Menyalakan Harapan di Tengah Sunyi: Menjawab Darurat Bunuh Diri dengan Empati dan Kolaborasi

Menyalakan Harapan di Tengah Sunyi: Menjawab Darurat Bunuh Diri dengan Empati dan Kolaborasi

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, Indonesia menghadapi krisis yang kerap luput dari sorotan: darurat bunuh diri. Lonjakan kasus dalam lima tahun terakhir, ditambah stigma dan minimnya pemahaman publik, menjadikan isu kesehatan mental sebagai tantangan multidimensi yang mendesak untuk dijawab secara kolektif.

Webinar bertema “Saling Menjaga dan Menguatkan” yang digelar Kagama, organisasi alumni Universitas Gadjah Mada, menjadi ruang reflektif sekaligus ajakan konkret untuk menyalakan harapan. Dalam sambutan pembuka, Prabaswara Dewi menyoroti pentingnya pengasuhan usia dini sebagai fondasi ketahanan mental. Ia menekankan bahwa kesehatan jiwa bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab bersama—dari keluarga hingga komunitas.

Data yang dipaparkan Sulastama Raharja menguatkan urgensi tersebut. Sepanjang 2024, tercatat 1.455 kasus bunuh diri di Indonesia, dengan estimasi underreporting mencapai 859 persen. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan angka tertinggi, mencerminkan luka sosial yang belum tertangani. Secara global, Indonesia menyumbang sekitar 4.750 kematian akibat bunuh diri dari total 746.000 kasus di dunia.

Dua narasumber utama, Patricia Meta Puspitasari dan Ega Asnatasia Maharani, keduanya psikolog klinis, mengupas isu ini dari sisi komunitas dan klinis. Patricia menekankan bahwa pencegahan bunuh diri tidak cukup mengandalkan intervensi medis. Diperlukan pendekatan sosial yang inklusif, kolaborasi lintas profesi, dan kampanye anti-stigma yang berkelanjutan.

Ia memperkenalkan pendekatan 3L—Lihat, Dengar, Hubungkan—sebagai intervensi sederhana namun efektif. “Lihat” berarti mengenali tanda-tanda risiko dan menghilangkan benda berbahaya di sekitar individu. “Dengar” mengajak kita menyediakan ruang aman untuk ekspresi emosi tanpa penghakiman. “Hubungkan” mendorong individu untuk mengakses bantuan profesional atau jejaring dukungan.

Kisah nyata seorang anak 13 tahun yang berhasil mencegah upaya bunuh diri seorang dewasa menjadi bukti bahwa siapa pun bisa menjadi penyelamat. Namun, Patricia mengingatkan pentingnya menghindari sikap meremehkan, membandingkan masalah, atau memberi ceramah moral yang justru memperburuk kondisi.

Sementara itu, Ega menguraikan bahwa bunuh diri bukanlah tindakan impulsif semata, melainkan proses bertahap yang melibatkan ideasi, perencanaan, hingga eksekusi. Lebih dari 90 persen kasus memiliki riwayat gangguan psikiatri, terutama depresi. Ia menyoroti fenomena high-functioning depression—kondisi di mana seseorang tampak “baik-baik saja” namun menyimpan ide bunuh diri secara diam-diam.

Ega juga membongkar mitos yang masih mengakar, seperti anggapan bahwa depresi adalah bentuk kurang iman atau kurang bersyukur. Ia menegaskan bahwa depresi adalah kondisi medis yang kompleks dan membutuhkan pendekatan holistik, bukan sekadar nasihat dangkal.

Dalam sesi tanya jawab, peserta diajak untuk menjadi “senter”—penyinar harapan dan dukungan. Diskusi menyentuh isu pendidikan kesehatan mental sejak dini, penyalahgunaan antidepresan, serta pentingnya konseling psikologis yang terintegrasi. Narasumber menekankan bahwa semua bentuk komunikasi tentang bunuh diri, termasuk candaan atau pesan ambigu, harus ditanggapi dengan serius dan penuh empati.

Webinar ini ditutup dengan pesan kuat: pencegahan bunuh diri bisa dilakukan oleh siapa saja, melalui praktik sederhana namun bermakna. Dalam dunia yang sering kali sunyi bagi mereka yang terluka, kehadiran yang tulus dan ruang aman bisa menjadi penyelamat. Karena mencegah bunuh diri bukan hanya soal menyelamatkan nyawa, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang saling menjaga dan menguatkan.

*) Materi webinar selengkapnya bisa dilihat di Youtube Kagama Channel: