Minggu (21/3/2021) pukul 15:00 – 17:00 WIB, PP Kagama bersama Kagamadok melalui program Kagama Peduli Kesehatan menyelenggarakan webinar dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis (TBC) Sedunia 2021 dengan tema “Menuju Indonesia Bebas Tuberkulosis”. Webinar dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meetings dan disiarkan langsung di kanal Youtube Kagama Channel dengan menghadirkan dua narasumber yakni, dr. Rina Triasih, M.Med (Paed), SpAK, Ph.D ( Dosen Departemen Pediatri, FK-KMK, UGM), dan dr. Yanri Wijayanti Subronto, Ph.D, SpPD-KPTI (Dosen FK-KMK UGM), Berkenan memberikan pidato pembukaan adalah Ir. Budi Karya Sumadi (Waketum 1 PP Kagama & Menteri Perhubungan), pidato penutup oleh Dr. dr. Cahyono Hadi, Sp.OG(K). Tampil sebagai keynote speaker Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) (Ketua Kagamadok), dan drg. Mayu Winnie Rachmawati, M.Sc., Ph.D bertindak sebagai moderator acara.
Webinar diawali dengan kata sambutan oleh Ir. Budi Karya Sumadi yang mengapresiasi kegiatan webinar dalam memperingati hari tuberkulosis sedunia untuk terus mengedukasi masyarakat terkait penyakit TBC dalam pencegahan serta penanggulangannya. Tuberkulosis (TBC) sudah menjadi problema kesehatan di Indonesia. Media penularan yang sama dengan Covid-19 yakni melalui droplet.
“Indonesia berkomitmen untuk bebas dari tuberkulosis pada tahun 2030, meskipun pada saat ini kita terus fokus dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Pelacakan pada penderita TBC dan Covid-19 secara bersamaan yang dapat mempercepat penanganan akan kedua penyakit tersebut. Seperti kata pepatah sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Sinergi dan kolaborasi menjadi kunci dalam mengentaskan penyakit tuberkulosis dengan kerjasama antar akademisi, industriawan, pemerintah dan media. Penanggulangan penyakit TBC bukan hanya tanggung jawab pada bidang kesehatan melainkan tanggung jawab bersama lintas sektoral termasuk peran Kagama didalamnya.” pungkas Budi Karya Sumadi menutup kata sambutannya.
Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) sebagai keynote speaker menyampaikan paparan terkait peringatan hari TBC sedunia. Diawali dengan ditemukannya bakteri Mybacterium Tuberculosis pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Dihitung dari sekarang, penyakit TBC sudah berjalan ratusan tahun menjangkiti masyarakat dunia terutama masyarakat Indonesia.
“Pemerintah Indonesia berkomitmen pada tahun 2030 mengakhiri pandemi Tuberkulosis, AIDS, Malaria dan penyakit tropis yang terabaikan dan memerangi hepatitis, penyakit bersumber air, serta penyakit menular lainnya.” ujar dr. Hasto Wardoyo yang sekarang menjabat sebagai Kepala Pusat BKKBN RI.
Dilansir dari data terbaru kondisi tuberkulosis di Indonesia pada 2020 sudah mencapai angka 845.000 secara estimasi TBC dengan jumlah yang meninggal dunia 12.469 dan tingkat kesembuhan 83% dari jumlah penderitanya. Kesuksesan kesembuhan adalah sebuah upaya dalam menjaga kualitas remaja untuk kunci keberhasilan dan kegagalan meraih bonus demografi yang nantinya akan dinikmati Indonesia. Hal ini berkaitan juga hubungan stunting dengan kejadian tuberkulosis pada anak (hasil riset tim riset Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia). Data menunjukkan tren kasus TBC pada anak sepanjang 2018 – 2019 mengalami penurunan yang cukup signifikan berbanding lurus dengan penurunan kasus stunting.
“Perlu kita waspadai bersama gejala tuberkulosis pada anak di Indonesia diantaranya, berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, tidak adanya nafsu makan, demam lama dan berulang, muncul benjolan dileher, ketiak dan lipatan paha, Mengalami batuk selama 30 hari dan disertai nyeri dada dan diare yang tak kunjung sembuh. Ingat TBC mudah menular pada anak. Jika ada kasus TBC anak segera perhatikan sumber penularan di sekitarnya.” pungkas dr. Hasto Wardoyo mengakhiri pemaparannya.
Narasumber pertama, dr. Rina Triasih memaparkan materinya dengan judul “Menuju Indonesia Bebas TBC: Permasalahan TBC Anak di Tingkat Nasional dan Global”. Pandemi Covid-19 menjadi momok baru setelah TBC pada penyakit yang menjangkiti anak di Indonesia. Tuberkulosis pada anak merupakan permasalahan yang cukup besar dan berimplikasi kedepannya. Contohnya pada kasus pasien anak usia 15 tahun di DIY yang menderita TBC milier yang lambat laun bertambah komplikasi dengan pneumothorax. Pasien tersebut mendapatkan perawatan intensif selama terserang TBC namun setelah sembuh dan kembali beraktivitas terutama bersekolah. Namun pasien tersebut mengalami stigmatisasi dari pihak sekolah yang takut penyakit yang pernah dideritanya akan menular pada lingkungan sekolah.
“Tim medis melakukan tracing dan cek lingkungan sekitar pada pasien yang mendapatkan hasil di desa tempat tinggalnya 3 orang menderita TBC dan Ibu pasien juga terdiagnosis TBC. Sehingga berujung pada berhentinya melakukan aktivitas dan mengurangi penghasilan keluarga.” ujar dr. Rina, yang meraih gelar doktoral di University of Melbourne.
Pada situasi global, TBC pada anak sudah menjangkita 7,5 juta anak diseluruh dunia pertahun dan mengakibatkan kematian anak sebanyak 233.000 jiwa. Pemberian pengobatan pencegahan TBC hanya mengcover 23% dari 1,3 juta anak yang eligible menerima obat pencegahan TBC. Di Indonesia, kasus TBC pada anak mencapai angka missing case pada 47% dari keseluruhan penderita TBC anak. Kondisi yang cukup memprihatinkan dalam situasi pandemi Covid-19. Angka missing case yang tinggi mengakibatkan anak Indonesia berisiko tertular dikarenakan sumber penularan masih banyak terdapat dimasyarakat. Tingginya angka tersebut dipengaruhi oleh kurangnya jumlah diagnosis, contact tracing, pencatatan dan pelaporan kasus pada penderita.
“Untuk menanggulangi keprihatinan tersebut, kolaborasi FK-KMK UGM bersama pemerintah DIY dan The Burnet Institute, Melbourne mencanang program Zero TB Yogyakarta, temukan, obati dan cegah dengan komprehensif, inovatif dan massif. Program ini merupakan sumbangsih awal dari Yogyakarta untuk Indonesia bebas TBC pada tahun 2030 mendatang.” demikian ucap dr. Rina mengakhiri presentasinya.
Narasumber kedua, dr. Yanri Wijayanti Subronto, menjelaskan materinya dengan judul “Bergerak Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis 2030”. Dr. Yanri mengawali prensentasinya dengan mendeskripsikan letak geografis Indonesia yang berada pada garis khatulistiwa sehingga Indonesia menjadi negara beriklim tropis. Panas dan lembab sepanjang tahun menjadi tempat yang bagus dalam perkembangbiakan berbagai mikro organisme. Dilansir dari Global TB Report 2020, Indonesia memiliki 845.000 kasus, kedua terbanyak setelah India (2,64 juta kasus) dengan tingkat kematian 96.000 jiwa per tahun dan jika dirinci ada 11 kematian per jamnya.
Tuberkulosis secara riwayatnya sudah ada sejak 3700 sebelum masehi bahkan dideskripsikan oleh Hippocrates. Identifikasi bakteri penyebab TBC dimulai oleh Robert Koch pada tahun 1882 dan obat anti tuberkulosis pertama baru ditemukan pada tahun 1944. Hingga pada tahun 1993, TBC sudah pada status Global Healt Emergency. Prinsip dalam hal penyakit tropik dan infeksi termasuk didalamnya TBC, yakni mengupayakan penghentian penularan atau transmisi dengan memperhatikan tiga elemen dalam urusan penyakit infeksi/menular diantaranya agen yang membawa penyakit, status atau kondisi pada penderita penyakit dan lingkungan yang mempengaruhi penyakit tersebut.
“Agen pada TBC adalah bakteri mybacterium tuberkulosis yang ditemukan hidup di tanah yang menginfeksi tubuh dengan menyerang organ paru namun dapat menjalar ke organ lainnya seperti ginjal, tulang belakang, usus dan otak. Gejala utama yang nampak adalah batuk lebih dari tiga minggu, nyeri pada dada, batuk disertai darah biasanya juga di ikuti gejala sistemik: lemah,penurunan berat badan, tidak ada nafsu makan, deman disertai keringat malam. Kemudian pasien yang menderita TBC rentan untuk terjangkit penyakit berat lainnya. Orang yang rentan tertular TBC diantaranya, kontak erat dengan penderita TBC, daerah endemis yang tinggi, bekerja di rumah sakit, dan kondisi dalam mengidap penyakit lainnya. Lingkungan juga menentukan penyebaran tuberkulosis diantaranya perubahan iklim, higienitas dan sanitasi, kebijakan kesehatan dan pemukiman tempat tinggal. Penularan tuberkulosis melalui airbone atau droplet air liur.” ucap dr. Yanri Wijayanti yang meraih gelar Ph.D. di Leiden University, Belanda.
Dr. Yanri menambahkan pencegahan penularan tuberkulosis diaplikasi dengan beberapa cara, di antaranya pemakaian masker, memilih kondisi tempat tinggal, lingkungan tempat kerja dan transportasi yang sehat, menerapkan etika batuk, menerapkan pola hidup sehat dan bersih secara teratur. Jika terjangkit tuberkulosis, pengobatan dapat berjalan dengan efisien dengan memperbanyak buah dan sayuran dan menerapkan pola hidup sehat serta segera melaporkan diri ke fasilitas kesehatan yang berada lingkungan sekitarnya.
“Berantas tuberkulosis dengan temukan penderitanya dan obati sampai sembuh dan sudah saatnya TBC is everyone’s business.” pungkas dr. Yanri.
Harapan dari semua pembicara adalah upaya pengentasan penyakit tuberkulosis bisa terwujud dengan sinergi dan kolaborasi yang dibarengi kerjasama lintas sektoral antara akademisi, industriawan, pemerintah dan media. TBC sudah ratusan tahun menjadi momok bersama bagi masyarakat Indonesia. Sehingga, penanggulangan baik pencegahan dan pengobatan menjadi tanggung jawab bersama untuk mewujudkan Indonesia bebas tuberkulosis di tahun 2030 nantinya. [arma]
*) Materi webinar selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: