaikan cerita pewayangan bersuara dengan lantang, percaya diri dengan mengetahui tentang olah budaya dan seni (karawitan, olah suara, sastra, tatah sungging, tari, drama, tatakrama dan sebagainya.
Ki Faizal menjelaskan struktur pagelaran juga dikemas dengan 7 adegan yang dilakukan dalang. Dimulai dari jejer 1 yakni pasewakan, kondur ngadhaton, paseban jawi, budhalan, perang ampyak/ kembang. Jejer 2 diantaranya pasewakan, budhalan dan perang gagal. Jejer 3 diantaranya, pasewakan, budhal, dan goro-goro. Jejer 4 yakni, pasewakan, budhalan, dan perang begal. Jejer 5 yakni, pasewakan, budhal dan perang tandang. Jejer 6 yakni pasewakan, budhalan dan perang bubruh. Yang terakhir Jejer 7 yakni pasewakan, panutup dan tanceb kayon.
“Sesaji wayangan juga disediakan sajian kuliner berupa buah pisang sebanyak setandan dan kuliner khas Yogyakarta sebagai simbolisasi doa untuk semua yang hadir pada pementasan wayang agar diberi keberkahan dan keselamatan.” pungkas Ki Faizal mengakhiri presentasinya.
Harapan dari keempat pembicara adalah upaya yang dilakukan dalam mengembangkan serta melestarikan kebudayaan dan kesenian, dalam hal ini wayang merupakan tanggung jawab kita bersama yang tidak lepas dari sifat luhur masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah dasar Republik Indonesia. [arma]
*) Materi webinar selengkapnya bisa dilihat di Youtube Kagama Channel: