Peduli kepada Petani dengan Cara yang Sederhana

Oleh: Denies Priantinah

Saat dolan ke Balai Lelang Hasil Pertanian di Tempel hari Senin (24/8/2020) dan melihat harga komoditas jerih payah petani terpuruk, saya sempat berpikir apa yang bisa saya lakukan. Saya jadi merasa useless.

Hal yang paling mudah bagi saya saat itu adalah membeli. Wis, borong wae rasah nawar. Saya membeli dalam jumlah melebihi kapasitas dapur saya. Kebetulan saat itu ada mbak yang sedang belanja untuk program canthelan, saya bilang saya mau traktir dia belanja. Melalui teman kemudian beliau menyampaikan salam dan bilang bahwa hari ini dia bisa bawa 40 kg sayur untuk canthelan.

Ketika sampai di rumah, masih kepikiran juga. Apa yang bisa saya bantu lagi. Kemudian saya posting foto saat di balai lelang yang dua hari ini direspon hampir 500 orang dan dishare 408 kali. Saya sampai bikin template untuk membalas inbox masuk yang menanyakan no kontak dan alamat, Pengurus lelang juga menyampaikan bahwa dia banyak dikontak dan ada juga yang datang ke lokasi.

Saya juga sempat njawil teman pemilik perusahaan software developer untuk mengembangkan semacam aplikasi pasar online untuk bisa mendekatkan petani ke pembeli, memunculkan informasi pasar supaya harga bisa lebih fair.

Setelah itu kemudian ada teman dan kolega yang notabene ibu-ibu membutuhkan sayuran untuk kebutuhan rumah. Kemudian belanja rombongan ini didata dan saya teruskan ke kelompok tani di sana. Saya minta supaya pesanan dikemas juga supaya mereka bisa belajar menerima order dan mengemas.

Pesanan teman-teman saya talangi dulu pendanaannya supaya petani bisa langsung menerima uang. Untuk pembayaran dari pembeli kolektif ini, saya minta untuk dikoordinir dan disampaikan nanti jika sudah ngumpul saja. Jujur, saya kurang telaten untuk handle hal printilan dan uang receh.

Alhasil pagi tadi saya bawa gerobak jadi “bakul sayur” yang ngiderin pesanan teman-teman. Seru juga sih. Banyak dapat pujian untuk kualitas sayur yang segar dan baik. Baru kali ini saya mengurusi penjualan seperti ini. Teman pemesan ada yg bilang: aku sakjane gak tega nitip gini ke mbak Denies. Saya merespon: Hei, that’s fine. I’m okay with that. Tapi tak urung ada juga kesalahan di sana sini. Belanja bu A kebawa ke tempat B, dll. Lha piye, bakul sayure sambil mikir prodi, bikin materi untuk kuliah daring, tandem ngajar dengan dosen LN, bimbingan skripsi mahasiswa, dll.

Tapi dalam hati kecil saya, saya sadar sering merasa enggan untuk ngurusi duit receh. Kayaknya Tuhan menegur saya melalui peristiwa ini. Uang receh itu bisa sumber jadi kehidupan bagi orang-orang lain untuk bertahan hidup. Bahkan saya sempat curhat ke sahabat: aku rada isin. Namun beliau bilang: Lha nolong orang kok isin? So, hari ini saya jadi GoSay alias Go Sayur. Dan ketika pulang ke rumah si Blacky mobil kesayangan masih bau cabe yang lumayan menyengat abis ngangkut 20 kg cabe.

Nah, yuk ibu-ibu yang mungkin memiliki waktu luang, kelompok PKK, Dasa wisma, dharma wanita, dlll, sambil jalan-jalan kunjungi titik-titik penjualan langsung petani untuk memotong jalur distribusi dan memungkinkan petani mengakses end user. Kita bisa lakukan belanja rombongan untuk kebutuhan lingkungan kita. Pada kondisi pandemi, sektor perhotelan, resto banyak yang tutup. Sementara petani kesulitan untuk menjual tanpa perantara dan mereka harus pasrah pada harga yang dipasang tengkulak.

Insya Allah, bisa dapat harga murah, kualitas bagus dan membantu petani tetap menjaga ketahanan pangan kita bersama. Kalau petani sampai bangkrut dan tidak bisa produksi, lalu kita mau makan apa?

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*