Peneliti, Media Sosial, Jurnal Ilmiah dan Proteksi Publik

Oleh: Donnie Ahmad

Pada suatu masa, pada dinding medsos seseorang, saya pernah mendapat komentar (mungkin dengan sedikit nuansa cemooh) dari sesemas dan sesembak, bahwa publikasi di jurnal itu tidak ada manfaatnya bagi rakyat kebanyakan. Mungkin baginya publikasi jurnal adalah kegiatan elitis yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak, kecuali karir dan kesejahteraan peneliti.

Komentar tersebut hasil berbalas komentar. Waktu itu saya memberikan komentar – publikasi di jurnal itu yang membedakan antara peneliti yang sebenarnya dan peneliti ala-ala. Peneliti yang lebih senang menyebarluaskan klaim penelitiannya lewat medsos. Sudah banyak contoh peneliti semacam ini. Dan yang paling fenomenal adalah klaim seorang profesor panggilan kesayangan dengan obat antibodinya.

Atas komentar sesemas tadi saya menjawab, “Mungkin masyarakat tidak mendapat manfaat secara langsung, akan tetapi publikasi jurnal akan melindungi masyarakat dari hoax ilmiah yang bisa membahayakan keselamatan publik”. Publikasi di jurnal ilmiah, apalagi jurnal bereputasi yang menggunakan mekanisme peer review, mempunyai mekanisme penilaian secara kritis dari peer group ilmiah yang sangat ketat dan terstandarisasi sebelum diterima dan diterbitkan. Mekanisme inilah yang dapat melindungi masyarakat dari kejahatan atas nama ilmu pengetahuan.

Ini tidak berarti bahwa peneliti yang lebih suka melakukan menulis di medsos adalah peneliti ala-ala. Karena saat ini, bahkan peneliti kenamaan, maupun institusi penelitian ternama juga sangat aktif menggunakan media sosial untuk mendiseminasikan hasil penelitiannya. Yang membedakan adalah, para peneliti tersebut, tetap menggunakan mekanisme publikasi di jurnal ilmiah sebagai media utama sebagai alat untuk:

  1. Akuntabilitas profesional atas aktivitasnya sebagai peneliti
  2. Verifikasi validitas penelitian. Karena adanya mekanisme review dari scientific peer group yang sangat ketat.
  3. Katalogisasi ilmu. Karena publikasi dalam jurnal akan secara otomatis terindeks dalam database pengetahuan, sehingga memudahkan kodifikasi dan pencarian. Katalogisasi ini pada akhirnya membantu perkembangan ilmu pengetahuan karena mempermudah mengidentifikasi gap pengetahuan.
  4. Komunikasi utama dengan peneliti lainnya.

Nah, terus dimana letak manfaat perlindungan terhadap masyarakat kalau begitu? Ada beberapa mekanisme perlindungan:

  1. Apapun klaim yang dibuat oleh seorang peneliti dimuka publik. Apabila didukung oleh bukti yang berasal dari jurnal yang terpercaya (umumnya berdasarkan parameter impact factor), telah melalui proses verifikasi validitas ilmiah dari scientific circle yang bersangkutan.
  2. Jika ada informasi atau narasi media yang seolah-olah mengklaim pendapat seorang ahli untuk membuat berita sensasional, maka klaim tersebut dapat diverifikasi dengan mencari rujukan berbasis sumber tertulis pengetahuan yang otoritatif.

Contohnya yang paling nyata ya heboh pemberitaan oleh media televisi nasional tentang bahaya vaksin COVID-19 karena adanya mekanisme Antiody Dependent Enhancement (ADE), kemarin. Media tersebut, membuat klaim dengan melakukan wawancara terhadap peneliti yang memang kredibel dibidangnya. Narasi tersebut berhasil menyebabkan ketakutan bagi yang berharap segera tersedianya vaksin, dan menjadi senjata penyerang bagi mereka yang sejak awal tidak setuju adanya vaksin. Padahal apabila diverifikasi dengan menggunakan artikel jurnal yang dibuat sendiri oleh peneliti maupun artikel lain di jurnal Nature Microbiology (mempunyai impact factor yang sangat tinggi), narasi tersebut tidak benar. Peneliti hanya membuat kesimpulan adanya mutasi yang bisa jadi berpengaruh terhadap ADE. Artikel di Nature juga menyebutkan terlalu dini untuk menyimpulkan vaksin akan menimbulkan ADE karena belum ada bukti yang memadai.

Rujukan otoritatif dari jurnal ilmiah yang bereputasi tadilah yang bisa digunakan untuk mengecek kebenaran narasi yang beredar di media massa maupun media sosial. Dan tentu saja informasi tadi bisa menjadi alat untuk melindungi publik dari kepanikan dan kekisruhan yang tidak perlu terjadi.

Jadi bagi rekan peneliti yang memang benar-benar peduli dengan kepentingan publik, menulislah di jurnal ilmiah. Selalu berusahalah untuk mempublikasikan dalam jurnal yang ber-impact tinggi. Karena hal tersebut bermanfaat tidak hanya bagi portfolio profesional kita, tetapi juga mempunyai dampak kebijakan maupun proteksi publik yang lebih tinggi. Memang tidak mudah untuk menembus jurnal seperti itu. Butuh latihan dan kerja keras yang bisa menyebabkan frustasi apabila kita tidak punya kemauan yang kuat.

Dan kalau ada peneliti yang bilang bahwa publikasi di jurnal ilmiah hanyalah sebuah kegiatan unfaedah, mungkin mereka adalah peneliti bala-bala yang kadang ada udang dibaliknya. Biarpun memakai gelar profesor kesayangan. Biarpun mengklaim terafiliasi institusi pemerintah ataupun lembaga rahasia apapun. Biarpun mengklaim menciptakan kalung, antibodi, obat atau vaksin sekalipun. Jika tidak ada hasil publikasi di jurnal bereputasi, anggaplah klaim tersebut sebagai gosip selebritis pandemi saja.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*