Bentuk-bentuk Pengajaran Sains di Negara-negara dengan Sistem Pendidikan yang Baik dan Kurang Baik

Oleh: Anindito Aditomo dan Eckhard Klieme

Penelitian ini menelaah bentuk pengajaran sains di 20 negara peserta PISA 2015, dan kaitan antara bentuk-bentuk pengajaran tersebut dengan literasi sains siswa di tiap negara. Sampel negara yang dipilih mencakup 10 negara dengan skor sains tertinggi, dan 10 dengan skor paling rendah (ya, sayangnya termasuk Indonesia). Analisis komparatif antar negara semacam ini diperlukan untuk menguatkan simpulan yang diambil, sebagaimana sebuah eksperimen perlu direplikasi sebelum temuannya dianggap kuat. Idealnya memang analisis dilakukan pada tujuh puluh sekian negara peserta PISA. Tapi proses dan hasil analisis menjadi sedemikian kompleks sehingga sulit disampaikan secara efektif dalam satu artikel.

Ada beberapa temuan utama penelitian ini. Pertama, pengajaran inquiry yg diasumsikan berdimensi tunggal ternyata terdiri dari dua atau tiga dimensi. Artinya, ada lebih dari satu macam atau bentuk pengajaran inquiry yang diterapkan oleh guru. Dua bentuk yang dominan disebut sebagai independent inquiry dan guided inquiry. Kedua bentuk pengajaran ini sama2 melibatkan aktivitas inquiry seperti analisis data dan melakukan eksperimen, namun berbeda dalam tingkat keterlibatan guru.

Kedua, meski pola independent vs guided inquiry bisa ditemukan di kebanyakan negara, pengukurannya tidak setara secara kuantitatif. Implikasinya, skor inquiry di satu negara tidak bisa dibandingkan dengan skor di negara lain. Dengan kata lain, kita tidak bisa menggunakan data PISA untuk mengatakan bahwa guru di satu negara lebih sering atau jarang menerapkan bentuk pengajaran tertentu dibanding guru di negara lain. Istilah teknisnya, skala pengajaran sains di PISA tidak memenuhi asumsi measurement invariance pada level metrik. (Sila baca artikelnya untuk mendapat penjelasan lebih detil.)

Ketiga, pengajaran inquiry berkorelasi positif dengan hasil belajar hanya ketika disertai panduan dari guru. Tanpa panduan guru, aktivitas inquiry justru cenderung berkorelasi negatif dengan hasil belajar. Temuan ini menjelaskan ketidakkonsistenan hasil2 riset sebelumnya mengenai kaitan antara inquiry dan hasil belajar pada data PISA dan TIMSS. Riset2 tsb tidak secara sistematis membedakan antara independent dan guided inquiry.

Keempat, pengajaran konseptual yang non-inquiry juga berkorelasi positif dengan hasil belajar siswa. Ini tidak mengejutkan: siswa belajar lebih banyak ketika gurunya lebih aktif menjelaskan konsep2 sains di kelas. Namun korelasi positif tersebut masih lebih lemah dibanding korelasi antara guided inquiry dan hasil belajar siswa. Artinya, pengajaran sains yang paling produktif adalah yang memadukan aktivitas inquiry dengan penjelasan konseptual guru. Pola ini konsisten terlihat pada negara dengan sistem pendidikan yang baik maupun yg masih kurang baik. Lebih umum lagi, temuan ini menunjukkan bahwa pengajaran yang baik adalah kombinasi antara aktivitas yg berpusat pada siswa dan panduan atau struktur yang dirancang oleh guru. Singkatnya, active learning requires active teaching.

Bila tertarik, silakan unduh artikelnya mumpung masih bisa diakses secara bebas di sini

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*