Oleh: Muhamad Ali*
HR Guru terkemuka Dave Ulrich membuat konsepsi atau model pengelolaan SDM (human resources) yang berfokus pada 4 hal yakni People, Processes, Operational/Day by Day Focus, dan Strategic Focus. Empat aspek ini, dalam pandangan Ulrich menjadi kunci bagi setiap organisasi dan bisnis untuk dapat memenangkan persaingan atau keluar dari jebakan stagnasi akibat perubahan lingkungan yang begitu cepat. Untuk dapat menjalankan 4 aspek tersebut, setiap organisasi, kata Ulrich, juga memerlukan 4 kelompok aktor/fungsi yang menjalankan tugas secara berbeda-beda pada setiap level di dalam organisasi yaitu Strategic Partner, Change Agent, Administrative Expert, dan Employee Champion.
Strategic Partner berfokus pada keselarasan aktivitas HR dan strategi bisnis dari suatu organisasi. Change Agent adalah tentang dukungan terhadap perubahan dan transisi yang terjadi pada area organisasi Human Capital. Fungsi dari HR adalah mendukung perubahan yang dibutuhkan dan kapasitas untuk mencapai perubahan tersebut. Sementara Administrative Expert sering dipandang sebelah mata sebagai semata-mata urusan administrasi. Padahal sejatinya lebih jauh dari itu, yakni mulai dari memastikan kualitas maksimum yang dapat dicapai dari layanan yang diberikan dengan pengadministrasian yang tepat sampai dengan menyediakan layanan berkualitas dengan biaya yang paling kecil di dalam organisasi. Sementara Employee Champion adalah pegawai/karyawan yang mampu menjadi ujung tombak yang menjaga dan melindungi kepentingan pegawai selama proses perubahan di dalam organisasi.
Lalu, bagaimana kita menempatkan model pengelolaan SDM dalam kacamata Ulrich tersebut dalam konteks pengelolaan SDM selama dan sepanjang pandemi yang telah berlangsung sejauh ini? Bagaimana suatu organisasi harus beradaptasi dengan lingkungan yang telah berubah, kebiasaan yang juga harus berubah, keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan oleh adanya aturan dan protokol baru?
Pada akhirnya, semua upaya apapun yang akan dilakukan untuk memulihkan perekonomian adalah menyangkut manusia dan cara mengorganisasikannya.
Secara individual, setiap manusia di dalam organisasi, mulai dari level puncak sampai level terendah memiliki cara pandang yang tidak selalu sama dalam menghadapi krisis yang diakibatkan oleh pandemi. Perbedaan tersebut sangat wajar. Mengapa? Karena masing-masing kebutuhannya berbeda, standarnya berbeda, cara melihat persoalan berbeda, dan respons terhadap pandemi pun berbeda-beda. Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana menyatukan cara pandang atau mindset yang berbeda-beda tersebut untuk tujuan sama yang ditetapkan organisasi.
Tujuan yang dimaksud di sini tentu juga harus diletakkan dalam tujuan skala kecil di tingkat masing-masing individu, organisasi, antarorganisasi, dan kemudian dibawa pada tujuan besar. Dengan segala konsekuensi dan risikonya, tentu saja. Pandemi menuntut cara bekerja yang berbeda dari biasanya. Pandemi menuntut cara-cara baru yang tidak biasa, justru karena sifat pandemi yang mengandung ketidakpastian tinggi.
Pertanyaannya, bagaimana manusia dapat diarahkan untuk melakukan cara-cara yang berbeda, yang tidak biasa, ketika bertahun-tahun mereka telah melakukan aktivitas dan pekerjaan tersebut sehingga menjadi suatu kebiasaan. Kata kuncinya adalah hanya menyediakan dua opsi: berubah atau mati. Jika hanya ada dua pilihan tersebut di depan setiap orang, dia akan memaksakan seluruh potensi dan kapasitasnya keluar dari zona yang telah bertahun-tahun dihidupinya. Sejarah telah menunjukkan, dalam situasi dan ekosistem yang berubah dengan drastis dan berskala besar, hanya mereka yang mampu berubah dan beradaptasi secara cepatlah yang akan dapat bertahan hidup dan lolos dari terjangan kematian. Itulah hukum besi sejarah yang sudah terbukti selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
Ketiadaan opsi lain kecuali berubah atau mati, akan memaksa setiap orang untuk mencari upaya penyelamatan. Apabila kesadaran tersebut mampu dikonsolidasikan ke level yang lebih tinggi yaitu organisasi, maka tidak ada pilihan lain juga bagi setiap organisasi untuk melakukan kolaborasi bersama-sama antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Betul bahwa antara satu organisasi dengan organisasi lainnya akan ada kompetisi untuk masuk dalam arus besar pemulihan ekonomi nasional. Betul juga bahwa antara satu organisasi dengan organisasi lain akan ada kecenderungan untuk saling mematikan. Tetapi harus ada kesadaran bersama bahwa kompetisi yang saling mematikan tidak akan membawa upaya pemulihan berjalan sesuai keinginan. Ia justru akan membawa kerusakan yang lebih besar dengan risiko korban yang juga lebih besar.
Oleh karena itu, semangat kolaborasi antara satu organisasi dengan organisasi yang lain atau antar unit di dalam satu organisasi harus diletakkan pula sebagai satu-satunya pilihan yang paling mungkin. Model dua tingkat yaitu pembentukan kesadaran baru pada level individu dan organisasi dalam pemulihan ekonomi nasional akan menentukan berhasil tidaknya upaya kita bersama keluar dari krisis/pandemi yang dikhawatirkan masih akan berlangsung panjang tersebut.
Perubahan cara dan pola kerja yang berfokus pada physical distancing misalnya, telah memaksa sebagian besar aktivitas di ruang publik dan perkantoran menjadi berkurang signifikan. Kegiatan bisnis dan pemerintahan bergeser dari yang berpusat di kantong-kantong bisnis dan pemerintahan menjadi menyebar di rumah-rumah warga. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kemudian PPKM yang terus diperpanjang sampai kondisi benar-benar aman, membuat aktivitas dalam organisasi harus ikut berubah.
Apakah pola kerja yang berubah tersebut telah menurunkan secara signifikan tingkat produktivitas para karyawan di setiap korporasi dan organisasi pemerintahan? Bagaimana pula pola kerja karyawan yang selama pandemi berubah dari yang sifatnya time based menjadi output based karena mereka harus bekerja jauh dari kantor?
*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum UGM, praktisi human capital, Direktur HCM PLN 2015-2020, dan Komisaris Pertamina EP
Leave a Reply