
Oleh: Masykur Isnan, SH *)
Industri media di Indonesia tengah menghadapi tekanan struktural yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam dua tahun terakhir, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerpa berbagai perusahaan media nasional, dari koran cetak hingga platform digital. Berdasarkan data yang dihimpun, sedikitnya 1.200 jurnalis dan pekerja media mengalami PHK sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Situasi ini mencerminkan tren ketenagakerjaan nasional yang mengkhawatirkan. Mengacu pada data Kementerian Ketenagakerjaan RI, jumlah angkatan kerja per Februari 2025 mencapai 145,77 juta jiwa—meningkat 3,57 juta dibanding Februari 2024. Namun demikian, angka pengangguran terbuka juga naik menjadi 7,28 juta jiwa, bertambah 83.450 orang dalam satu tahun terakhir.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan ekonomi. Dampaknya merambat pada hak publik atas informasi, menurunnya kapasitas jurnalisme investigatif, hingga melemahkan kualitas demokrasi. Banyak media menghadapi krisis likuiditas akibat menurunnya pendapatan iklan, yang selama ini menjadi sumber utama pendanaan operasional. Peralihan minat pembaca ke media sosial, platform video pendek seperti TikTok, dan kanal berita alternatif turut mempercepat kontraksi ini.
Menurut data Nielsen Indonesia, belanja iklan di media konvensional turun sekitar 12,5% sepanjang 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini diperparah oleh stagnasi model bisnis digital yang belum menghasilkan keuntungan signifikan. Konvergensi media—yang diharapkan menjadi solusi jangka panjang—ternyata belum cukup kuat menjamin keberlangsungan kerja jurnalis. Banyak perusahaan media masih bertumpu pada traffic dan clickbait sebagai strategi utama monetisasi, bukan pada kualitas dan integritas konten.
Secara normatif, PHK diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam Pasal 36 PP 35 Tahun 2021, PHK hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan sah, seperti efisiensi perusahaan atau penutupan karena kerugian terus-menerus.
PHK massal di industri media bukan hanya tragedi ketenagakerjaan, tetapi juga krisis demokrasi. Jurnalis adalah garda depan dalam menjalankan fungsi check and balance terhadap kebijakan negara dan aktivitas sektor swasta. Ketika ratusan pekerja media diberhentikan, maka kapasitas redaksi untuk menjalankan liputan investigatif, pelaporan, dan pengawasan terhadap penyimpangan kebijakan menjadi sangat terbatas.
Dalam demokrasi yang sehat, keberagaman sumber informasi adalah kebutuhan publik. PHK masal menyebabkan banyak kantor berita menutup biro media, menghentikan program liputan, dan merampingkan desk investigasi. Akibatnya, terjadi keterbatasan informasi yang aktual, serta meningkatnya ketergantungan publik terhadap sumber informasi yang tidak diverifikasi melalui kanal media sosial. Hal ini menyebabkan penyampaian informasi yang tidak faktual seperti hoaks yang beredar di media sosial atau konten dari kreator yang tidak berstandar jurnalistik.
Lebih jauh, fenomena ini mengarah pada bentuk baru dari penyempitan ruang kebebasan pers yang dikenal dengan istilah “silent censorship”. Ini bukan represi langsung oleh negara atau institusi tertentu, tetapi terjadi karena melemahnya daya tahan ekonomi media itu sendiri. Ketika media tidak mampu membayar jurnalisnya, maka suara kritis yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan ikut lenyap.
Diperlukan langkah konkret dari pemerintah untuk mencegah keruntuhan total dari ekosistem media nasional. Memberikan jaminan terhadap jurnalis maupun pekerja press untuk mendukung peliputan yang berorientasi pada kepentingan umum, bukan sekadar viralitas atau profit.
Informasi yang terbatas, demokrasi yang tergerus PHK di industri media adalah krisis yang tidak tampak kasat mata tetapi menggerogoti fondasi negara hukum dan demokrasi. Ketika suara kritis diberangus bukan melalui larangan eksplisit, melainkan melalui pengosongan ruang kerja, maka publik kehilangan akses terhadap informasi yang akurat, independen, dan bermakna. Negara tidak boleh abai terhadap sektor ini. Dalam masyarakat demokratis, jurnalisme bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan jantung dari kehidupan sipil dan instrumen utama keterbukaan informasi.
___________________
*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum UGM angkatan 2007, yang saat ini berprofesi sebagai Advokat Spesialis Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial, Industrial Relation Expert di pelbagai industri (otomotif, perbankan, dll), dosen tamu di beberapa universitas/politeknik, penulis/kolomis, pembicara dan trainer di pelbagai workshop/training, founder IR Talk