Kagama Telekonseling 17: Omicron Varian XBB, Akhir Pandemi atau Gelombang Baru Covid-19?

Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, PP KAGAMA bersama K-GAMA Health kembali menggelar webinar seri Kagama Telekonseling via Zoom Meeting, Sabtu (5/11/2022). Pada seri ke-17 kali ini mengambil judul “Omicron Varian XBB, Akhir Pandemi atau Gelombang Baru Covid-19?”, menghadirkan 3 narasumber yaitu Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, Sp.MK., dr. Mohamad Saifudin Hakim, M.Sc., PhD, dan dr. Riris Andono Ahmad, MPH, PhD. Berkenan memberikan kata sambutan adalah Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., PhD, Sp.OG (K). Jalannya webinar dipandu oleh dr. Risalia Reni Arisanti, MPH, dan dr. Maria Silvia Merry, M.Sc., SpMK.

Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, Sp.MK.

Narasumber pertama, Prof. Tri Wibawa di awal pemaparan menjelaskan munculnya varian atau subvarian Omicron, dimulai dari masuknya virus ke dalam tubuh dan mereplikasi materi genetiknya yaitu apa yang disebut dengan RNA. RNA adalah singkatan dari ribonukleat acid yang merupakan salah satu materi genetik yang terdiri dari nukleotida. Dalam tubuh manusia RNA berperan sebagai pembawa informasi genetik dan menerjemahkannya dalam sintesis berbagai macam protein.

RNA akan diperbanyak lalu dipakai untuk membuat protein serta membentuk komponen dan badan dari partikel virus, kemudian partikel virusnya akan keluar dari dalam tubuh. Demikian seterusnya akan selalu berulang-ulang dengan jumlah semakin berlipat ganda.

Prof. Tri menambahkan, virus selalu akan berganti tidak ada hentinya akibat adanya seleksi secara genetik. Kalau terjadi perubahan genetik yang menguntungkan, virus akan berkembang. Apabila merugikan, maka virus akan menghilang, seperti yang terjadi pada Covid varian alfa atau delta.

Perubahan genetik bisa terjadi karena faktor mutasi dan rekombinasi, yaitu terjadinya penggabungan dua materi genetik virus yang berbeda. Pengertiannya, apabila RNA sebagai materi genetik berubah maka virusnya juga akan berubah. Hasil akhirnya secara genetik sifat virusnya akan berubah pula. Perubahan sifat itu kemudian menjadi mudah tereplikasi, mudah menular, menyebabkan penyakit yang lebih berat, tidak bisa dicegah dengan vaksin, dsb.

“Karena faktor mutasi dan kombinasi, menyebabkan virus selalu berubah setiap saat hampir tak ada hentinya. Oleh sebab itulah virus senantiasa berevolusi,” ujar Prof. Tri.

Prof. Tri mempertanyakan kenapa terjadi mutasi yang begitu luar biasa pada Omicron, yaitu sampai sekitar 50 mutasi muncul bersamaan. Ada 3 kemungkinan penyebabnya, yaitu yang pertama kemungkinan besar virus pada manusia menulari hewan. Hewan yang imun responnya berbeda dengan manusia, membuat mutasinya menjadi sangat cepat, dan kembali lagi ke tubuh manusia.

Kedua, virus mengalami evolusi yang masif menulari manusia pada populasi yang sedikit dan tertutup. Tapi sekali terbuka, akan menular pada masyarakat luas dan cepat sekali berkembang.

Ketiga, virus menulari manusia yang mengalami penurunan imun respon, sehingga berkembang dengan sangat cepat. Lalu akibatnya menulari masyarakat lebih luas lagi.

dr. Mohamad Saifudin Hakim, M.Sc., PhD

Narasumber kedua, dr. Mohamad Saifudin Hakim mempresentasikan keefektifan vaksin Covid-19 terhadap varian atau subvarian SARS-CoV-2 terbaru. Sekedar pengingat, human corona virus ditemukan pertama kali pada tahun 1966 oleh June Almeida. Saat itu pengembangan vaksin untuk menangkalnya belum terpikirkan karena hanya berupa flu biasa tidak menyebabkan sakit fatal.

Pembuatan vaksin baru dilakukan tahun 2003 ketika dunia dikejutkan oleh SARS-CoV outbreak. Akan tetapi pengembangannya berhenti karena ketika vaksin sudah di tahap akhir, pandemi berakhir. Begitu pula yang terjadi ketika MERS-CoV merebak pada tahun 2012. Barulah ketika SARS-CoV-2 menular secara global pada awal tahun 2020, vaksin dikembangkan kembali, rilis dan diterapkan pada populasi.

“Seperti yang disampaikan oleh Prof. Tri, komponen dari SARS-CoV-2 yang paling berperan dalam pengikatan target selnya adalah spike protein. Spike protein yang menyerupai tonjolan paku di sekitar permukaan virus ternyata dapat mengubah sel-sel pembuluh darah kecil di sekitar jantung dan juga sebagai pintu masuk virus corona menginfeksi manusia,” ujar dr. Hakim.

Konsekuensinya antobodi yang dihasilkan oleh tubuh kita yang mentarget spike protein bersifat netralisasi. Artinya kalau kita memiliki antibodi netralisasi, bisa memblokir inisial attachment dari SARS-CoV-2 ke target selnya. Salah satu unsur keberhasilan vaksinasi adalah seberapa ampuh vaksin yang dikembangkan mampu menginduksi netralizing antibodi terhadap spike protein.

Dr. Hakim melanjutkan, berbicara tentang pengembangan vaksin, ada beberapa istilah yang perlu dipahami. Yang pertama, efikasi yaitu seberapa besar kemampuan vaksin mengurangi angka kejadian penyakit yang diperoleh dari uji klinis. Kedua, keefektivan yaitu ketika vaksin sudah lolos uji klinis kemudian diterapkan dalam populasi, seberapa besar mengurangi angka penyakit.

Kedua hal tersebut berbeda dengan istilah immunogenositas, yaitu suatu ukuran yang diperoleh dari laboratorium untuk mengukur respon imun yang dimunculkan pada penerima vaksin. Yang sering menjadi ukuran immunegenositas adalah seperti seberapa tinggi titer dari antibodi terhadap spike protein.

Ada 3 kelompok faktor yang bisa mempengaruhi tingkat keefektivan suatu vaksin ketika dicoba pada populasi, yaitu yang pertama berkaitan dengan vaksin itu sendiri. Seperti cakupannya tidak lengkap. Misal, ketika vaksin dikembangkan yang dimasukkan dalam formula vaksin adalah original strains yang berasal dari Wuhan, maka ketika diimplementasikan muncul varian atau subvarian yang baru akan mempengaruhi efektivasnya.

Yang kedua berkaitan dengan faktor respon penerima vaksinnya juga berbeda-beda. Yang terakhir terkait program ketatalaksaanan vaksin itu sendiri. Misalnya, apakah vaksin masih bagus atau tidak, expired atau belum, dan hal-hal teknis lainnya.

dr. Riris Andono Ahmad, MPH, PhD

Narasumber terakhir, dr. Riris Andono Ahmad yang akrab disapa Donnie, mengatakan di awal pandemi menggambarkan bagaimana skenario pandemi akan berjalan. Skenario pertama, race through, yaitu pandemi akan dibiarkan saja, semakin banyak orang yang tertular akan semakin mempercepat herd immunity. Skenario ini dianggap tidak bermoral, karena akibatnya akan memakan korban jutaan hingga ratusan juta jiwa. Dalam hal ini pandemi akan cepat berakhir, namun akan sangat banyak yang meninggal, dan sistem kesehatan akan kolaps, diikuti oleh tumbangnya sistem sosial, ekonomi, dan politik.

Skenario kedua, delay & vaccinate, yaitu menunda transmisi dan mengembangkan vaksin. Resikonya memang pandemi akan menjadi lebih lama, dan munculnya beberapa gelombang pandemi berulang, namun korban jiwa tidak terlalu banyak. Positifnya, kemampuan kita menciptakan teknologi vaksin menjadi terevolusi. Umumnya kita butuh waktu sekitar 10 tahun untuk menciptakan vaksin, namun akibat pandemi ini kita hanya butuh waktu 1 tahun saja.

Skenario ketiga, coordinate & crush, yaitu koordinasi global dan hentikan. Secara implementasi mustahil karena harus melakukan lockdown secara global dan perlu menghentikan mobilitas minimal 70% penduduk global 2 kali masa inkubasi atau sekiar 1 bulan.

Akhirnya skenario 2 yang dipilih, dan terbukti ada benarnya. Namun rupanya juga tidak 100% tepat, sebab vaksin yang digadang-gadang efektif bisa mencegah transmisi ternyata tidak juga membuat imunitas bertahan lama, dan tidak 100% memproteksi dari infeksi. Karena imunitasnya pendek maka herd immunity tidak tercapai, dan akhirnya transmisi akan terus terjadi.

“Imunitas itu seperti jerami kering sebelum ada vaksin. Sekarang ibaratnya jeraminya sudah kita basahi dengan air, karena sebagian besar sudah terinfeksi dan divaksinasi. Jerami masih bisa terbakar namun tidak sebesar saat ada gelombang delta. Namun perlu diingat fluktuasi niscaya akan tetap terjadi seiring dengan adanya varian dan subvarian virus baru,” ujar dr. Donnie.

Dr. Donnie melanjutkan, evolusi virus adalah kenicayaan. Karena setiap makhluk hidup mempunyai instink untuk bertahan hidup. Dalam mengadaptasi perubahan lingkungan ia harus berevolusi agar bisa tetap survive.

Evolusinya bisa melalu mutasi yang random. Karena ada perubahan lingkungan, entah dengan adanya vaksinasi atau orang-orang sudah mempunyai kekebalan tubuh, maka virus-virus yang mempunyai karakteristik bisa berdaptasi pada lingkungan yang berubah, akan bertahan hidup dan menyebar.

Itu pulalah yang menyebabkan karakteristik virus yang punya kemampuan penularan lebih tinggi seperti Omicron, dan bisa lolos dari kekebalan tubuh yang sudah ada maupun mereka yang mempunyai tingkat keparahan yang lebih rendah, yang bisa survive dan menyebar. Hal itu menyebabkan semakin hari virus yang mampu menembus imunitas tubuh mempunyai penularan yang lebih tinggi.

Kalau keparahannya tinggi, justru kesempatan virus untuk menulari akan semakin rendah, karena penderita akan diisolasi atau meninggal. Jika keparahannya rendah maka virus berkembang dan menularnya akan semakin tinggi.

“Pertanyaannya sekarang apakah pandemi sudah selesai, berubah menjadi endemi, atau justru belum selesai?” ujar dr. Donnie setengah bertanya.

Dari statistik WHO saat ini masih ada 200 ribu kasus per hari. Artinya jelas pandemi belum selesai. Ada pernyataan pandemi sudah jadi pandemi. Menurut dr. Donnie itu sebuah salah kaprah. Karena endemi biasanya adalah terjadinya penularan secara konstan di sebuah wilayah. Kalau masih terjadi secara global tentunya tidak tepat disebut endemi.

Menurut dr. Donnie, level imunitas populasi menjadi kunci. Dari data WHO tercatat sebagian besar penduduk dunia sudah mempunyai semacam imunitas, namun imunitas tersebut tidak menyebabkan mereka terproteksi dari infeksi atau transmisi. Seperti kita ketahui durasi imunitasnya tidak lama.

Kemungkinan arah pandemi ke depan, fase akut sudah lewat dan sebagian besar populasi sudah mempunyai kekebalan. Transmisi tetap akan terjadi karena imunitas sifatnya temporer. Varian atau subvarian virus terbaru kemungkinan masih akan terjadi, karena setiap transmisi akan menyebabkan mutasi. Dengan adanya adaptasi evolusi virus untuk bertahan hidup, maka virus-virus yang akan survive adalah yang mempunyai karakteristik penyebab keparahan tidak terlalu tinggi.

“Kesimpulannya, vaksin adalah kunci menjaga imunitas populasi. Pada dasarnya kita sudah bisa kembali ke kehidupan normal pra pandemi. Kita harus tetap mempertahankan surveilans dan kemampuan sistem kesehatan untuk merespon kemungkinan peningkatan kasus karena Covid-19 maupun pandemi berikutnya,” pungkas dr. Donnie.

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: