Kagama Health Talks #11: Mengenal Lebih Dekat Spinal Muscunal Athrophy

Menyambut bulan Spinal Muscunal Athrophy (SMA), PP Kagama bekerja sama dengan K-GAMA Health, kembali menggelar webinar serial Kagama Health Talks melalui Zoom Meeting, Sabtu (20/8/2022). Pada seri ke-11 kali ini mengangkat topik “Mengenal Lebih Dekat Spinal Muscunal Athrophy dari Sisi Medis, Pendidikan, dan Psikologis”, menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dian Kesumapramudya Nurputra, MD, MSc, PhD, Deden Saepul Hidayat, MPd, dan dr. Ida Rochmawati, Msc, SpKJ(K). Jalannya acara dipandu oleh dr. Dian Marta Sari, SPKFR(K), MKes selaku moderator, dan dr. Devie Kristiani, MCs, SpA(K) sebagai MC.

Dian Kesumapramudya Nurputra, MD, MSc, PhD

Narasumber pertama, Dian Kesumapramudya Nurputra berbicara dari sisi medis. Ia mengatakan SMA adalah suatu kelemahan & pengecilan (atrofi) otot yang bersifat simetris dan progresif. Gejalanya bisa muncul sejak bayi baru lahir sampai remaja atau dewasa.

SMA menjadi penyebab paling umum kematian bayi. Rasio kemungkinannya bisa 1:6.000 hingga 1:10.000 dari kelahiran hidup. Kenapa angkanya bisa begitu tinggi, karena di Indonesia prevalensi pembawanya kira-kira mencapai 1 berbanding 40 sampai 50.

Penyebab utama penyakit SMA adalah defisiensi protein atau mutasi gen Survival Motor Neuron (SMN). Dalam DNA kita mengandung SMN1 dan SMN2. Apabila SMN1 hilang tidak serta merta kita akan meninggal karena masih ada kembarannya bernama gen SMN2 yang bisa memproduksi protein yang sama, namun jumlahnya jauh lebih sedikit. Jumlah SMN2 yang tersisa itulah yang menentukan derajat beratnya SMA apakah muncul di awal kelahiran sangat berat atau saat ketika sudah dewasa dengan derajat ringan.

Dian menambahkan, ada 4 type SMA. Type 1 adalah yang paling berat, menyerang bayi di bawah usia 6 bulan yang mana penderitanya tidak bisa duduk. Type 2 adalah type sedang, menyerang usia 6-18 bulan, penderitanya bisa duduk namun tidak bisa berdiri. Type 3 adalah type ringan, menyerang di atas 18 bulan, penderitanya bisa berdiri dan berjalan namun kurang kuat sehingga perlu alat bantu. Type 4 adalah yang paling ringan, penderitanya bisa berdiri dan berjalan normal namun ketika penderitanya sudah dewasa baru akan merasakan pengaruhnya.

Di akhir pemaparan, Dian mengatakan terapi farmakologis untuk SMA saat ini sudah sangat menjanjikan. Dengan diagnosis dini dan manajemen terpadu holistik memanfaatkan sumber daya yang tersedia dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien SMA.

Menurutnya, obat bernama Salbutamol dan VPA mungkin tidak meningkatkan kinerja klinis secara dramatis, namun dapat membantu pasien dalam kehidupan sehari-hari. Ini mungkin dapat menjadi pengobatan alternatif sebelum tersedianya pengobatan dengan efektivitas maksimal.

“Kolaborasi antar institusi sangat penting untuk menjamin ketersediaan pengobatan baru untuk pasien dan keluarga penderita SMA,” pungkas Dian.

Deden Saepul Hidayat, MPd

Narasumber berikutnya, Deden Saepul Hidayat menjelaskan dari sudut pandang pendidikan. Ia mengatakan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Kebijakan saat ini satuan pendidikan diberi kewenangan sepenuhnya untuk mengembangkan kurikulum sebagai kurikulum operasional satuan pendidikan. Keberagaman peserta didik yang ada di kelas memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut maka perlu dilakukan akomodasi kurikulum. Jadi akomodasi kurikulum dapat diartikan sebagai perubahan berupa penyesuaian (adaptasi) dan modifikasi yang diberikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.

Deden melanjutkan, tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus / pendidikan inklusif. Tunadaksa ringan hanya kehilangan fungsi anggota geraknya tanpa mengurangi kemampuan berfikirnya.

Spinal Muscular Athrophy (SMA) merupakan salah satu karakteristik peserta didik yang termasuk ke dalam klasifikasi tunadaksa / kelainan genetik pada otot-saraf yang ditandai dengan kelumpuhan otot; terutama pada kedua kaki. Kelumpuhan ini bersifat progresif, semakin melemah lambat laun. Sumber utama kelumpuhan bukan disebabkan oleh rusaknya sel-sel otot itu sendiri. Kelumpuhan yang terjadi murni disebabkan oleh rusaknya sel-sel saraf pada sumsum tulang belakang (spinal cord). Ini berbeda dengan distrofi otot di mana kerusakannya memang terjadi di otot itu sendiri.

Aksesibilitas fisik di lingkungan satuan pendidikan yang memberikan layanan pendidikan pada peserta didik dengan SMA sangat perlu ditata agar menjadi ramah. Karena peserta didik dengan kekhususan ini pada umumnya menggunakan kursi roda, maka ram dengan ukuran 15-20 derajat sangat diperlukan untuk mempermudah mobilitas gerak mereka agar lancar dan aman. Kamar madi dibuat tanpa ada turunan atau rata, sekeliling kamar mandi dipasang handrail serta ukuran pintu dan bagian dalam kamar mandi harus bisa diakses oleh kursi roda, hingga bisa berputar balik di dalam kamar mandi. Kloset duduk yang sekeliling dindingnya dipasangi handrail.

Untuk peserta didik yang memiliki hambatan fisik, guru harus pandai memahami karakteristik siswa terutama bila siswa menjawab pertanyaan guru secara lisan karena pada umumnya siswa tunadaksa (layauh otak) biasanya mengalami hambatan bicara. Tetapi untuk peserta didik tunadaksa yang hanya mengalami hambatan fisik tanpa disertai hambatan intelektual, kurikulum stándar bisa digunakan, penyesuaian hanya dilakukan pada keterbatasan geraknya saja.

Akomodasi lingkungan fisik untuk tunadaksa harus diperhatikan dengan baik. Meliputi aksesibilitas dan keamanan, meminimalkan gangguan atau distorsi pembelajaran, penataan lingkungan yang ramah (pencahayaan, sirkulasi udara, kebersihan), dan penataan yang fleksibel.

Jangan mengabaikan juga akomodasi lingkungan non fisiknya juga. Melingkupi lingkungan yang aman dan nyaman, pendidikan karakter, memberi penguat perilaku positif, mendukung perkembangan psiko-sosial, dan dukungan dari dan ke orangtua.

“Semua akomodasi, baik materi, cara dan waktunya harus disusun secara bersama-sama. Jika sudah dirancang dengan baik maka semua anak termasuk penderita SMA akan terlayani pendidikannya secara berkualitas,” ucap Deden mengakhiri presentasinya.

dr. Ida Rochmawati, Msc, SpKJ(K)

Narasumber terakhir, dr. Ida Rochmawati berbicara dari sudut pandang psikologi. Di awal pemaparan ia mengatakan setiap orang punya pergulatan hidupnya masing-masing. Dalam menyikapi tahap kedukaan tiap-tiap orang pasti berbeda-beda, dari tahap menolak sampai akhirnya menerimanya.

Dalam psikologi ada teori psikodinamika, yaitu teori yang berusaha menjelaskan hakikat dan perkembangan kepribadian. Unsur-unsur yang diutamakan dalam teori ini adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya.

“Resiliensi adalah kemampuan yang ada dalam diri individu untuk kembali pulih dari suatu keadaan yang menekan dan mampu beradaptasi dan bertahan dari kondisi tersebut. Sedangkan emosi terkait dengan bagian otak yang disebut sebagai limbic system,” ujar dr. Ida.

Dr. Ida menambahkan, pada dasarnya otak kita tidak ada konsep menghapus. Setiap kejadian peristiwa dalam hidup akan selalu tersimpan pada otak.

Untuk memahami kondisi emosional dan psikologis seseorang yang terkait dengan SMA, harus dilihat dari sudut pandang penyandang dan caregiver. Bukan hanya dari sudut pandang kita yang tidak berada pada posisi mereka, atau dari sudut pandang satu pihak saja.

Penyandang SMA pada umumnya kondisi kognitif dan perkembangan hormon reproduksinya normal. Juga memiliki tugas perkembangan remaja. Jadi pahami mereka sama dengan remaja pada umumnya, hanya mereka mengalami keterbatasan fisik.

Karena fungsi kognisinya normal, wajar bila mereka mulai berpikir siapakah saya? Mereka mulai membandingkan tubuh fisik mereka dengan orang lain. Lalu terkadang muncul perasaan inferior yang bisa mengakibatkan depresi.

Kemudian, karena perkembangan hormon reproduksi normal, maka perubahan atau ketidak seimbangan hormon estrogen, progesteron, testoteron, androgen, dapat mempengaruhi fisik dan mood.

Dari sudut pandang caregiver atau orang tua, saat mendampingi anak tentulah mereka mengalami pergulatan batin yang tidak mudah. Mungkin pada saat anaknya sudah remaja, orang tua sudah sampai pada tahap menerima. Tapi barangkali banyak yang belum bisa menerima.

Di satu sisi mereka sedih, marah dan kecewa. Tapi atas nama kasih sayang dan kewajiban mereka mengabaikan emosinya serta tetap menunaikan tugasnya. Sehingga baik penyandang atau caregiver mempunyai resiko terjadinya burn out atau stes tingkat berat, yaitu kondisi kelelahan mental atau emosional yang terjadi akibat stres yang terus menerus.

“Meski terasa sangat berat, namun percayalah pasti akan ada dukungan serta pertolongan dari pihak luar, sehingga akan kuat menghadapinya,” ucap dr. Ida meyakinkan.

Yang dibutuhkan caragiver yang pertama adalah pengetahuan. Referensi memperbaiki persepsi. Referensi yang benar adalah langkah besar sebuah terapi. Pengetahuan harus selalu diupdate terus, sehingga memiliki pemahaman dan mengerti langkah apa yang harus dilakukan.

Lalu harus memahami optimalisasi fungsi, dan juga dukungan emosi. Caregiver harus memahami ketika tidak sedang bagus emosinya. Pengelolaan emosi dan penerimaan diri menjadi begitu berperan penting.

Yang terakhir, kebermaknaan diri menjadi begitu bermakna untuk merasa hidup kita bernilai. Karena banyak sekali mereka yang mempunyai keterbatasan merasa hidupnya sudah selesai.

“Kita tetap bisa bersama-sama bahu membahu dalam proses pendampingan, karena anak-anak penyandang SMA pada umumnya tidak memiliki gangguan kognisi, sehingga dapat diajak berkomunikasi. Perlu ditingkatkan dukungan kelompok sebaya agar kita semua bisa berkarya dan tetap merasa kita tidak sendirian,” pungkas dr. Ida.

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: