Berdamai dalam Pesangon PHK karena Covid-19

Oleh: Wisnu Kuncoro Condro Kartiko

PHK karena Covid-19 sulit dihindari

Penyebaran Virus Corona (Covid-19) tidak hanya mempunyai dampak kematian namun juga menyebabkan kehilangan pekerjaan bagi berjuta karyawan. Hal ini dikuatkan dengan data PHK Kementrian Tenaga Kerja bahwa per tanggal 2 Juni 2020 sudah mencapai 3,05 juta dan jumlah tersebut diperkirakan akan naik mencapai 5,23 juta pegawai dari 116.370 perusahaan yang telah merumahkan maupun memutuskan huubungan kerja karyawannya.(data dari CNN Indonesia-Ekonomi, per 1 Mei 2020). Diduga data ini akan semakin bertambah karena dunia penerbangan, kereta api, perkapalan, bus antar kota, perhotelan, gedung persewaan kantor, mall dan restoran telah diminta pemerintah untuk tidak beroperasi secara penuh dan hanya diijinkan beroperasi hanya dengan 50% kapasitas yang dipergunakan karena program PSBB. Perlu diketahui bahwa data menurut CNN ini belum termasuk sector Informal/UMKM yang dilarang berdagang dipasar maupun dijalanan. Bilamana  UMKM ini dimasukkan maka menurut Kadin bisa mencapai 15 juta orang yang kehilangan pekerjaan.

Sebenarnya PHK adalah langkah Pamungkas setelah segala upaya efisiensi dilakukan seperti meniadakan lembur, mengurangi shift dan jam kerja, merumahkan karyawan dengan gaji 50%, mengurang fasilitas Manajer dan Direksi. Hal ini sesuai dg UU no 13, th 2003 (Pasal 151 bahwa PHK seharusnya dihindari, boleh dilakukan setelah ada bukti-bukti usaha efisiensi untuk menghindari terjadinya PHK.. Meskipun Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Ketenakerjaan untuk melindungi karyawan (Menaker No.3/HK.04/III/2020) yang isinya meminta perusahaan untuk membayar upah penuh selama pekerja terpapar Covid-19, ODP & PDP. Namun hal ini perlu diteliti apakah pengusaha benar-benar mentaatinya terutama didalam situasi pandemic Covid-19 saat ini?.

Keberatan Pengusaha

Sebelum adanya Pandemi Covid-19 setiap kasus PHK selalu merujuk kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan RI no.13 tahun 2003 tersebut walaupun Apindo sudah menyatkan keberatannya mengenai pesangon yang diatur dalam pasal 156. “itu sudah berungkali kami ajukan kepada pemerintah, itu pesangon mencekik perusahaan dan hampir semua perusahaan tidak bisa melaksanakan bahkan hal itu yang membuat investor padat karya enggan masuk ke Indonesia dan memilih lari ke Vietnam karena melihat besarnya pesangon yang harus dibayar” ungkap Frans Kongi, ketua Apindo Jateng.

Sebenarnya apa yang membuat keberatan pihak Apindo terhadap isi pasal 156  yang adalah dipermasalahkan sebagai berikut:

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima

(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:

  1. Masa kerja kurang dari satu tahun, 1 (satu) bulan upah;
  2. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  3. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah
  4. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah
  5. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah.
  6. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah.
  7. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
  8. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapant) tahun, 8 (delapan) bulan upah.
  9. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilant) bulan upah.

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

  1. Masa keja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. Masa keja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. Masa keja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. Masa keja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. Masa keja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. Masa keja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. Masa keja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah;

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) meliputi :

  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pakerja/buruh diterima bekerja;
  3. Pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas per seratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
  4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(5) Perubahan perhitungan pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Namun setelah adanya pandemik ini, keberadaannya/vaiditas dari UU tersebut banyak dipertanyakan karena ketidakmampuan pengusaha untuk memenuhi kewajiban yang diatur di dalam Undang-Undang tersebut. Permasalahan muncul ketika pengusaha tidak mampu membayar sesuai dengan pasal156 (perhitungan  Uang Pesangon &  Masa Kerja serta Uang penggantian Hak) & pasal 164 UU Ketenagakerjaan RI no 13 yang isinya:

  • Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat 2 (dua) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan  Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
  • Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan  dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan public.
  • Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Keputusan Pemerintah

Melihat ketidakmampuan pengusaha/perusahaan untuk membayar jumlah pesanggon PHK sesuai Pasal 164 diatas disertai prediksi ekonomi yang semakin memburuk maka Pemerintah memunnculkan ayat ke empat pada pasal 164 yaitu “perlunya kesepakatan antara Pengusaha dengan Serikat Pekerja atau Pekerja yang bersangkutan”(Kompas.dotcom, 14/4/2020). Bahkan tidak cuna itu, Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa Pandemi Covid-19 adalah kejadian luar biasa yang bisa dianggap sebagai Bencana Nasional atau dalam istilah hukum dikenal sebagai alasan kahar/ force majeure dan bisa beraimplikasi PHK bagi karyawam (Keppres:  Nomor 12  Tahun 2020)yang berlaku sejak tanggal 13 April 2020.

Pengusaha “di atas angin.

Keppress tersebut bisa  berdampak bahwa pihak pengusaha akan  berada diatas angin karena bisa berlindung pada pandemi yang sedang terjadi (mengakibatkan kebangkrutan banyak perusahaan diseluruh dunia) maupun adanya Keppres tersebut..Sehingga ada pengusaha yang melakukan PHK tanpa memberikan pesangon. Hotman Paris, lawyer kelas atas, berpendapat bahwa Force Majeur dalam pengertian hukum adalah alasan sah bagi seseorang untuk tidak membayar kewajibannya (upah dan pesangon). Pertanyaan yang muncul adalah “apakah alasan ini bisa dipakai majikan (perusahaan) untuk tidak membayar pesangon karyawan?. Itu belum ada presedennya. Kalau force majeure dalam bidang bisnis antara debitur dengan bank sudah banyak presedennya. Tapi antara majikan dengan (pengusaha) dengan pegawai kaitannya untuk upah dan pesangon belum ada presedennya”, tuturnya dalam telekonferensi bertajuk Perlindungan Hukum untuk UMKM di Masa Krisis/(Detik Finance 11/05/2020).

Sedangkan untuk kasus PHK karyawan kontrak (PKWT) akan mengacu kepada pasal 62 yang berbunyi“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka watu perjanjian kerja”Disini sudah jelas aturan mainnya.

Potensi Dispute

Permasalahn timbul bilamana dalam kasus PHK karena Covid-19 perusahan tidak mau membayar ganti rugi. Misal kontrak setahun baru berjalan dua bulan perusahaan memPHK karyawan kontrak tersebut tapi tidak mau membayar ganti rugi sepuluh bulan kali upah karyawan tersebut, tentu saja pasti terjadi dispute. Begitu juga bila pengusaha mencoba memberikan pesangon seminimal mungkin terhadap Karyawan Tetap yang terPHK karena ketidak mampuan cashflow perusahaan.

Karyawan “di bawah angin

Bilamana terjadi dispute  maka yang akan banyak dirugikan adalah para karyawan yang terPHK karena adanya proses hukum yang tidak sederhana.yang harus dilalui korban PHK saat hendak menuntut perusahaannya. Dia harus minta bantuan Serikat Pekerjanya, kemudian melapor ke Disnaker yang akan melakukan mediasi dengan pihak majikan. Kalau si pengusaha menganggap remeh dengan alasan sedang berusaha untuk perusahaan tetap berjalan, maka dia harua membawa masalahnya ketingkat pengadilan perburuhan (Pengadilan Hubungan Industrial), bila disini belum bisa putus kasusnya harus dibawa ke Mahkamah Agung. Sehingga proses perkara perselisihan perburuhannya bisa memakan waktu sampai 1-2 tahun. Selama kurun waktu mengurus prosesnya, si karyawan tersebut sudah tidak punya gaji lagi dan membawa resiko kalau kalah di pengadilan Mahkamah Agung.

Profesional HR/HC sebagai Juru Damai

Oleh karenanya untuk menekan kasus perselisihan industrial karena Keppres no 12 Tahun 2020 dan melindungi para pekerja agar tidak dirugikan serta lebih bersifat “fair”bagi pengusaha (perusahaan) agar tetap dapat menjalankan perputaran roda bisnisnya, maka tetap diperlukan suatu pedoman mencapai titik temu antara tuntutan karyawan terPHK dengan kemampuan pengusaha, sebagaimana ayat tambahan pada pasal 164; “perlunya kesepakatan antara Pengusaha dengan Serikat Pekerja atau Pekerja yang bersangkutan”. Maka, penulis sebagai praktisi Human Resources di perusahaan Swasta, BUMN dan Multi nasional dengan pengalaman lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun serta telah menangani PHK lebih dari 400 kasus, mengajak rekan-rekan seprofesi untuk mengusulkan titik temu agar bisa menjembatani terjadi kesepakatan dimaksud sebagai berikut:

  1. Besaran uang PHK hanya mengacu pada perhitungan pesangon berdasarkan penghargaan masa kerja, Pasal 156 ,ayat (3), dengan ditambahkan klausul : “masa kerja dibawah 3 (tiga) tahun mendapat 1 (satu) bulan upah”.
  2. Perhitungan berdasarkan uang pesanggon Pasal 156 ayat (2) ditiadakan.
  3. Uang penggantian hak Pasal 156 ayat (4) yang berlaku hanya butir (a) dan (b) sedangkan butir (c) ditiadakan karena sudah ada program BPJS.
  4. Untuk PKWTT (karyawan kontrak ) yang kontraknya per 1 (satu) tahun berlaku perhitungan uang pesangon sebagai berikut;
    (a) Sisa masa kontrak masih dibawah 3 bulan, 1 (satu) bulan upah
    (b) Sisa masa kontrak masih  3 (tiga) bulan sampai dengani 6 (enam) bulan, 2 (dua) bulan upah
    (c) Sisa masa kontrak lebih 6 (enam) bulan tetapi kurang dari 9 (Sembilan ) bulan, 3 (tiga) bulan upah
    (d) Sisa masa kontrak lebih 9 (sembilan) bulan tetapi kurang dari 12 (dua belas ) bulan, 4 (empat) bulan upah.

Hal ini sebagai minimal persyaratan yang kita mintakan kepada perusahaan, kalau bisa lebih dari itu tentu sangat baik bagi karyawan. Tentu bukan tugas yang mudah bagi kita sebagai eksekutor PHK, namun itu sudah termasuk resiko jabatan yang harus kita hadapi. Ukuran kesuksesan kita adalah bilamana kita mampu menciptakan win-win solution antara pihak Pengusaha dengan Karyawan.

Demikian usulan penulis semoga bisa diterima oleh pihak perusahaan, serikat pekerja dan pekerja yang bersangkutan maupun rekan-rekan seprofesi sehingga kita bisa mengurangi kasus perselisihan perindustrian.


Riwayat Penulis:

Lulus Fak Psikologi UGM tahun 1982. Mantan Kepala Seksi Perekrutan & Pengembangan Pegawai PT. Pembangunan Perumahan (PP), Kontraktor BUMN, Human Resources Officer Total Indonesie, Oil Company (Kontraktor Product Sharing antara Pertamina dg Total Perancis), Personnel Manager PT. Multi Bintang Indonesia (MBI), Senior Manager Human Resources PT. Citra Sari Makmur (CSM) Satellie &Terrestrial Provider) sampai Pensiun,. Saat ini sebagai Koordinator Kemitraan Kagama Human Capital.

Alamat: Mutiara Fatmawati Residence A/5, Jl. H. Kamang no.44, Pondok Labu, Jakarta Selatan., Email: wkck@csmcom.com , wisnusimak@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*