Senin (3/5/2021) pukul 15:00 -17:00 WIB, Pengurus Pusat (PP) Kagama menggelar webinar bertema Kagama Childcare & Parenting melalui aplikasi Zoom Meetings dengan judul “Peran Buku Dalam Pengasuhan dan Pendidikan Anak”. Webinar yang juga disiarkan langsung di kanal Youtube Kagama Channel, menghadirkan dua narasumber yaitu Ellen Kristi dan Sari Oktafiana. Deny Purwo Sambodo (Wasekjen 1 PP Kagama) tampil memberikan pidato pembukaan, dan sebagai keynote speaker adalah Alissa Wahid (Psikolog Keluarga & Sekretaris LKK-PBNU). Jalannya acara dipandu oleh Ekandari Sulistyaningsih sebagai MC dan Noor Aini Prasetyawati sebagai moderator.
Alissa Wahid mengatakan literasi menjadi komponen penting dalam membentuk karakter anak. Hal tersebut bersamaan dengan prioritas nasional ke-4 tentang revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Namun, literasi yang erat kaitannya dengan buku bukan hanya tentang tingkat pendidikan dan penentu skor PISA, tapi juga tentang mencetak manusia masa depan.
“Konsep Indonesia Emas 2045 merupakan visi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju dengan kualitas SDM yang unggul dalam nilai kebangsaan, integritas, etos kerja, gotong royong, sehat, cerdas, adaptif, kreatif, inovatif, terampil, dan bermartabat.” ujar putri sulung Abdurrahman Wahid tersebut.
Menurut Alissa, mewujudkan Indonesia maju juga harus melewati tantangan zaman di antara abad digital, perubahan besar akibat pandemi, VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity). Tantangan juga muncul dalam keluarga antara lain, family breakdown, kemiskinan, kekerasan, perceraian, perkawinan anak, stunting, dan kualitas individu. Perlu upaya penguatan peran keluarga dalam pembangunan manusia. Ketangguhan keluarga dilihat dari beberapa aspek di antaranya psikologis, ekologis, sosial, ekonomi dan fisik.
“Penguatan peran keluarga harus menerapkan fungsi-fungsi antara lain, fungsi pengasuhan, fungsi penanaman nilai, fungsi pembentukan karakter, fungsi pendidikan dasar, dan fungsi sosialisasi. Dan buku hadir sebagai bagian dari solusi. Hal tersebut dikarenakan buku merupakan sumber pengetahuan, membuka wawasan, mengajarkan love learning, mengajak kemandirian, menempa disiplin diri, dan awal dari kesejahteraan. Howard Gardner dalam bukunya “5 Minds for the Future” menjelaskan untuk berhasil melewati perubahan zaman dibutuhkan pribadi yang menguasai beberapa keterampilan berpikir khusus untuk menghadapi perubahan zaman. Perlu hadirnya pendidikan lebih dari sekedar general knowledge. Ada lima mindset yang dibutuhkan dalam menghadapi perubahan zaman, yakni disciplined thinking, synthesis thinking, creative thinking, respecting thinking, dan ethical thinking. Buku dapat melatih semua keterampilan berpikir tersebut.” pungkas Alissa.
Narasumber pertama, Ellen Kristi memaparkan materinya dengan judul “Mendidik Karakter Anak Lewat Buku Bermutu (Living Books)”. Berangkat dari pendidikan yang diterapkan oleh Charlotte Mason yang berfokus pada pendidikan karakter yang mencakup semua aspek kehidupan termasuk sesi akademis sebagai proses terapi karakter. Visi pendidikan yang diterapkan Charlotte Mason adalah manusia dapat berpikir tinggi namun hidup membumi (magnamity).
“Anak-anak sejak awal harus diajarkan esensi manusia bukan entitas tunggal, rasa suka/tidak suka, pertimbangan benar/tidak benar dan pendidikan karakter bertujuan untuk mematangkan nurani, kehendak dan akal budi anak. Menurut David Hicks, tujuan akhir pendidikan adalah siswa yang bukan cuma berpikir, tapi berbuat bukan cuma tahu harus mengerjakan apa tapi betul-betul mengerjakan. Senada dengan Charlotte Mason yang mengatakan “there is no education but self-education”. Yang mana akal budi membutuhkan ide-ide dan anak harus mendapatkan hal tersebut dari kurikulum pendidikan.” tutur pendiri Komunitas Charlotte Mason Indonesia tersebut.
Mengutip Charlotte Mason, ciri-ciri pustaka hidup atau living books yang bermutu untuk anak, antara lain ditulis orang yang kompeten dan mencintai bidang tulisannya, punya mutu sastrawi, ekspresi bahasa yang pas dan indah, Ditutur secara runut dan mengesankan, ilustrasinya berkarakter dan artistik, mengandung nilai menggugah namun tidak mengurui, dan tidak meremehkan kecerdasan pembaca.
“Tugas orang tua adalah memelihara kehidupan anaknya dengan asupan gagasan, sebagaimana mereka memelihara kehidupan jasmaninya dengan asupan makanan. Ayah dan Ibu haruslah menjadi inspirator bagi anak-anak karena dari merekalah terpancar atmosfer, sumber ide-ide yang dihirup anak yang membentuk sudut pandang dan seleranya seumur hidup entah pada hal hina ataupun mulia.” pungkas Ellen.
Narasumber kedua, Sari Oktafiana memaparkan materinya dengan judul “Menjadi Orang Tua Pembelajar”. Mengutip ucapan Alvin Toffler, buta aksara abad 21 bukan tentang tidak bisa membaca dan menulis tetapi tidak berkehendak belajar, tidak menanggalkan cara belajar lama yang kadaluarsa, dan tidak kembali belajar. Kutipan tersebut merupakan tantangan generasi ketika menghadapi abad 21.
“Generasi digital merupakan generasi yang lahir dan berdampingan dengan perkembangan teknologi (sekitar tahun 1990-an). Tumbuh dalam era Revolusi Industri 3.0 dan 4.0 yang memiliki sumber belajar yang melimpah. Dijejali dengan perangkat digital, smartphone dan internet serta kecerdasan buatan. Dari generasi tersebut melahirkan masyarakat post-truth yang mana masyarakat hidup dalam kondisi kenyataan atau fakta saling berkelindan dengan hoaks dan berdampak pada kesulitan memilah informasi (mana yang fakta dan mana yang bukan), terjebak pada informasi yang tidak tepat, mudah dihasut dan diadu domba (divided society), reproduksi kebohongan.” ungkap alumnus Fisipol UGM tersebut.
Menurut Sari, anak perlu diajarkan digital literasi yang terdiri atas critical thinking and evaluation, practical and functional skills, creativity, proficient communicator, curate information, e-safety, cultural and social understanding, dan collaboration. Orang tua menjadi pembelajar yang membentuk kultur belajar anak dengan metode mutual learning, meluaskan sumber belajar, mendorong anak untuk terbiasa mengamati, bertanya, mencari dan memilah informasi, dan menyampaikan temuannya.
“Literasi berbasis keluarga dengan memperluas spektrum literasi yang tidak hanya sekedar membaca buku namun menganalisis, menyampaikan suatu fenomena kondisi sosial, keadaan dan situasi serta orag tua sebagai role model bagi anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan hadirnya orang tua dalam proses belajar anak, mengenalkan bacaan baik sumber offline maupun online dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan anak.” demikian Sari mengakhiri paparannya. [arma]
) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: