Polemik Pemotongan Gaji Pekerja untuk Dana Pensiun: Kajian Hukum dan Dampaknya bagi Kesejahteraan Pekerja

Oleh: Masykur Isnan, SH *)

Pemerintah sedang merumuskan kebijakan baru terkait dengan iuran pensiun tambahan yang bersifat wajib. Rencana ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memperkuat sistem jaminan sosial dan mempersiapkan pekerja menghadapi masa pensiun dengan kondisi keuangan yang lebih baik. Polemik ini mencakup ketidaksepakatan mengenai keadilan pemotongan, besaran potongan, serta keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan terkait pemotongan tersebut. Polemik ini bukan hanya mempengaruhi hubungan antara pekerja dan pemberi kerja, tetapi juga menyangkut kepastian hukum dan kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.

Selain itu, polemik mengenai pemotongan gaji untuk dana pensiun tambahan juga menimbulkan kekhawatiran terkait keseimbangan antara hak pekerja dan kewajiban pemberi kerja. Banyak pekerja merasa bahwa besaran iuran yang dipotong tidak selalu sebanding dengan manfaat yang akan mereka terima di masa pensiun, terutama jika dibandingkan dengan biaya hidup yang terus meningkat. Di sisi lain, perusahaan sering kali berada di bawah tekanan untuk memenuhi persyaratan hukum sekaligus menjaga profitabilitas. Hal ini menimbulkan dilema, di mana upaya untuk mematuhi regulasi ketenagakerjaan harus diselaraskan dengan kebutuhan finansial perusahaan dan kesejahteraan pekerja.

Oleh karena itu, diperlukan dialog yang lebih intensif antara semua pihak terkait, termasuk pemerintah, untuk memastikan bahwa kebijakan ini dapat dilaksanakan secara adil, transparan, dan memberikan perlindungan yang optimal bagi pekerja tanpa menimbulkan beban berlebihan.

Dana pensiun sendiri merupakan salah satu bentuk jaminan sosial yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja setelah mereka memasuki masa pensiun. Namun, cara pengumpulan dana tersebut, terutama melalui pemotongan langsung dari gaji pekerja, sering kali dipandang kontroversial.

Kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras, cabai, dan bawang merah, telah menambah tekanan finansial bagi pekerja. Dalam situasi ini, pengeluaran sehari-hari semakin membengkak, sehingga kewajiban membayar iuran dana pensiun tambahan akan menjadi beban yang lebih berat. Meskipun tujuan program pensiun ini adalah untuk menjamin kesejahteraan pekerja di masa depan, kenaikan biaya hidup saat ini membuat pekerja kesulitan untuk menyisihkan pendapatan mereka demi kontribusi jangka panjang, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Iuran dana pensiun tambahan yang direncanakan pemerintah akan serupa dengan Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan, dimana manfaat pensiun diterima secara berkala setiap bulan setelah pekerja memasuki masa pensiun. Perbedaannya dengan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS-TK adalah bahwa JHT dapat dicairkan sekaligus dalam bentuk tunai saat pekerja pensiun, sementara program iuran tambahan ini lebih menekankan pada pembayaran berkala untuk memastikan dukungan jangka panjang setelah masa kerja berakhir.

Iuran dana pensiun tambahan saat ini seharusnya bukan menjadi prioritas utama, mengingat manfaatnya yang baru akan terasa puluhan tahun ke depan. Dalam konteks ini, lebih bijaksana bagi pemerintah untuk fokus pada perbaikan dan optimalisasi program-program yang sudah ada, seperti jaminan pensiun Jamsostek. Alih-alih menciptakan program baru yang mungkin belum terbukti efektif, perhatian harus diarahkan pada penguatan sistem yang sudah ada agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat maksimal bagi pekerja saat ini. Dengan demikian, langkah tersebut akan lebih berkontribusi pada kesejahteraan jangka panjang masyarakat dan stabilitas ekonomi.

Sementara itu, pekerja saat ini tengah dihadapkan pada tantangan signifikan, seperti inflasi yang terus meningkat dan berbagai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam situasi yang tidak menentu ini, kebutuhan mendesak akan perlindungan sosial yang efektif menjadi semakin penting. Oleh karena itu, perhatian seharusnya dialokasikan untuk memperkuat jaminan pensiun yang sudah ada, sehingga pekerja dapat merasa lebih aman dan terlindungi dari risiko-risiko yang mengancam kesejahteraan mereka. Dengan memastikan bahwa program jaminan sosial mampu memberikan dukungan yang tepat, pemerintah dapat membantu pekerja mengatasi tekanan ekonomi yang ada, sehingga mereka dapat fokus pada produktivitas dan kontribusi mereka di tempat kerja.

Kebijakan terkait pemotongan gaji untuk dana pensiun ini diatur dalam Pasal 189 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang menyatakan:

Pasal 189

  1. Pemerintah mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum.
  2. Harmonisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengaturan Program Pensiun yang bersifat wajib.
  3. Program Pensiun yang bersifat wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup program jaminan hari tua dan program jaminan pensiun yang merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional.
  4. Selain program jaminan hari tua dan jaminan pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat melaksanakan Program Pensiun tambahan yang bersifat wajib yang diselenggarakan secara kompetitif bagi pekerja dengan penghasilan tertentu dalam rangka mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Adapun polemik yang muncul dalam pelaksanaan pemotongan gaji untuk dana pensiun umumnya terkait dengan beberapa hal: Pertama, Beban Keuangan bagi Pekerja. Pemotongan gaji untuk dana pensiun tambahan, meskipun dimaksudkan sebagai jaminan hari tua, kerap dipandang sebagai beban tambahan bagi pekerja, terutama mereka yang berada pada golongan upah rendah. Bagi pekerja dengan pendapatan minimal, pengurangan sebesar 1% saja dari gaji bulanan dapat berdampak signifikan terhadap kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan seperti inflasi yang tinggi dan kenaikan harga barang pokok, setiap pengurangan penghasilan, sekecil apapun, akan terasa membebani. Hal ini menyebabkan banyak pekerja lebih memilih untuk fokus pada kebutuhan jangka pendek, seperti biaya hidup dan tabungan darurat, daripada memprioritaskan kontribusi untuk dana pensiun yang manfaatnya baru akan terasa puluhan tahun ke depan.

Kedua, Kurangnya Transparansi dan Partisipasi Pekerja. Salah satu isu utama yang sering menjadi perhatian adalah kurangnya transparansi perusahaan dalam memberikan informasi terkait mekanisme pemotongan gaji dan manfaat yang akan diterima oleh pekerja dari iuran pensiun. Banyak pekerja merasa bahwa mereka tidak cukup dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai besaran potongan dan bagaimana dana tersebut akan dikelola di masa depan. Kondisi ini menciptakan ketidakpuasan dan kekhawatiran, terutama ketika pekerja tidak memahami dengan jelas bagaimana kontribusi mereka akan diinvestasikan atau manfaat apa yang dapat mereka harapkan. Situasi ini juga melanggar prinsip keterbukaan yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), di mana program jaminan sosial seharusnya dilaksanakan dengan melibatkan pekerja dalam proses perumusan kebijakan. Keterbukaan ini sangat penting untuk membangun kepercayaan pekerja terhadap sistem jaminan sosial dan memastikan bahwa mereka merasa dilindungi serta memiliki hak untuk mengetahui bagaimana dana mereka dikelola.

Ketiga, Ketidakpastian Manfaat Pensiun di Masa Depan. Banyak pekerja meragukan apakah dana yang dikumpulkan melalui pemotongan gaji akan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka di masa pensiun. Ketidakjelasan terkait bagaimana dana tersebut dikelola dan berapa besar manfaat yang akan diterima saat pensiun menjadi penyebab utama keraguan ini. Para pekerja merasa tidak mendapat informasi yang memadai mengenai kinerja investasi dana pensiun serta proyeksi manfaat yang akan mereka peroleh di kemudian hari. Akibatnya, muncul ketidakpuasan karena pekerja merasa pemotongan gaji yang mereka alami saat ini mungkin tidak sebanding dengan manfaat yang dijanjikan. Rasa tidak percaya ini semakin diperburuk oleh minimnya akses untuk memantau secara transparan penggunaan dan pengelolaan dana tersebut, yang seharusnya menjadi hak pekerja sebagai peserta program jaminan sosial.

Dampak Pemotongan Gaji terhadap Kesejahteraan Pekerja

Dari perspektif kesejahteraan pekerja, pemotongan gaji untuk dana pensiun bisa dilihat dari dua sisi, salah satu manfaat utama dari pemotongan gaji untuk dana pensiun adalah jaminan kesejahteraan jangka panjang bagi pekerja. Dengan adanya dana pensiun, pekerja dapat merasa lebih tenang dalam mempersiapkan masa tua mereka. Program ini memberikan kesempatan bagi pekerja untuk memiliki simpanan yang akan digunakan setelah mereka tidak lagi bekerja, sehingga kebutuhan hidup di masa pensiun dapat terpenuhi. Meskipun manfaat ini baru dapat dirasakan di masa mendatang, dana pensiun memberikan jaminan perlindungan finansial yang dapat membantu pekerja menghadapi ketidakpastian ekonomi di masa tua, termasuk biaya kesehatan, kebutuhan sehari-hari, dan pengeluaran lainnya. Adanya dana pensiun juga mendorong budaya perencanaan keuangan jangka panjang, yang sangat penting dalam menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan setelah pensiun.

Di sisi lain, pemotongan gaji untuk dana pensiun dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja dalam jangka pendek. Pengurangan gaji bulanan secara konsisten dapat menekan daya beli, terutama bagi pekerja dengan pendapatan yang relatif kecil, sehingga menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini bisa semakin mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga, terutama di tengah tingginya biaya hidup dan inflasi yang terus meningkat. Selain itu, tanpa transparansi dalam pengelolaan dana dan partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan, pemotongan gaji ini berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pekerja. Ketidakpuasan ini dapat mengganggu hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan, menciptakan ketegangan yang berdampak buruk terhadap produktivitas dan suasana kerja di lingkungan perusahaan.

Pengelolaan dana pensiun tambahan, dapat dilakukan melalui dua opsi utama, yaitu Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). DPPK adalah dana pensiun yang didirikan dan dikelola oleh perusahaan atau pemberi kerja, dengan tujuan memberikan manfaat pensiun secara langsung kepada karyawan mereka. Model ini lebih terfokus pada kebutuhan karyawan di dalam perusahaan, sehingga dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebijakan internal. Di sisi lain, DPLK dikelola oleh lembaga keuangan, seperti bank atau perusahaan asuransi, yang memungkinkan individu atau perusahaan untuk berpartisipasi dalam program pensiun tanpa harus mendirikan dana pensiun secara mandiri. DPLK menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal pengelolaan dan kontribusi, sehingga memberikan alternatif yang sesuai bagi karyawan dalam merencanakan masa pensiun mereka. Dengan adanya kedua pilihan ini, diharapkan dapat memastikan keberlanjutan dan keamanan finansial bagi karyawan di masa pensiun.

Program potongan gaji karyawan untuk dana pensiun tambahan saat ini masih dalam tahap penggodokan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP). Langkah ini diambil untuk menetapkan mekanisme yang jelas dan efektif dalam implementasi program tersebut, sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi pekerja. Dengan adanya PP, diharapkan terdapat aturan yang transparan dan adil mengenai besaran potongan serta pengelolaan dana pensiun dan kepesertaan yang diwajibkan mengikuti program ini. Hal ini penting agar pekerja dapat memahami dengan baik bagaimana kontribusi mereka akan dikelola dan manfaat yang akan diperoleh di masa depan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan mereka terhadap sistem jaminan sosial yang sedang dibangun.

Kesimpulan

Kesimpulannya, rencana kebijakan pemerintah terkait iuran pensiun tambahan menimbulkan pro dan kontra di kalangan pekerja dan perusahaan. Meskipun kebijakan ini bertujuan memperkuat sistem jaminan sosial untuk kesejahteraan jangka panjang, terdapat kekhawatiran mengenai dampak negatif pemotongan gaji terhadap kesejahteraan jangka pendek pekerja, terutama di tengah inflasi dan ancaman PHK. Ketidaksepakatan terkait besaran potongan, keadilan, serta kurangnya transparansi dan partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan memperburuk polemik ini. Diperlukan dialog intensif antara pemerintah, pekerja, dan perusahaan untuk menciptakan solusi yang adil, transparan, dan memberikan perlindungan optimal bagi pekerja tanpa memberatkan mereka di masa kini.

————————–

*) Penulis adalah Alumnus FH UGM Yogyakarta 2007, yang saat ini berprofesi sebagai Advokat Spesialis Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial, Industrial Relation Expert di pelbagai industri (otomotif, perbankan, dll), dosen tamu di beberapa universitas/politeknik, penulis/kolomis, pembicara dan trainer di pelbagai workshop/training, founder IR Talk