Lewat Attempe, Nurhayati Nirmalasari Mencoba Mengangkat Kedelai Lokal

Wanita kelahiran Ngawi, 8 Desember 1971 itu bernama lengkap Nurhayati Nirmalasari. Lulus dari SMA Negeri 2 Ngawi tahun 1990 ia melanjutkan studinya di Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Lima tahun kemudian ia berhasil merengkuh gelar sarjananya.

Seusai wisuda Nurhayati tidak butuh lama untuk mendapatkan pekerjaan. Ia langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan makanan di Semarang, namun karena suatu hal ia memutuskan mengundurkan diri tahun 1997. Mundur dari perusahaan ia kembali ke Yogyakarta & mencoba-coba membuka usaha kuliner di dekat kampus UII Jalan Kaliurang. Tapi itupun hanya bertahan kurang dari setahun.

Nurhayati sedang memotong-motong tempe segar

Tahun 1998 Nurhayati menikah dengan teman kuliahnya. Sejak saat itu ia menikmati hidupnya sebagai ibu rumah tangga & membesarkan kedua anaknya. Tahun 2009 ketika anak-anaknya sudah mulai besar ia kepingin bekerja lagi, dan jadilah ia tenaga pemasaran di sebuah perusahaan asuransi. Selama lima tahun lebih Nurhayati menggeluti dunia asuransi.

Dalam keseharian Nurhayati sering mengamati & diskusi dengan suaminya yang merupakan staf pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan sekaligus peneliti kedelai, membuka mata Nurhayati bahwa ternyata di negara kita menghasilkan banyak jenis kedelai lokal namun kurang terangkat reputasinya. Ia jadi tahu kalau kebutuhan kedelai kita baik untuk diproduksi & konsumsi sebagian besar menggantungkan pada kedelai impor, dan mayoritas termasuk jenis GMO (Genetically Modified Organism) atau hasil rekayasa genetika.

Nurhayati mengepak produk dibantu karyawannya

Hingga pada tahun 2015 tiba-tiba sebuah pertanyaan terbersit di benak Nurhayati. Mengapa masih sedikit yang bersedia mengolah sebuah produk yang sebenarnya menyimpan potensi besar namun seperti terabaikan selama ini? Pertanyaan yang membikinnya penasaran itu lama-lama berubah menjadi dorongan kenapa ia sendiri tidak melakukannya sedangkan ia juga punya aksesnya.

Akhirnya dengan berbekal jaringan suaminya yang selain peneliti kedelai juga adalah pembina petani kedelai di beberapa daerah Jawa Tengah, Nurhayati mencoba mengolah kedelai lokal produk dari petani binaan tersebut. Karena modalnya belum cukup besar waktu itu ia baru bisa memproduksi kedelai untuk diolah menjadi tempe segar dalam kisaran 5 kg / hari. Itupun produksinya titip kepada temannya yang punya pabrik tempe di daerah Bantul, karena Nurhayati belum punya pabrik dan karyawan sendiri.

Selama dua tahun lebih Nurhayati menekuni usahanya itu, sembari pelan-pelan mengumpulkan modal & membikin pabrik sendiri di daerah Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten. Tepat di belakang stasiun kereta Brambaman. Akhirnya ketika dirasa sudah benar-benar siap, pada pertengahan tahun 2017 ia secara penuh memindahkah bisnisnya ke pabriknya sendiri.

Menjelaskan produk kripik tempe kepada konsumen

Saat itu produksi awal mengolah 50 kg kedelai lokal per hari yang didatangkan dari petani binaan di daerah Kulonprogo, Klaten, Pati, dll. Bahkan kadang mendatangkan dari Malang tergantung daerah mana yang sedang panen. Pelan-pelan usahanya dijalani dengan segenap hati dan tak terasa sampai sekarang sudah berkembang pesat. Kapasitas pabriknya mampu memproduksi kedelai hampir mencapai 100 kg/hari (setara dengan 145 kg tempe basah) dan bisa menghidupi 5 karyawan tetap serta 2 pegawai tidak tetap.

Kini perusahaan Nurhayati memproduksi kedelai lokal Non-GMO atau kedelai organik menjadi bahan olahan berupa tempe segar, kripik tempe dan tempe instan yang diberi merk dagang “Attempe”. Sekedar info, tempe instan adalah cara praktis membuat tempe sendiri dengan bahan baku berupa kedelai dan ragi yang sudah disiapkan dalam paket kemasan. Petunjuk cara membuatnya secara terperinci sudah ditulis dalam kemasan.

Mengontrol produk tempe segar

Untuk penjualannya, menurut Nurhayati khusus tempe segar hanya dijual di wilayah Yogyakarta, karena tidak tahan lama. Penjualannya lewat supermarket, catering, hotel,dan paling banyak justru di rumah sakit. Untuk kripik tempe & tempe instan penjualannya meliputi sebagian besar wilayah Indonesia lewat teknik direct selling secara online dan lewat reseller. Untuk menarik minat rekanan Nurhayati menjanjikan banyak keuntungan buat para reseller. Selama pandemi covid ini terjadi lonjakan tambahan reseller karena banyak orang butuh pekerjaan tambahan.

Produk kripik tempe menawarkan pilihan 6 rasa

Nurhayati mengatakan ada kendala yang dihadapi dalam penjualan yaitu harga produk olahannya harus diakui lebih mahal dibanding produk pabrikan lainnya. Karena bahan bakunya berupa kedelai Non-GMO juga secara relatif lebih mahal dibanding kedelai GMO. Ia memberikan gambarannya untuk 1 hektar lahan bisa dihasilkan 3-4 ton kedelai GMO, sementara untuk kedelai Non-GMO hanya bisa dihasilkan 1,5-2 ton. Juga perawatan secara organik tanpa rekayasa jelas akan lebih butuh biaya. Makanya itu menjelaskan kenapa harganya jadi lebih mahal dan untuk itu Nurhayati harus pintar-pintar menjelaskan kepada calon konsumen atau calon reseller bahwa produknya lebih alami, lebih sehat, free pestisida dan segala keunggulan lainnya.

Tempe instant, cara mudah membuat tempe sendiri

Meski kendala yang dihadapinya tidak ringan, namun Nurhayati tetap semangat memperkenalkan produknya yang berasal dari kedelai lokal. “Jika bukan kita terus siapa lagi yang akan mengangkat kedelai lokal. Jadi boleh dikatakan usaha yang saya lakukan ada unsur nasionalismenya. Saya sangat berharap akan semakin banyak pengrajin tempe yang mau mengolah kedelai lokal.” ujar Nurhayati optimis.

Untuk ke depannya Nurhayati menyimpan banyak rencana untuk mengembangkan produknya. Salah satunya adalah impiannya untuk menjadikan merk “Attempe” go international. Dan impiannya itu mulai menemukan titik terang. Rencana produknya berupa tempe dalam kaleng yang bisa awet bertahan 1 tahun sudah dijajaki kemungkinan kerja sama penjualannya dengan atase pertanian di Washington DC. Ia memohon doa dari teman-teman semua semoga impiannya itu bisa segera terwujud.

1 Comment

  1. mbak. saya viki dr semarang. dulu ayah saya adalah pengrajin tempe. tapi skg sdh tidak lagi. saya berencana meneruskan. apakah saya bisa kontak dg njenengan?

1 Trackback / Pingback

  1. Atris Suyantohadi Peneliti Kedelai yang Bersungguh-sungguh Memberdayakan Petani Kedelai Lokal – KAGAMA

Comments are closed.